Dalam satu malam, hidup Amel retak dan serpihannya tertancap di hati yang salah. Ketika Jonathan—kakak tiri yang selama ini ia hormati—melakukan satu kesalahan fatal dalam kondisi mabuk dan emosi, Amel kehilangan banyak hal: rasa aman, masa depan, dan kepercayaan. Di bawah tekanan keluarga dan rasa malu yang membungkam, pernikahan dipaksakan, sebuah "tanggung jawab" yang hanya menambah luka. Jonathan ingin menebus, tapi Amel hanya ingin melarikan diri. Di tengah rasa bersalah dan trauma, benih cinta tumbuh dalam bentuk yang tak wajar. Pahit, gelap, dan menyakitkan. Apakah cinta bisa bertahan di atas puing-puing hati yang salah? Atau keduanya akan tenggelam dalam luka yang tak pernah sembuh?
View MorePintu diketuk keras, tidak sabaran. Hujan rintik di luar. Lampu ruang tamu menyala redup. Amel, dalam baju tidur tipis, membuka pintu perlahan. Di hadapannya, Jonathan berdiri dengan napas terengah, rambut basah, aroma alkohol pekat menampar hidungnya. Sorot matanya buram, merah, seperti orang yang habis kehilangan segalanya.
"Kenapa lama sekali, hah?" bentak Jonathan. Amel tersentak dan menunduk takut. Jonathan memiringkan kepalanya berusaha menangkap wajah Amel dalam keremangan. "Angkat kepalamu!" perintahnya. Amel mengangkat kepala dan menatap takut pemilik suara. Jonathan menatapnya lama, lalu wajahnya melembut aneh, matanya nanar. “Fidya," bisiknya, suaranya parau. Amel mengerut tidak mengerti lalu tersentak saat Jonathan tiba-tiba saja menangis dan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Karena gerakan tiba-tiba itu, dia langsung mendorong pria itu menjauh. "Kamu menolakku?" suaranya rendah dan gelap. Bola mata hitam pekat itu menatap tajam membuat Amel mundur ketakutan. "Kak sadarlah, ini aku, Amel," lirih Amel. Tangan besar Jonathan terangkat meraih wajah Amel, mencengkramnya sedikit kasar. Gadis itu terdiam sejenak sulit untuk menghindar. “Bisa-bisanya kamu ninggalin aku sendiri di sini?” desisnya, diiringi tawa pelan yang lebih mirip lirihan luka. Amel menahan napas. “Kak, tolong, sadarlah… kamu membuatku takut.” “Di saat aku mau menikahi kamu…” desis Jonathan “Kamu pikir hanya kamu yang punya urusan penting?” Tangannya mencengkram pergelangan tangan Amel. Gadis itu mencoba meronta, tapi genggamannya tidak memberi celah. “Sembilan tahun kita bersama dan aku selalu ngerti, selalu dukung. Tapi kamu selalu tidak peduli. Aku selalu mengalah dan menunggu sampai rasanya semuanya sia-sia.” Jonathan bergumam. “Dan kali ini kamu ingin pergi ke Jerman selama dua bulan?” tawa getirnya bergema pelan. “Tanpa tanya. Tanpa tawar. Tanpa peduli pada tekanan yang aku alami?” “Kak, aku bukan Fidya! Tolong jangan begini!” Jonathan merapatkan wajahnya ke leher Amel. Napas hangat, bercampur bau alkohol. “Kenapa harus aku yang jadi pilihan tidak penting dan mudah untuk kamu buang?” Dua tangan Amel berusaha mendorong tubuh Jonathan agar menjauh darinya. “Kak, sadarlah, aku mohon… Aku Amel, adikmu. Aku bukan Fidya!” “Diam!” bentaknya. Amel terhenyak, napasnya tercekat. Jonathan menyeretnya menuju lantai atas. Amel ingin menjerit, tapi suaranya tercekat, tubuhnya seolah mati rasa. Dinginnya lantai merambat sampai tulang. Matanya mencari pegangan apa saja, tapi tak ada yang bisa menyelamatkannya. “Tolong hentikan!” Amel menjerit tertahan saat ia diseret masuk ke dalam kamar. Bahunya membentur kusen pintu. Tangisnya pecah, tapi Jonathan tidak menghentikan langkah. “Aku berkali-kali mencoba dan berkali-kali juga kalah dengan ambisimu itu!” Jonathan menekannya ke ranjang, menahan sesuatu yang tidak bisa dia lawan sendiri. Tangan Amel bergerak gelisah mencari pegangan. “Kak… berhenti!” Suara lirih yang ia paksakan hanya menggema pelan, disertai isakan tertahan. Tapi pria yang menindihnya tidak peduli. Hembusan nafas lembut berhembus di sekitar sudut telinga dan lehernya, mengirimkan kejutan kelembutan yang menjalar keseluruh tubuh. Rasanya hangat, tapi bersamaan dengan itu, ia merasa diremukan. “Fidya, aku sangat mencintaimu, tolong kali ini jangan abaikan aku,” bisik Jonathan