Share

Hidup Mandiri sepertinya lebih baik

Karena lift sudah mulai turun dari lantai dimana kamar mereka berada. Malik menunggu lift lagi untuk bisa naik ke atas. Tapi setelah beberapa menit lift yang ia tunggu tidak juga kunjung tiba.

Malik pun membuka ponselnya dan mulai menghubungi Anita. Tapi wanita yang ia telepon itu tidak menjawab sama sekali. Akhirnya ia memutuskan untuk naik tangga darurat.

Sembari berlari Malik menghubungi staf hotel dan menceritakan apa yang ia dengar dari pria tadi. Dan meminta pihak hotel untuk memeriksa kamar tersebut. Setelah itu Malik kembali menghubungi Anita.

“Ini kenapa nggak mau angkat telepon sih? Ngapain dia?” gerutu Malik kesal. “Nanti kalau dia kenapa-kenapa aku juga yang kena marah Mama,” sambungnya.

Sesampainya Malik di depan kamar hotel, ia segera masuk. Lalu ia melihat Anita baru saja keluar dari kamar mandi dengan raut wajah menahan rasa sakit.

Malik menghampirinya dengan raut wajah marah yang terlihat jelas. Tanpa diberi instruksi, tubuh Anita spontan melangkah mundur melihat suaminya yang marah itu.

Begitu Malik tepat di hadapan Anita, ia menarik lengan kecil wanita cantik itu dengan erat. Matanya menatap gusar ke kedua mata istrinya yang terlihat bingung dan sedikit takut. Wanita itu mencoba melepaskan diri dari genggaman suaminya, tapi tentu saja perbandingan kekuatan mereka terlalu jauh.

“Kenapa kamu tidak menjawab teleponku?” tanya Malik masih dengan sorot mata gusarnya.

“Aku baru selesai mandi Malik, bagaimana bisa aku angkat telepon dari kamu,” jawab Anita masih mencoba melepaskan diri dari genggaman Malik.

Malik sedikit tercengang mendengar perkataan Anita. ‘Malik? Jadi kamu memutuskan untuk memanggil namaku?’ benaknya.

“Maafkan aku, tapi bisakah kamu melepaskan tanganku, aku kesakitan?” Anita menatap dalam kedua mata Malik memohon. Malik pun seketika melepaskan genggamannya.

Malik melemparkan pandangan ke sembarang arah, lalu berjalan menuju sofa dimana ia tidur semalam.

“Cepat ganti pakaianmu kita harus keluar sekarang!” titah Malik.

“Sarapan aja dulu, aku udah siapin sarapan,” jawab Anita dengan sopan.

“Kamu ini ya, keras kepala banget. Kalau aku bilang kita keluar sekarang berarti kita harus keluar,” cetus Malik cukup terdengar kasar di telinganya. Anita tidak menjawab perkataan Malik sama sekali, tapi ia menuruti apa yang diperintahkan olehnya.

Jujur saja Anita sangat geram dengan kelakuan Malik. Sejak kemarin suaminya itu selalu membuat ia tercengang dan tidak menduga. ‘Setidaknya kalau nggak saling suka janganlah jadi orang yang mendominasi,’ kesal Anita kemudian melirik kesal ke arah Malik yang masih duduk di sofa.

Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya akan menjalani kehidupan seperti itu. Anita masih bisa menerima kekurangan yang baru terjadi padanya. Tapi untuk menghadapi suami seperti Malik ia tidak tahu apakah ia akan sanggup ataukah ia akan mengibarkan bendera putih.

Anita harus rela menyerah pada impiannya karena harus menikah. Ia juga harus tinggal jauh dari kedua orang tuanya. Wanita itu heran bagaimana bisa kedua orang tua mereka bisa menjodohkan dia dengan Malik.

“Heh, kenapa lama banget, nggak usah pakek make up, lama.”

Sungguh darah Anita terasa mendidih dan sangat ingin ia marah balik pada Malik. Tapi ia seketika ingat apa yang Mamanya katakan bahwa ia harus bersikap baik pada Malik. Ia harus bisa mengambil hati Malik dan membuat Malik menerima kekurangan yang ada padanya.

‘Ma, lebih baik aku hidup sendiri dengan mandiri,’ keluhnya seraya menatap plafon kamar hotel itu.

Beberapa saat kemudian mereka berdua keluar dari kamar hotel. Tepat setelah itu mereka melihat staf hotel dan dua pemadam kebakaran ada di kamar sebelah. Mereka mengeluarkan seorang wanita yang terlihat sembab matanya seperti habis menangis. Lalu tidak lama kemudian salah satu pemadam kebakaran keluar dengan bom rakitan yang sudah dijinakkan.

Mata Anita terbelalak melihat bom itu kemudian melirik Malik sejenak.

“Apa yang kamu lihat? Ayo keluar dari hotel entah ada bom lainnya yang bisa membahayakan keselamatan,” ujar Malik.

