Share

7. Malam yang Panas di Apartemen

Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. 

“Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.

“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.

“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan lelaki itu.

Leonel mendaratkan bibirnya di bibir seksi itu. Ia terus memaju mundurkan pinggangnya sembari melumat bibir yang membuat ia begitu kecanduan sehingga selalu ingin merasakan nikmatnya. Suara decakan terdengar ketika mereka saling melumat satu dengan yang lain.

Livy merasa cukup sesak ketika tubuh besar milik Leonel menimpa tubuhnya. Namun, itu bisa ditutupi dengan rasa nikmat yang ia terima dari lelaki itu.

“Aaaah.” Leonel mendesah. Kepalanya serasa ingin meledak karena merasa terlalu nikmat.

Hanya saja, Leonel berhenti sejenak.

Tiga menit setelah itu, ia bangkit dengan posisi berlutut. Livy ia tarik dan ia minta untuk melakukan pose menungging. Kembali ia mencari kepuasan dari sekretaris kesayangannya itu.

“Aaahh.” Livy mendesah. “Besok ada meeting penting, jangan tinggalkan apa pun di leherku.”

“Kau bisa menutupinya dengan rambut indahmu.” Leonel mencari alasan. Ia tinggalkan banyak bekas cupangan di sana.

Mereka terus bercinta tanpa mengenal waktu. Hingga dering ponsel terdengar di tengah percintaan.

Leonel mengabaikan. Ia terus menikmati tubuh Livy dengan penuh nafsu. Ia ingin menguras cairan cintanya sebanyak mungkin. Membuang bibit-bibit bayi begitu saja di atas lantai dan juga di atas perut Livy.

Ponsel terus berdering.

“Ck!” Loenel berdecak.

“Coba kau periksa dulu. Barangkali penting.” Livy berucap dengan sangat lembut disertai desahan.

“Tidak ada yang lebih penting dibanding tubuhmu.” Leonel kembali mengecup leher jenjang itu.

Ponsel berdering entah untuk yang kesekian kali.

Leonel tampak sangat kesal. Ia menebak jika itu adalah istrinya. Dalam hati ia berjanji akan memberikan Airin pelajaran ketika pulang nanti. Berani sekali wanita itu mengganggu keseruannya dalam menikmati tubuh Livy.

Namun, bukan Airin yang menghubungi. Melainkan Robin. Air wajah Leonel berubah seketika. Ia berusaha menormalkan napasnya yang terdengar sangat memburu seakan ia habis olah raga berat malam ini.

“Halo, Pa.” Leonel berucap dengan penuh sopan, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Livy menghampiri. Ia peluk tubuh polos milik Leonel dari belakang. Ia mulai menggoda lelaki itu. Telapak tangannya yang halus menggenggam dan mengocok laras panjang milik Leonel. Wajah Leonel memerah dan memanas. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan desahan-desahan.

“Airin bersamamu?” Robin bertanya dengan penuh khawatir.

“Iya. Dia sedang pergi membeli minum. Ada apa?”

“Papa menghubunginya dua jam yang lalu, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Barusan papa hubungi lagi, tapi nomornya sudah tidak aktif. Kalian baik-baik saja?” Robin bertanya memastikan.

“Kami baik-baik saja. Mungkin Hp Airin di-silent, jadi dia tidak tahu jika papa nelpon.”

“Papa harap juga begitu. Kalian pulang sekarang, papa punya firasat tidak baik.”

“Sebentar lagi, Pa. Airin masih ingin jalan-jalan.”

“Ya sudah, kalian hati-hati di sana. Kau jaga istrimu baik-baik. Susul dia ke tempatnya membeli minum. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk padanya atau kau akan papa habisi.” Robin memberikan ancaman.

“I-iya, Pa.” Leonel terdengar cukup takut mendapat ancaman itu.

“Ada apa?” Livy bertanya setelah Leonel mematikan sambungan panggilan dan menaruh ponsel di atas meja kaca.

“Wanita sialan itu bikin ulah. Dia pasti sengaja mematikan ponselnya agar aku dimarahi oleh ayahku.” Leonel berucap dengan kesal.

Livy tersenyum manis. “Mengapa kau tidak menceraikannya saja? Aku sudah tidak tahan menjalin hubungan di belakang. Kadang aku juga ingin menunjukkan hubungan kita ke orang-orang. Terlebih teman-temanku.”

“Aku sedang berusaha. Kau tahu kan, aku tidak akan bisa pisah dengannya jika bukan dia yang meminta lebih dulu. Dia yang punya kunci di dalam hubungan kami.”

“Kau kurang kasar padanya. Kau harus bersikap lebih kasar lagi.”

“Aku sudah bersikap sekasar mungkin.”

“Beri dia pukulan.” Livy memberikan saran.

“Ayahku akan memotong tanganku jika aku menyakitinya secara fisik.”

“Apa istrimu memang mempunyai power sekuat itu?”

“Dia anak tunggal kaya-raya dari teman ayahku. Ayahku punya hutang budi yang sangat besar pada mereka. Apa pun yang dia inginkan, ayahku merasa itu sebagai perintah yang harus dilakukan. Kau tahu, ayahku itu sangat galak dan tegas, tapi dia bisa sangat lembut pada Airin. Kadang aku ingin membunuhnya ketika aku merasa kesal. Dia benar-benar membuatku merasa sangat muak.”

Livy semakin mengeratkan pelukan. Wajahnya ia tempelkan ke punggung lelaki itu.

“Bagaimana jika kau beritahu istrimu tentang hubungan kita? Kurasa dia akan marah dan meminta pisah.” Livy menyarankan.

“Kurasa itu bukan jalan terbaik. Aku akan terus mengabaikannya selama beberapa bulan ke depan, kita lihat sejauh mana dia bisa bertahan.”

***

Tepat pukul sebelas malam, Leonel pamit untuk pulang meski sebenarnya ia ingin menetap di sana lebih lama lagi. Ia beri Livy kecupan di kening, lalu beranjak pergi.

Leonel menghubungi Airin untuk bertanya di mana wanita itu berada. Sebab, mereka akan pulang sekarang. Namun, seperti yang Robin katakan sebelumnya, nomor Airin tidak lagi bisa dihubungi. Mendadak nomornya tidak aktif.

Leonel melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Ia terus menghubungi sepanjang perjalanan, tapi tetap saja tidak bisa. Nomor itu benar-benar tidak aktif saat ini. Leonel menghela napas dengan kasar, ia taruh ponselnya di dashboard. Lalu, melajukan mobil menuju pulang.

“Di mana Airin?” Robin bertanya ketika ia mendapati hanya putranya yang pulang seorang diri.

“Dia minta diantar ke rumah orangtuanya.”

“Kenapa?” Robin bertanya dengan penuh selidik.

“Dia mau nginap di sana.” Lelaki itu beralasan. Sesungguhnya ia tidak tahu Airin berada di mana. Ia hanya berusaha menerka. Barangkali Airin pulang ke rumah orangtuanya ketika Leonel meninggalkannya seorang diri di tepi jalan.

“Kau tidak sedang berbohong kan?” Robin menatap mata Leonel dengan dalam. Berusaha mencari kebenaran dari sorot mata lelaki itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status