“Capek banget ya bicara sama kamu. Bebal banget. Apa Maha juga secapek ini ya? Karena itu dia ninggalin kamu dan lebih nyaman denganku?”“Kamu! Dasar jalang sialan!”Ziana menelan salivanya melihat sorot kemarahan di mata Sherena. Perempuan itu berhasil memancing emosi Sherena yang tidak bisa lagi berdiam di tempatnya. Dengan higheelsnya, Sherena melangkah cepat mendekati Ziana. Tangannya terangkat ke atas siap menampar pipi Ziana seperti sebelumnya. “Aaa...!” jerit Ziana sambil menutupi wajahnya dengan tangannya. Akibatnya tamparan Sherena hanya mengenai tangan Ziana.“Jalang gila! Murahan! Menjauh dari Maha! Sialan!”Sherena yang sudah gelap mata, terus memukuli dan mencakar bagian tubuh Ziana yang bisa dicapainya. Tubuh Ziana membungkuk melindungi perutnya agar tidak terkenal pukulan Sherena. Sesekali Ziana meringis kesakitan karena pukulan Sherena cukup kuat untuk standar seorang wanita.“Berhenti! Menjauh dari Ziana!”Juwita yang mencari keberadaan Ziana, mendengar jeritan dari
“Aku juga tidak tahu pastinya, om. Yang jelas saat aku sampai di balkon, aku lihat Sherena sedang mendorong Ziana dan tante Juwita sudah lemas di lantai. Om, aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ziana,” ucap Mahanta lirih.“Dokter belum memberitahu apapun, Maha. Kita masih punya harapan. Om akan menyelidiki hal ini.”Mahanta mengangguk mempercayakan masalah itu pada Tomo. Satu-satunya yang Mahanta pikirkan saat ini adalah keselamatan Ziana dan bayinya.Tak lama dokter Kavya datang dan langsung masuk ke ruang perawatan tanpa bicara pada Mahanta. Dari raut wajahnya, Mahanta bisa menebak kalau dokter Kavya sudah tahu tentang kondisi Ziana.“Kenapa lama sekali?” gumam Mahanta membuat Tomo menepuk pundaknya.“Tenanglah, Maha. Meskipun hatimu sedang cemas, pikiranmu harus tetap tenang.”“Nggak bisa, om. Bagaimana kalau__”“Jangan mendahului takdir Tuhan dengan mengatakan asumsi yang membuat pikiranmu semakin buruk. Apa kamu lupa kalau belahan jiwa om juga ada di dalam sana?”Mahanta m
“Sherena. Wajahmu?” Nenek Darisa memperhatikan tisu di tangannya yang berganti warna seperti lebam di wajah Sherena. Meskipun bingung dengan apa yang dilihatnya, tapi nenek Darisa tidak seheboh sebelumnya.Mahanta dan Lintang yang puas melihat kebohongan Sherena nyaris terbongkar, memulai rencana berikutnya. Mahanta meraih tisu di tangan nenek Darisa. “Kamu belum cuci muka ya? Kok wajahmu kotor gini?”Lintang yang keluar dari kamar mandi dengan handuk basah di tangannya, mendekat lalu menyodorkan handuk itu pada Mahanta. “Cepat dibersihkan. Bisa-bisa infeksi kalau lukanya kotor,” ucapnya dengan wajah serius.“Benar juga. Sherena, biar Maha membantumu. Cepat, Maha,” ucap nenek Darisa.Sherena semakin panik karena Mahanta dan Lintang berdiri di sisi brankarnya. Kedua tangannya dipegang dengan kuat oleh kedua pria kekar itu. Sementara Mahanta mulai mengusap wajahnya dengan handuk basah itu.“Jangan! Lepasin!” jerit Sherena yang tidak diindahkan oleh Mahanta dan Lintang.Mahanta terus men
“Kamu mau mandi juga, sayang?” tanya Mahanta sambil menaikturunkan alisnya menggoda Ziana.“Aku bisa mandi sendiri. Jangan macam-macam, Maha,” tegur Ziana sembari memukul lengan pria itu.“Kamu belum boleh turun dari brankar, Ziana. Dokter Kavya bilang kamu harus bedrest. Istirahat total.”“Tapi aku baik-baik saja. Gimana caranya ke toilet kalau harus bedrest?”“Aku gendong. Kamu nggak boleh jalan. Sekarang ya?”Ziana terpaksa menahan malu dihadapan Tomo dan Juwita ketika Mahanta menggendongnya masuk ke kamar mandi. Hasrat ingin pipisnya sudah diujung tanduk dan tidak ada pilihan lain bagi Ziana. Saat Mahanta dan Ziana sibuk dengan urusan mereka di kamar mandi, Lintang menepati ucapannya untuk datang lagi. Kedua tangannya tampak membawa beberapa paper bag.“Om, tante. Ini sarapannya. Dimana Maha dan Ziana?”Belum sempat Tomo menjawabnya, terdengar jeritan tertahan Ziana dari dalam kamar mandi. Sontak Lintang menunjuk ke arah kamar mandi sambil melebarkan matanya menatap Tomo. Anggukan
