Home / Rumah Tangga / Mengandung Bayi Mantan Mertua / 7. Malam yang Panas di Apartemen

Share

7. Malam yang Panas di Apartemen

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2024-03-06 13:05:13

Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. 

“Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.

“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.

“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan lelaki itu.

Leonel mendaratkan bibirnya di bibir seksi itu. Ia terus memaju mundurkan pinggangnya sembari melumat bibir yang membuat ia begitu kecanduan sehingga selalu ingin merasakan nikmatnya. Suara decakan terdengar ketika mereka saling melumat satu dengan yang lain.

Livy merasa cukup sesak ketika tubuh besar milik Leonel menimpa tubuhnya. Namun, itu bisa ditutupi dengan rasa nikmat yang ia terima dari lelaki itu.

“Aaaah.” Leonel mendesah. Kepalanya serasa ingin meledak karena merasa terlalu nikmat.

Hanya saja, Leonel berhenti sejenak.

Tiga menit setelah itu, ia bangkit dengan posisi berlutut. Livy ia tarik dan ia minta untuk melakukan pose menungging. Kembali ia mencari kepuasan dari sekretaris kesayangannya itu.

“Aaahh.” Livy mendesah. “Besok ada meeting penting, jangan tinggalkan apa pun di leherku.”

“Kau bisa menutupinya dengan rambut indahmu.” Leonel mencari alasan. Ia tinggalkan banyak bekas cupangan di sana.

Mereka terus bercinta tanpa mengenal waktu. Hingga dering ponsel terdengar di tengah percintaan.

Leonel mengabaikan. Ia terus menikmati tubuh Livy dengan penuh nafsu. Ia ingin menguras cairan cintanya sebanyak mungkin. Membuang bibit-bibit bayi begitu saja di atas lantai dan juga di atas perut Livy.

Ponsel terus berdering.

“Ck!” Loenel berdecak.

“Coba kau periksa dulu. Barangkali penting.” Livy berucap dengan sangat lembut disertai desahan.

“Tidak ada yang lebih penting dibanding tubuhmu.” Leonel kembali mengecup leher jenjang itu.

Ponsel berdering entah untuk yang kesekian kali.

Leonel tampak sangat kesal. Ia menebak jika itu adalah istrinya. Dalam hati ia berjanji akan memberikan Airin pelajaran ketika pulang nanti. Berani sekali wanita itu mengganggu keseruannya dalam menikmati tubuh Livy.

Namun, bukan Airin yang menghubungi. Melainkan Robin. Air wajah Leonel berubah seketika. Ia berusaha menormalkan napasnya yang terdengar sangat memburu seakan ia habis olah raga berat malam ini.

“Halo, Pa.” Leonel berucap dengan penuh sopan, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Livy menghampiri. Ia peluk tubuh polos milik Leonel dari belakang. Ia mulai menggoda lelaki itu. Telapak tangannya yang halus menggenggam dan mengocok laras panjang milik Leonel. Wajah Leonel memerah dan memanas. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan desahan-desahan.

“Airin bersamamu?” Robin bertanya dengan penuh khawatir.

“Iya. Dia sedang pergi membeli minum. Ada apa?”

“Papa menghubunginya dua jam yang lalu, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Barusan papa hubungi lagi, tapi nomornya sudah tidak aktif. Kalian baik-baik saja?” Robin bertanya memastikan.

“Kami baik-baik saja. Mungkin Hp Airin di-silent, jadi dia tidak tahu jika papa nelpon.”

“Papa harap juga begitu. Kalian pulang sekarang, papa punya firasat tidak baik.”

“Sebentar lagi, Pa. Airin masih ingin jalan-jalan.”

“Ya sudah, kalian hati-hati di sana. Kau jaga istrimu baik-baik. Susul dia ke tempatnya membeli minum. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk padanya atau kau akan papa habisi.” Robin memberikan ancaman.

“I-iya, Pa.” Leonel terdengar cukup takut mendapat ancaman itu.

“Ada apa?” Livy bertanya setelah Leonel mematikan sambungan panggilan dan menaruh ponsel di atas meja kaca.

“Wanita sialan itu bikin ulah. Dia pasti sengaja mematikan ponselnya agar aku dimarahi oleh ayahku.” Leonel berucap dengan kesal.

Livy tersenyum manis. “Mengapa kau tidak menceraikannya saja? Aku sudah tidak tahan menjalin hubungan di belakang. Kadang aku juga ingin menunjukkan hubungan kita ke orang-orang. Terlebih teman-temanku.”

“Aku sedang berusaha. Kau tahu kan, aku tidak akan bisa pisah dengannya jika bukan dia yang meminta lebih dulu. Dia yang punya kunci di dalam hubungan kami.”

“Kau kurang kasar padanya. Kau harus bersikap lebih kasar lagi.”

“Aku sudah bersikap sekasar mungkin.”

“Beri dia pukulan.” Livy memberikan saran.

“Ayahku akan memotong tanganku jika aku menyakitinya secara fisik.”

“Apa istrimu memang mempunyai power sekuat itu?”

“Dia anak tunggal kaya-raya dari teman ayahku. Ayahku punya hutang budi yang sangat besar pada mereka. Apa pun yang dia inginkan, ayahku merasa itu sebagai perintah yang harus dilakukan. Kau tahu, ayahku itu sangat galak dan tegas, tapi dia bisa sangat lembut pada Airin. Kadang aku ingin membunuhnya ketika aku merasa kesal. Dia benar-benar membuatku merasa sangat muak.”

Livy semakin mengeratkan pelukan. Wajahnya ia tempelkan ke punggung lelaki itu.

“Bagaimana jika kau beritahu istrimu tentang hubungan kita? Kurasa dia akan marah dan meminta pisah.” Livy menyarankan.

“Kurasa itu bukan jalan terbaik. Aku akan terus mengabaikannya selama beberapa bulan ke depan, kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan.”

***

Tepat pukul sebelas malam, Leonel pamit untuk pulang meski sebenarnya ia ingin menetap di sana lebih lama lagi. Ia beri Livy kecupan di kening, lalu beranjak pergi.

Leonel menghubungi Airin untuk bertanya di mana wanita itu berada. Sebab, mereka akan pulang sekarang. Namun, seperti yang Robin katakan sebelumnya, nomor Airin tidak lagi bisa dihubungi. Mendadak nomornya tidak aktif.

Leonel melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Ia terus menghubungi sepanjang perjalanan, tapi tetap saja tidak bisa. Nomor itu benar-benar tidak aktif saat ini. Leonel menghela napas dengan kasar, ia taruh ponselnya di dashboard. Lalu, melajukan mobil menuju pulang.

“Di mana Airin?” Robin bertanya ketika ia mendapati hanya putranya yang pulang seorang diri.

“Dia minta diantar ke rumah orangtuanya.”

“Kenapa?” Robin bertanya dengan penuh selidik.

“Dia mau nginap di sana.” Lelaki itu beralasan. Sesungguhnya ia tidak tahu Airin berada di mana. Ia hanya berusaha menerka. Barangkali Airin pulang ke rumah orangtuanya ketika Leonel meninggalkannya seorang diri di tepi jalan.

“Kau tidak sedang berbohong kan?” Robin menatap mata Leonel dengan dalam. Berusaha mencari kebenaran dari sorot mata lelaki itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   146. Extra Part 35

    “Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   145. Extra Part 34

    “Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   144. Extra Part 33

    Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   143. Extra Part 32

    “Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   142. Extra Part 31

    “Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   141. Extra Part 30

    Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status