di telinganya, membuat jantung Amel serasa berhenti. Sampai akhirnya semuanya selesai. Diam. Bau alkohol bercampur keringat memenuhi ruangan. Tatapan Amel menembus langit-langit kamar yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan—tempat yang tidak pernah dia sentuh. Kini, untuk pertama kalinya, ia berada di dalamnya dengan tubuh yang nyeri dan hati yang tidak tahu harus merasa apa. Malam itu berubah menjadi neraka. Ia bahkan tidak tahu, apakah harus menyesalinya... atau melupakannya. Semua berputar begitu cepat. Bagai kaset rusak yang enggan untuk diputar kembali. Jika saja dia tidak membuka pintu utama dan mengabaikan ketukan itu, mereka tidak akan berakhir di ranjang yang sama. Amel beringsut turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang sobek lalu memakainya asal. Tangannya gemetar memegang kusen pintu yang dingin. Langkahnya terhenti sejenak, menoleh menatap tubuh yang tertidur damai di ranjang. Begitu memuakan. “Kamu harus bertanggung jawab, seumur hidup kamu harus menderita!” **Amel baru saja membuka pintu kamar ketika mendapati Jonathan sudah duduk di tepi ranjang. Kemeja putihnya masih terpakai, dasi terlepas, dan lengan kemejanya tergulung kasar ke siku. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam sorot matanya—marah, kecewa, cemburu, dan terluka. “Tumben sekali kamu pulang sedu, biasanya tengah malam!” sindir Amel sambil menutup pintu perlahan. “Hari ini jadwalku tidak terlalu padat,” balas Jonathan singkat. Matanya masih menatap Amel dengan intensitas yang membuat risih. “Ada apa, Kak?” “Kamu pergi kontrol kehamilan dengan Marcell.” Amel meletakkan tasnya di kursi, menghindari tatapannya. “Kamu sendiri juga tidak keberatan dengan itu tadi pagi.” “Kamu tidak tanya apa aku keberatan atau tidak,” suaranya meninggi, kemudian menurun cepat seperti berusaha menahan amarah yang mendidih. “Apa kalian berdua begitu dekat sekarang? Sampai perawat-perawat mengira dia suamimu?” Amel menoleh, menatap mata Jonathan dengan penuh pertanyaan. “Ja
Lorong rumah sakit dipenuhi aroma antiseptik dan langkah sepatu yang lalu-lalang. Di atas lantai marmer yang dingin, langkah Marcell terdengar santai. Kontras dengan suasana yang terasa terlalu steril. Ia berjalan di sisi Amel, yang menggenggam map kontrol kehamilan. Perutnya mulai membuncit, dan tangan Marcell sesekali terulur untuk menahan punggung Amel seolah perlindungan itu hak miliknya. “Kamu yakin masih kuat berjalan?” tanya Marcell, suaranya sengaja dilembutkan. “Tadi aku sudah bilang, biar aku ambilkan kursi roda.” Amel tersenyum tipis, lebih karena kelelahan daripada ketenangan. “Aku masih bisa jalan. Lagi pula, ini hanya kontrol biasa.” Marcell terkekeh pelan. “Biasa buat kamu. Tapi buatku, ini luar biasa. Hari ini aku akan melihat calon ponakanku.” Amel tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan menepis sesuatu yang lebih dari sekedar perhatian. Di balik lorong, tersembunyi di antara bayangan vending machine dan pot tanaman plastik yang berdebu, Jonathan berdiri dengan
Jonathan pulang larut malam. Udara dingin menyelimuti rumah yang hampir gelap, hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Ia berjalan pelan, melewati kamar-kamar yang sunyi, sempat berhenti sejenak di depan pintu yang tertutup rapat. Tangannya terangkat, hendak mengetuk, namun ia membatalkannya. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah turun ke ruang kerjanya dan mengunci diri di sana.Amel yang belum tidur mendengar langkah-langkah itu. Ia tahu Jonathan telah pulang. Apalagi suara mesin mobil yang masuk ke pekarangan beberapa menit yang lalu—itu suara mesin mobil Jonathan.Ia berharap pintu kamarnya akan terbuka perlahan, dan Jonathan muncul diambang pintu, meski dengan wajah lelah. Harapan itu sederhana—sekali saja. Tapi harapan itu kembali runtuh, karena langkah kaki itu justru menjauh. Amel memejamkan mata. Rasa sesak menekan dadanya, lebih dari sekadar kecewa. Ini adalah luka yang terus digores tanpa henti.Sementara itu, di ruang kerjanya, Jonathan duduk di hadapan Laura.