Malik berjalan cepat lebih dulu menuju lift. Sedangkan wanita yang kini menjadi istrinya itu belum bisa berjalan dengan cepat.

Malik menoleh ke belakang karena ia tidak bisa merasakan kehadiran Anita dibelakangnya. “Oh sial,” gerutunya melihat Anita berada cukup jauh darinya.

Sesaat setelah mereka masuk lift, ada pemberitahuan dari hotel agar seluruh tamu hotel itu keluar. Karena ada situasi darurat yang tidak terduga. Anita melirik ke arah Malik yang terlihat santai. Terbesit pikiran di benak wanita itu, mungkinkah Malik memaksanya keluar dengan cepat karena ia sudah tahu soal ini.

Tapi kemudian Anita menggelengkan kepalanya dengan keras dan sedikit memukul kepalanya. ‘Apa aku sudah gila, mana mau dia melakukan hal merepotkan itu. Ditambah lagi ia selalu terlihat tidak suka setiap kali melihatku,’ ucapnya menyangkal pikiran sebelumnya.

Kini mereka sudah sampai lobi hotel.

“Aku akan pergi dan mengurus urusanku, kamu terserah mau kemana,” terang Malik.

‘Cih, apa pria gila ini duga aku tidak punya tujuan lain karena orang tuaku jauh,’ cerca Anita dalam pikirannya.

“Denger nggak?” tagas Malik memastikan bahwa Anita tidak akan mengikutinya.

Anita menghela napas lalu menatap kedua mata Malik. “Kamu tenang aja, aku banyak kenalan di sini baik pria maupun wanita,” cetusnya.

“Oh benarkah? Bagus kalau begitu,” sahut Malik sebelum ia benar-benar pergi.

Anita melihat Malik yang berjalan menjauh, punggung kekar milik Malik membuatnya merinding tatkala ia mengingat semalam mereka berdua saling berpelukan. Ada getaran aneh di dalam dirinya ketika mengingat itu.

“Oh, ada apa dengan diriku?” gumam Anita.

Setelah kepergian Malik yang entah kemana, Anita tidak tahu harus melakukan apa. Ia sangat ingin sekali bertemu dengan sahabatnya tapi mereka berada di kota lain. Ia berbohong pada suaminya, wanita itu di kota ini benar-benar tidak ada kenalan sama sekali.

“Apa aku ke taman saja ya? Tapi ke taman sepagi ini, em. Sudahlah aku tidak ada pilihan lain, aku bingung mau kemana,” ucapnya. Ia segera menuju ke pusat supermarket untuk membeli beberapa camilan.

***

Hembusan angin mengibaskan kerudung dan pakaiannya yang syar'i. Terlihat sangat indah ditambah dengan senyumannya yang manis. Wanita itu sedang melihat canda tawa anak-anak yang dengan riang gembira bermain di taman.

Sudah cukup lama bagi Anita bisa tersenyum bahagia seperti itu semenjak ia kecelakaan sampai ia menikah. Satu persatu camilan yang ia pegang mulai masuk ke dalam mulutnya. Sesekali wanita itu menghirup udara segar di taman itu untuk mengganti oksigen dalam tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, tanpa sengaja seorang anak laki-laki jatuh di depannya dan menumpahkan semua camilan yang telah ia buka. Anak laki-laki itu terlihat khawatir Anita akan marah. Tapi wanita yang berhijab itu tersenyum manis dan mengelus pipi dari anak laki-laki itu.

“Kamu mau?” Anita menawarkan camilannya yang belum dibuka.

“Masya Allah indahnya!” ucap seorang pria yang tiba-tiba muncul.

Anita mendongak melihat siapa pemilik suara itu. Ketika ia mendongak ke atas seorang pria dengan pakaian rapi, wajahnya tampan dan tatapannya sangat menenangkan.

Wanita itu terdiam sejenak kemudian segera memalingkan pandangannya dari pria itu. Pria itu tersenyum kemudian menggendong anak kecil itu.

“Wahai ukhti maafkan keponakan saya, dia tidak sengaja,” ucapnya dengan lembut. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu lagi.

Wanita itu sedikit tersenyum, “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabnya. Lalu wanita itu memberikan camilan yang tadi ia tawarkan kepada anak kecil itu. “Ini untukmu, lain kali hati-hati ya,” ucapnya.

Pria itu tersenyum lalu mengambil camilan itu. Sedangkan anak laki-laki tadi terlihat malu-malu.

“Namaku Yudha Pratama.” Pria itu tiba-tiba memperkenalkan dirinya tanpa Anita bertanya. “Siapa namamu?” sambungnya.

“Anita,” jawabnya singkat seraya sedikit menunduk.

“Ooo, jadi dia temanmu itu,” cetus Malik yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Anita terkejut dengan sedikit terperanjat dengan mata terbelalak.

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status