Airin bahkan hampir kehilangan napas dengan wajah memerah. Wanita itu sama sekali tidak bisa menghirup oksigen.
Lampu mobil yang mati membuat Airin tidak bisa mengenali wajah para pelaku.“Hantam saja biar dia berhenti memberontak.” Salah satu dari mereka berucap.Plak! Wajah Airin digampar dengan sangat kuat. Membuat wanita malang itu langsung kehilangan kesadaran. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak dan biru lebam.Salah satu dari lelaki itu menjilat wajah Airin. Lidahnya dengan kasar menghapus darah yang mengalir dari hidung wanita itu. Seakan cairan merah itu berupa sirup manis baginya.“Kalung ini sepertinya mahal.” Kalung berlian yang Airin kenakan ditarik dengan kasar. Lalu, dikantongkan.“Sepertinya dia anak orang kaya. Kita bisa kesusahan jika membebaskannya. Sebaiknya dia kita bunuh saja.” Salah satu dari mereka berucap.Ponsel yang berada di dalam tas Airin berdering. Tertulis nama sang bapak mertua di sana. Tampaknya lelaki itu memiliki insting yang kuat hingga bisa merasakan jika bahaya sedang mengancam jiwa menantunya.“Lempar saja ke luar.” Salah satu dari mereka berujar.Lelaki bertubuh gelap yang memegang tas Airin sejak tadi, membuang benda itu keluar lewat jendela mobil setelah mengambil barang berharga yang ada di sana selain ponselnya.Mobil terus melaju. Mereka membawa Airin ke hutan tepi jalan yang jarang dilewati oleh kendaraan. Saat tiba di tempat tujuan, tubuh lemah Airin diseret paksa keluar dari mobil. Seakan ia tidak berharga, tubuhnya diseret begitu saja hingga mereka menemukan tempat yang pas untuk melakukan eksekusi.Airin terbangun dengan kepala yang begitu berat karena pusing. Pandangannya sangat gelap, ia tidak bisa melihat apa pun karena tempat itu sangat minim cahaya.“Arght!” Wanita berkulit putih itu berteriak sekuat tenaga ketika seseorang bertubuh tegap menindih tubuhnya. Ia tidak tahu kapan ia ditelanjangi karena ia tidak sadarkan diri.Mendengar teriakan Airin, dengan spontan lelaki itu memukul wajahnya dengan sangat kuat. Rahangnya bahkan bergeser karena pukulan yang terlalu keras. Hal itu membuat Airin kembali tidak sadarkan diri.“Bodoh! Kau bisa membunuhnya sebelum kita puas menikmati tubuhnya! Akan lebih nikmat jika dia melakukan perlawanan ketika kita sedang menikmatinya!” Salah satu dari tiga pria itu berkomentar.“Aku tidak sengaja melakukannya karena dia berteriak sangat kuat.” Lelaki itu membela diri.“Minggir kau!” Mereka mulai berselisih di sana.“Aku yang harus mencobanya lebih dulu, sepertinya dia masih perawan.”“Aku yang akan mencobanya lebih dulu!”“Jangan karena wanita sialan ini kita jadi bertengkar. Kita bisa gantian.” Lelaki yang lain menengahi perselisihan.“Kau benar.”Mereka bertiga mulai menikmati tubuh Airin secara bersamaan.“Sialan, dia sudah tidak perawan.” Lelaki itu berkomentar setelah tiga jarinya ia loloskan ke organ intim wanita itu.“Perawan atau tidak tidak masalah. Tubuhnya cukup seksi. Aromanya membuatku ingin segera menyetubuhinya. Jika kau tidak ingin, biar aku saja yang melakukannya lebih dulu.”“Aaaah, nikmat sekali.” Lelaki itu bergumam. Ia mulai menikmati sendiri setiap gerakan yang ia lakukan. Sementara kedua tangannya berada di dada Airin. Ia remas kedua gumpalan lemak itu dengan cukup kasar. Ia putar dan ia pelintir dengan mata terpejam.Airin merasakan sakit yang luar biasa ketika mulutnya dibuka dengan kasar. Rahangnya yang bergeser membuat ia merasakan ngilu yang tidak terkira ketika salah satu dari mereka menyodok mulutnya hingga tenggorokan. Airin merasa mual, ia ingin muntah ketika mencium bau pesing dan merasakan hal yang tidak enak memenuhi tenggorokan. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.“Aaaah.”Airin seakan boneka, wanita itu mereka jadikan pemuas nafsu bersama.
Tubuh mungilnya dibalik dengan kasar hingga ia tengkurap.Di sisi lain, lelaki bertubuh tegap itu menjambak rambutnya dari belakang hingga kepalanya mendongak. Ia merasa begitu sakit diperlakukan seperti itu, tapi kini ia tengah berada di ambang batas sadar dan pingsan. Sehingga ia tidak bisa melakukan perlawanan. Bahkan untuk bersuara pun ia tidak bisa karena rahangnya yang bergeser, juga mulutnya yang berisi penuh oleh senjata laras panjang milik para pelaku.Bugh!Beberapa hantaman keras mendarat di punggung Airin. Telapak sepatu yang begitu kasar itu bahkan meninggalkan bekas ketika kulit punggungnya yang bersih dan putih dihantam dengan kuat oleh kaki besar mereka.Airin sempat muntah darah dan kejang-kejang untuk beberapa saat hingga ia lemas tak berdaya. Denyut nadinya melemah, ia tengah berada di ambang kematian sekarang.“Sepertinya dia sudah mati.”“Cuih! Neraka adalah tempatmu!” Airin kembali diludahi.“Ayo pergi sebelum ada yang melihat kita berada di sini.”Mobil jeep abu-abu itu melesat pergi meninggalkan hutan yang begitu gelap dengan Airin yang tengah terbaring lemah di sana. Wanita itu jatuh koma tanpa ada yang tahu kondisinya sama sekali.“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le