Sesampainya di rumah, Amel langsung berjalan menuju kamarnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang menekan punggung dan dadanya sekaligus. Sesekali ia menatap kosong ke arah lorong, berharap menemukan ketenangan di balik sana. Tapi yang ada hanyalah kehampaan. Begitu tiba di depan pintu kamarnya, ia membukanya, melangkah masuk, lalu menutupnya pelan tanpa mengunci. Ia hanya bersandar di balik daun pintu, memejamkan mata, membiarkan kelelahan dan kepedihan hari itu menelannya dalam diam. Benaknya dipenuhi oleh segala yang terjadi hari ini. Jonathan membatalkan janji, berbohong, dan diam-diam menemui Fidya di saat ia sendiri sedang menggenggam harapan untuk menemukan jawaban atas kematian kedua orang tuanya. Saat hatinya sedang kacau, saat ia butuh kejujuran dan dukungan, Jonathan justru memilih berada di sisi wanita lain. Amel membuka mata perlahan, lalu melangkah menuju ranjang. Ia duduk di tepi kasur, dan menjatuhkan tasnya ke lantai tanpa tenaga. Kepalanya tert
Dalam perjalanan pulang dari lapas, Amel duduk diam di kursi penumpang. Matanya menatap ke luar jendela, mengikuti pemandangan yang berlalu begitu saja. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, meski radio menyala pelan. Hingga matanya tiba-tiba menangkap sosok yang familiar di trotoar seberang jalan. Di sana, Jonathan dan Fidya yang begitu terburu-buru masuk ke dalam mobil. Keduanya seperti pasangan selingkuh yang takut ketahuan. Tubuh Amel seketika menegang saat mobil itu melaju pergi, berbelok ke arah berlawanan. Ia membeku, jari-jarinya perlahan mengepal di atas pangkuan. Ia menelan ludah, mencoba menata napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Kelopak matanya bergerak pelan, terasa panas. Marcell meliriknya sekilas dari balik kemudi, lalu bertanya dengan suara tenang. “Ada apa?” Amel menggeleng pelan. “Tidak ada,” gumamnya, lirih. Namun Marcell bisa merasakannya, dari cara Amel menatap dan gerakan tubuhnya, seperti ada yang mengganjal—bukan sekedar emosi sesaat, melainkan sesuatu
Seminggu telah berlalu. Seharusnya hari ini Amel dan Jonathan pergi ke Lapas untuk menemui pria yang menabrak kedua orang tuanya empat tahun lalu. Tapi pagi ini, tepat di hari libur, Jonathan tiba-tiba membatalkan janjinya. “Kita batalkan saja, Amel,” katanya singkat lewat telepon. “Ada rapat darurat tentang proyek merger.” Amel menggenggam ponselnya erat. “Tapi kamu sudah janji, Kak,” desak Amel. “Aku tahu,” sahut Jonathan, terdengar sedikit tertekan. “Tapi aku benar-benar tidak bisa hari ini. Aku akan jadwalkan ulang. Kita masih punya banyak waktu untuk ke sana.” “Baik kalau begitu. Kita jadwalkan ulang,” suara Amel makin pelan. Ia menarik napas, berusaha menahan kecewa. “Aku minta maaf. Nanti kita bahas lagi.” Sambungan terputus tanpa Amel sempat membalas. Bahkan untuk mengobrol bersama dengannya pun terasa tak ada waktu. Selama seminggu ini Jonathan makin jauh tanpa kejelasan apa yang sudah terjadi diantara mereka. Dia hanya diberi waktu menerka-nerka apa yang telah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments