"Ada apa ini?" tanya seseorang menyela. Astaga, pas sekali. Sang pahlawan telah datang di waktu yang tepat untuk menyalahkan Ruby. Kenapa ia merasa de javu dalam hal ini? Seolah ini sudah terjadi berkali-kali dalam hidupnya dan membuat Ruby mati rasa untuk menanggapi hal ini. "Salam kebahagiaan dan keselamatan Darian, Putra Mahkota," ucap Zalina di iringi semua orang kecuali Ruby yang masih memalingkan wajahnya kesal. Dasar muka dua. "Zalina, apa yang terjadi? Aku mempercayaimu untuk menjelaskan semua ini," seru Theron pada Zalina kemudian membantunya untuk berdiri tegak. Sementara Ruby lagi-lagi mendecih. Drama Queen. Asataga! Kenapa ia kesal sekali? "Saya tidak apa, Yang Mulia. Mungkin, nona Ruby belum sepenuhnya sembuh, saya yang salah di sini," tutur gadis itu dengan senyuman yang menawan, dan mata berbinar. "Seharusnya saya tidak datang kesini dan memancing keributan," tandasnya kemudian. Rahang Theron mengeras melihat Zalina yang lembut dan rapuh kemudian menatap Ruby ya
Cuaca pagi menjelang siang kali ini begitu baik. Matahari menyembunyikan diri di sebalik awan hingga cahayanya tidak menyengat. Angin berhembus sedikit kencang hingga menerbangkan kelopak-kelopak bunga ke arah Ruby yang terduduk kaku di hadapan sang Ratu. Sesekali, gadis itu membenarkan surainya yang menutupi wajah karena tersapu angin. Sementara Ratu menatapnya dengan tatapan menilai. Sorot mata Ruby berubah ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya kini menjadi buyar. Apa Ratu akan memihaknya? Atau sebaliknya ia malah dihukum? "Maaf baru bisa mengunjungimu, Ruby," tutur Ratu membuka obrolan setelah mereka berdiam cukup lama. "Ah, tidak masalah, Yang Mulia." Ruby menunduk. Menggenggam cangkir kaca miliknya yang ada di atas meja. Ratu tersenyum, menatap Ruby dengan penuh kelembutan. Dia anak yang berbeda. Benar kata Theron, Ruby terlihat seperti bukan dirinya. Cara menatap, bicara, dan perilakunya terasa sangatlah asing. Dia terlihat seperti orang lain. "Bagaimana
-Braaakkk- "Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau Ruby pulang ke Mansion Duke?" "M-maaf Yang Mulia, tapi, yang mulia Ratu melarang kami untuk memberitahu anda," Theron semakin mengeraskan kepalan tangannya. Urat-uratnya menonjol keluar dengan nafas memburu menahan emosi untuk memukul pengawal yang berjaga di istana wilayah Ruby. Padahal dia yang memerintahkan mereka untuk berjaga di sana. Tetapi kenapa perintah Ratu yang dituruti? Lelaki itu mendesis tajam. Apa gadis itu benar-benar lupa apa yang dilakukan oleh Duke jika ia pulang dengan tangan kosong. Apalagi saat ini status Putri Mahkota masih tidak jelas antara Ruby atau Zalina. Duke, Ayahnya Ruby pasti akan melakukan sesuatu pada gadis itu. Theron menyugar rambutnya kasar. Tangan kekarnya dengan mudah merobek jubah kebesaran yang tengah ia pakai selama latihan berperang. Lagi-lagi ia memukul meja sebagai pelampiasan kekesalannya. Andai saat itu Theron percaya kalau Ruby benar-benar lupa ingatan. Ia pasti akan memperbaiki hu
Kacau. Ruby pikir, ini semua akan berjalan sesuai rencana. Pertemuan pertama Theron dengan gadis itu, ia pikir hanya sekilas. Namun ternyata membekas bagi keduanya hingga tumbuhlah benih-benih asmara yang membuat Ruby terlupakan. Tersingkir dari posisinya. "Lihat, dia sangat manis, 'bukan?" kekeh Theron di samping Ruby memandang ke arah Zalina saat pesta Lady sedang berlangsung di Istana. "Kupikir, aku telah menyukainya. Aku jatuh cinta, Ruby." Kata-kata itu, seperti tanda bahaya yang mengelilingi Ruby. Sifat Theron berubah setelahnya. Para bangsawan membelah menjadi dua kubu dan mulai mengajukan banding atas posisi Putri Mahkota yang sudah pasti di isi oleh Ruby. Raja dan Ratu tidak punya pilihan saat Zalina juga dikenal banyak orang dengan kebaikannya, keelokannya, serta lemah lembut sifatnya. Berbeda dengan Ruby yang jauh lebih tegas dan keras. Sifat alami keluarga Duke Edelmiro. Dan setelahnya, banding diterima. Theron bahkan dengan antusias menyambut kedatangan Zalina ke Ista
