Amel mematung menatap layar lonselnya. Pesan singkat dari Marcell terasa seperti jerat yang mencekik lehernya. Napasnya tercekat, matanya membesar. Jantungnya berdegup begitu keras, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya. Pandangannya kabur, bercampur antara takut dan bingung. “Tidak mungkin! Bagaimana bisa dia ada di sini,” bisiknya terbata. Langkahnya terhuyung, Amel mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak tembok. Ia menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan isak panik yang mulai pecah. Matanya melirik pintu kamar yang masih terbuka, Jonathan masih terlelap di sana, ia tak tahu harus berbuat apa. Sekilas muncul keinginan untuk berlari ke arahnya, membangunkannya, meminta perlindungan. Tapi kecewa, sakit hati, dan pengkhianatan itu menahannya. “Apa aku harus bilang ke Jonathan tentang ini?” gumamnya, bimbang dan ragu. “Tidak. Biarkan saja begini. Kak Marcell tidak akan bisa masuk ke sini. Tempat ini aman.” Amel meyakinkan dirinya sendiri, tapi nyeri
Amel mengunci pintu kamar tamu dengan tangan bergetar. Begitu daun pintu tertutup, keheningan langsung menyergap. Ia menjatuhkan diri ke atas ranjang yang dingin, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Setiap kali ia berkedip, wajah Jonathan muncul—senyumnya, ucapannya, semua yang dulu menenangkan, kini berubah jadi gema kebohongan yang memekakkan hati. Air matanya pecah tanpa bisa ia tahan. Ia menggigit bibir hingga perih, mencoba meredam suara isak. “Kenapa harus dia? Kenapa orang yang paling aku cintai yang justru menghancurkanku begini?” batinnya menjerit. Tubuhnya tertekuk, ia merangkul dirinya sendiri, seakan hanya pelukan itu yang bisa mencegahnya benar-benar runtuh. Sementara di luar kamar, Jonathan masih duduk membeku di tempat yang sama. Kedua sikunya bertumpu di lutut, jemarinya mencengkram rambutnya sendiri. Tatapannya kosong menelusuri lantai marmer yang dingin. Perlahan, ia menengadahkan wajah, memejamkan mata rapat-rapat. Napasnya terasa berat, b
Jonathan mendongak perlahan. Matanya menatap lurus, tanpa lagi bersembunyi. “Ya,” katanya tegas. Air mata Amel kembali mengalir. Jemari Jonathan terangkat lagi menghapus jejak air itu. “Jadi benar kalian menutupinya dariku… dengan cara mengadopsiku?” tanyanya parau. Jonathan kembali mengangguk, lebih berat dari sebelumnya. Matanya memerah, tatapannya penuh penyesalan. “Ya, Amel,” bisiknya. Seakan pengakuan itu mematahkan sisa kekuatan Amel. Ia terhuyung, menahan diri agar tidak jatuh, sementara di hadapannya, Jonathan hanya bisa menatap dengan mata perih—mata seorang pria yang tahu dirinya baru saja menghancurkan dunia wanita yang paling ia cintai. Amel menahan isakannya, dadanya naik-turun tak terkendali. Jonathan kembali mengulurkan tangan, berusaha menghapus air matanya, namun sentuhan itu hanya membuat Amel semakin hancur. “Jadi Mama dan Eyang sengaja menutupinya, karena pelakunya itu Kak Marcell?” tanyanya penuh tuduhan. Jonathan terdiam sejenak sebelum akhirnya men
Amel duduk kaku di sofa. Napasnya berat, seperti ada batu besar menekan dadanya. Jemarinya menggenggam bantalan sofa, menahan agar tubuhnya tak runtuh. Suara pintu terbuka membuat kepalanya terangkat perlahan. Jonathan masuk dengan langkah berat. Wajahnya kusut, sorot matanya meredup, seperti membawa ratusan penyesalan yang terlambat diucapkan. Amel tidak berkata apa-apa hanya menatapnya dengan dingin. Hening di ruang itu terasa memekakkan. “Amel?” panggilnya lirih. “Apa kamu bertemu Fidya kemarin?” Amel mengangkat tangannya pelan, menyentuh perutnya yang menonjol. Gerakan itu membuatnya tampak rapuh sekaligus berusaha tegar. Ia menarik napas dalam, lalu melepasnya perlahan, sebelum akhirnya bersuara. “Jadi ini alasanmu selama ini?” Tatapannya menusuk, penuh getir. “Kamu tahu siapa yang menabrak kedua orang tuaku, tapi kamu diam.” Kata-kata itu seperti besi tajam, menghantam dada Jonathan. Pria itu menunduk, mengulum bibir bawahnya hingga pucat. Ia melangkah mendekat. “Teta
Laura tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia menyesap air putihnya, sedangkan Amel di depannya menunggu dengan gelisah. “Amel, bukankah kita semua juga tahu siapa pelakunya? Kasus itu juga sudah ditutup sejak lama.” Amel menatapnya lekat, bola matanya bergetar menahan emosi. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, sampai buku-buku jarinya memutih. “Maksudku pelaku sebenarnya, Ma. Karena orang yang kalian tahan itu tidak pernah ada, kan?” “Eyang sudah bilang waktu itu kalau dia sudah dipindahkan ke lapas yang lain di luar kota. Percaya pada kami, Amel. Mana mungkin kami bohong padamu,” kata Laura. Wajah cantik itu menampilkan senyum ramah, ia meletakan sendok perlahan di atas piring. “Amel sayang, mungkin kamu hanya terlalu larut dalam pikiranmu. Percayalah, tidak ada yang disembunyikan. Semua sudah jelas sejak dulu.” “Mama yakin kalau tidak ada yang kalian tutupi dariku?” Laura berusaha menahan sorot gugupnya dengan k
“Jonathan… aku juga tidak suka dibohongi. Tidak bisakah kamu jujur padaku?” bisiknya, seolah berbicara hanya pada dirinya sendiri. Jonathan sudah terlelap di sampingnya. Wajahnya tenang, napasnya teratur. Tak ada gelisah dan tak ada beban. Pemandangan itu membuat dadanya semakin sesak. Beberapa jam sebelumnya, setelah percakapan yang mencekik itu, Jonathan mengajaknya makan. Ia hanya menurut, memaksakan senyum di setiap suapan, padahal lidahnya terasa hambar. Seusai makan, mereka kembali ke kamar, berbaring bersebelahan tanpa banyak kata. Sekarang, jarum jam sudah menunjuk pukul dua dini hari. Mata Amel masih terbuka, menatap langit-langit kamar yang gelap. Tangannya sesekali mengepal di atas selimut, lalu melemah lagi. Tenggorokannya kering, ada kata-kata yang ingin ia muntahkan, tapi tersangkut di sana. Ia hanya bisa menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah, menghapus setitik air mata yang nyaris jatuh. Malam itu terasa panjang dan dingin. Pagi itu, Jonathan terbangun leb