“Wah, gila kamu! Aku memang jomblo tapi bukan berarti incaranku istri orang,” omel Lintang tidak terima.“Siapa tahu. Namanya juga kepepet. Atau kau memang sukanya yang seperti itu?” tanya Mahanta semakin curiga.“Ngaco. Semakin banyak kita tahu informasi, semakin cepat kita mengungkap semua ini. Bukankah kau juga ingin menyingkirkan Sherena dari jalanmu?”Mahanta tidak bisa menyangkal tentang hal yang dikatakan Lintang. Setelah sekian lama berpacaran dengan Sherena, Mahanta ingin mengakhiri semuanya. Tapi Sherena tidak pernah bisa disingkirkan dengan mudah. Mahanta harus sangat berhati-hati agar Ziana tetap aman.“Kau benar. Kumpulkan semua informasinya. Akan sangat bagus kalau kita dapat buktinya juga. Tapi ingat, Lintang. Kau harus berhati-hati. Terutama pada sahabat kita.”“Maksudmu Arjuna? Apa yang membuatmu curiga?”“Jay bukan satu-satunya orang yang mendekati Sherena saat itu. Apa kau lupa?”Lintang terdiam mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. “Kenapa kalian bertiga bis
“Mah, nanti kita bicarakan. Sekarang buka saatnya,” tegur Mahanta.“Kenapa harus nanti? Lagipula tidak ada orang lain disini. Bantuan apa yang kamu maksud, Hannah?”Hannah melirik Mahanta dan Ziana bergantian sebelum menatap Intan. “Pak Maha membantu membangun toko kue di depan rumah saya, Bu Intan. Ibu ingat ‘kan saat terakhir kali kita bertemu. Tentang fitnah pada toko kue saya dan juga sewa toko.”“Ya, aku ingat. Jadi Maha yang membantumu membuka toko kue baru?”Hannah mengangguk sambil tersenyum, “Kalau bukan karena Pak Maha, mungkin saya belum bisa berjualan kue lagi sampai sekarang. Pak Maha dan Pak Lintang juga membantu membersihkan nama baik toko kue saya.”“Begitu. Jadi, apa ada surat perjanjian diantara kalian?”“Mah! Apa maksud mama bicara seperti itu?” Mahanta buru-buru mendekati Intan.“Loh, mama rasa surat perjanjian itu penting kalau menyangkut uang, Maha. Lagipula Hannah sudah bilang akan mengembalikannya. Bukannya itu sudah termasuk kesepakatan?”“Mah__”“Mamamu benar
“Selamat siang, Pak Maha. Apa kabar?”Mahanta menoleh saat namanya dipanggil. Ekspresi wajahnya melunak saat melihat kedatangan pengacara pribadinya. Orang yang pria itu percaya selain Lintang itu, berjalan mendekatinya lalu mengulurkan tangan ke arah Mahanta.“Pengacara Handi, silakan masuk,” ucap Mahanta sambil menjabat tangan pengacara itu.“Selamat atas pernikahan Pak Maha dan Bu Ziana.” Pengacara itu menatap Ziana ramah lalu mencakupkan kedua tangannya di depan dada. “Perkenalkan saya Handi, pengacara Pak Maha.”“Selamat siang, Pak pengacara. Silakan duduk,” ucap Ziana lalu menoleh pada Mahanta. “Kalau kamu sibuk, aku ke kamar dulu, mas.”“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Mahanta.“Iya, aku baik.”“Kalau begitu, duduklah bersamaku.”Meskipun tidak tahu maksud Mahanta, tapi Ziana menuruti pria itu dan duduk bersamanya di sofa panjang. Pengacara Handi langsung mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas kerjanya dan mengaturnya rapi diatas meja sofa.Sebelum menjelaskan isi d
[“Ini aku. Bisa kita bicara?”]Mahanta menoleh ke arah Ziana yang masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu langsung menyetujui keinginan lawan bicaranya, lalu bersiap-siap. Sebelum pergi, Mahanta mengecup kening Ziana lalu menyelimuti tubuh istrinya itu.“Aku akan segera kembali, sayang. Tidurlah yang nyenyak.”Saat Mahanta keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu depan, Juwita tidak sengaja melihatnya. Wanita paruh baya itu mencoba mengejar Mahanta yang pergi lebih dulu dengan mobilnya. Dengan ekspresi khawatir, Juwita masuk kembali ke dalam mansion lalu mencari Tomo di kamar mereka.“Mas, Maha pergi keluar tuh. Ada bilang sama kamu, nggak?”Tomo mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya lalu menatap Juwita. “Nggak ada tuh. Mungkin dia ada pekerjaan mendadak. Karena itu ‘kan Mahanta dan Ziana tinggal disini. Coba kamu cek Ziana di kamarnya.”“Iya juga ya. Sebentar ya.”Juwita keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju kamar Ziana. Diketuknya pelan pintu kamar itu