Derap langkah kuda menggema di tengah keheningan malam. Bulan menjadi saksi bagaimana khawatirnya seorang Putra Mahkota di negeri ini pada sahabatnya. Dengan emosi yang masih menjunjung tinggi, ia pergi ke wilayah selatan dengan kuda kesayangannya. Menyusul Ruby, sahabatnya. Meski ratusan kali peringatan datang karena malam sangat berbahaya untuk perjalanan ke selatan. Akan tetapi, lelaki itu lebih keras dari batu. Ia tetap pergi dengan syarat membawa beberapa pengawal untuk menjaganya dari teror. Sesampainya di mansion Duke, gerbang sudah ditutup rapat. Theron yakin, ada penyiksaan di dalam sana. Rubynya yang malang. Seharusnya Theron menjaga gadis itu agar hal seperti ini tidak terulang. "Bilang pada Duke, Putra Mahkota ingin bertamu," perintah salah satu pengawal Theron pada pengawal yang menjaga gerbang. Salah satunya berlari untuk memberi kabar, dan yang lainnya membukakan gerbang untuk Theron masuki. Lelaki itu menelisik halaman suram yang ia pijaki. Masih sama seperti dulu,
Hari demi hari telah berlalu. Hinaan demi hinaan yang tidak pernah Ruby lakukan selalu ia dapatkan. Gadis itu mulai mengerjakan pekerjaannya dalam diam. Berusaha abai tentang kabar Zalina dan Theron yang semakin dekat. Tujuannya sekarang bukan Theron lagi, melainkan adalah Ratu. Jika ia bisa mengambil hati Raja dan Ratu dengan kerja kerasnya, mungkin, gelar Putri Mahkota akan segera ia sandang. Setidaknya ia naik pangkat menjadi tunangan tanpa harus ada sayembara. "Maaf, Ruby. Mau bagaimana pun yang akan menikah nanti adalah putraku. Meski aku adalah Ratu dan Ibunya, yang berhak menentukan pasangannya adalah dirinya sendiri." Ruby terpaku mendengar penuturan Ratu yang tidak pernah ia bayangkan. Jadi, semua keputusan akan ada di tangan Theron? Dengan hati yang masih kasmaran itu, bagaimana bisa ia akan bersikap adil? Selama ini saja, dia selalu membela Zalina. "Datangilah Putra Mahkota." Ratu menyerahkan sebuah tumpukan kertas pada Ruby, "perbaiki hubungan kalian. Aku yakin ini hany
Setetes air mata jatuh di pipi Ruby. Pandangan matanya kosong. Setelah pulang dari rumah Duke, rasa sesak itu tak kunjung hilang. Kadang, air mata Ruby menetes dengan sendirinya. Sungguh, ia lelah dengan keadaan ini. Apa yang harus dilakukan? Ruby menghembuskan nafas pelan, terlihat asap mengepul karena sudah memasuki musim dingin. Setelah tiga hari dirawat oleh Theron, luka Ruby sudah mulai membaik, dan istirahatnya lumayan cukup. Lelaki itu merawatnya dengan konsisten. Meski memaksa, pekerjaannya cukup baik. "Berhenti menangis, sialan!" umpatnya pada diri sendiri. Semakin hari, bukannya tersanjung dengan kebaikan lelaki itu, ia malah semakin benci. Sesak dadanya saat memandang wajah hangat Theron. Dia melakukan itu karena merasa bersalah. Pemenangnya tetaplah Zalina. Bayangan mereka bersama sukses membuat ulu hatinya seperti diremas. Potongan memori Ruby terdahulu sukses mempengaruhi dirinya. "Berhenti melamun, Ruby. Apa yang kau pikirkan, hm? Bukankah kau sudah aman?" ucap Ther
Kala itu, petir menyambar dengan hebatnya. Ruby berlari di tengah hujan menuju tempat kejadian. Kabar ini mengguncang mental Ruby begitu hebat, hingga air matanya menetes tanpa disadari. Dengan gaun yang basah kuyup, Ruby melewati lorong demi lorong hingga sampai ke tempat eksekusi. Zooya, bukanlah orang jahat. Sesampainya di sana, semua orang menyaksikan Zooya dicambuk di tengah hujan deras serta petir yang menyambar. Selain Zooya, Ruby tidak memperhatikan Zalina yang menangis tersedu serta Theron yang kini memandangnya tajam. Sesaat lutut Ruby lemas. Kesalahan apa yang dibuat Zooya hingga hukumannya demikian? Melihat Zooya yang mulai terjatuh, ia langsung berlari menghampiri jika saja Theron tidak mencegah. "Lepas!" Katanya memberontak. Berusaha melepaskan cengkraman Theron yang berusaha menahannya. "TIDAK!" teriak Ruby saat cambukan berhasil mengenai punggung Zooya. Tangisan Ruby tidak bisa dicegah. Ia tidak tega melihat semua ini. "Jangan ... jangan lakukan itu ... kumohon!"