“Wah, gila kamu! Aku memang jomblo tapi bukan berarti incaranku istri orang,” omel Lintang tidak terima.“Siapa tahu. Namanya juga kepepet. Atau kau memang sukanya yang seperti itu?” tanya Mahanta semakin curiga.“Ngaco. Semakin banyak kita tahu informasi, semakin cepat kita mengungkap semua ini. Bukankah kau juga ingin menyingkirkan Sherena dari jalanmu?”Mahanta tidak bisa menyangkal tentang hal yang dikatakan Lintang. Setelah sekian lama berpacaran dengan Sherena, Mahanta ingin mengakhiri semuanya. Tapi Sherena tidak pernah bisa disingkirkan dengan mudah. Mahanta harus sangat berhati-hati agar Ziana tetap aman.“Kau benar. Kumpulkan semua informasinya. Akan sangat bagus kalau kita dapat buktinya juga. Tapi ingat, Lintang. Kau harus berhati-hati. Terutama pada sahabat kita.”“Maksudmu Arjuna? Apa yang membuatmu curiga?”“Jay bukan satu-satunya orang yang mendekati Sherena saat itu. Apa kau lupa?”Lintang terdiam mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. “Kenapa kalian bertiga bis
“Mah, nanti kita bicarakan. Sekarang buka saatnya,” tegur Mahanta.“Kenapa harus nanti? Lagipula tidak ada orang lain disini. Bantuan apa yang kamu maksud, Hannah?”Hannah melirik Mahanta dan Ziana bergantian sebelum menatap Intan. “Pak Maha membantu membangun toko kue di depan rumah saya, Bu Intan. Ibu ingat ‘kan saat terakhir kali kita bertemu. Tentang fitnah pada toko kue saya dan juga sewa toko.”“Ya, aku ingat. Jadi Maha yang membantumu membuka toko kue baru?”Hannah mengangguk sambil tersenyum, “Kalau bukan karena Pak Maha, mungkin saya belum bisa berjualan kue lagi sampai sekarang. Pak Maha dan Pak Lintang juga membantu membersihkan nama baik toko kue saya.”“Begitu. Jadi, apa ada surat perjanjian diantara kalian?”“Mah! Apa maksud mama bicara seperti itu?” Mahanta buru-buru mendekati Intan.“Loh, mama rasa surat perjanjian itu penting kalau menyangkut uang, Maha. Lagipula Hannah sudah bilang akan mengembalikannya. Bukannya itu sudah termasuk kesepakatan?”“Mah__”“Mamamu benar
“Selamat siang, Pak Maha. Apa kabar?”Mahanta menoleh saat namanya dipanggil. Ekspresi wajahnya melunak saat melihat kedatangan pengacara pribadinya. Orang yang pria itu percaya selain Lintang itu, berjalan mendekatinya lalu mengulurkan tangan ke arah Mahanta.“Pengacara Handi, silakan masuk,” ucap Mahanta sambil menjabat tangan pengacara itu.“Selamat atas pernikahan Pak Maha dan Bu Ziana.” Pengacara itu menatap Ziana ramah lalu mencakupkan kedua tangannya di depan dada. “Perkenalkan saya Handi, pengacara Pak Maha.”“Selamat siang, Pak pengacara. Silakan duduk,” ucap Ziana lalu menoleh pada Mahanta. “Kalau kamu sibuk, aku ke kamar dulu, mas.”“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Mahanta.“Iya, aku baik.”“Kalau begitu, duduklah bersamaku.”Meskipun tidak tahu maksud Mahanta, tapi Ziana menuruti pria itu dan duduk bersamanya di sofa panjang. Pengacara Handi langsung mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas kerjanya dan mengaturnya rapi diatas meja sofa.Sebelum menjelaskan isi d
[“Ini aku. Bisa kita bicara?”]Mahanta menoleh ke arah Ziana yang masih belum berpindah dari posisinya. Pria itu langsung menyetujui keinginan lawan bicaranya, lalu bersiap-siap. Sebelum pergi, Mahanta mengecup kening Ziana lalu menyelimuti tubuh istrinya itu.“Aku akan segera kembali, sayang. Tidurlah yang nyenyak.”Saat Mahanta keluar dari kamar dan berjalan menuju pintu depan, Juwita tidak sengaja melihatnya. Wanita paruh baya itu mencoba mengejar Mahanta yang pergi lebih dulu dengan mobilnya. Dengan ekspresi khawatir, Juwita masuk kembali ke dalam mansion lalu mencari Tomo di kamar mereka.“Mas, Maha pergi keluar tuh. Ada bilang sama kamu, nggak?”Tomo mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya lalu menatap Juwita. “Nggak ada tuh. Mungkin dia ada pekerjaan mendadak. Karena itu ‘kan Mahanta dan Ziana tinggal disini. Coba kamu cek Ziana di kamarnya.”“Iya juga ya. Sebentar ya.”Juwita keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju kamar Ziana. Diketuknya pelan pintu kamar itu
Sesampainya Mahanta di mansion, dia langsung mendekati meja makan. Suasana yang tadinya hangat, mendadak berubah dingin setelah kedatangan Mahanta. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, pria itu mendekati Ziana lalu duduk di sampingnya.“Sayang, maaf aku pergi nggak bilang-bilang. Tadi Lintang menelponku,” ucap Mahanta lembut.“Beneran Lintang?” tanya balik Ziana dengan nada curiga.“Iya, sayang. Kamu nggak percaya sama aku?”“Kamu ‘kan suka bohong.”“Ngambek ya?” goda Mahanta sambil mencolek dagu Ziana. “Mau night ride? Kayak dulu?”“Kemana?”Tomo dan Juwita terkekeh geli melihat reaksi polos Ziana yang senang diajak jalan-jalan. Sangat mudah mengembalikan mood Ziana. Tidak perlu barang-barang branded, cukup perhatian dan melakukan hal-hal kecil saja.“Aku pernah ke belakang mansion ini. Ada tempat untuk melihat pemandangan kota. Masih ada, om?” tanya Mahanta.“Oh, tempatnya sudah direnovasi jadi jalan. Sekarang kamu harus naik sedikit untuk bisa melihat pemandangan.”“Pakai mobil saj
Ziana mengangguk, lalu menarik tangan Mahanta kembali ke mobil. “Ayo bicara di dalam. Udaranya semakin dingin.”Mahanta membuka pintu dan juga sunroof agar mereka bisa melihat bintang dan langit malam. Sesekali Ziana mengusap lengannya yang terasa dingin sambil menunggu Mahanta menyiapkan semuanya.“Ayo, masuk. Berbaring saja ya.”Ziana masuk ke dalam mobil lalu berbaring dengan nyaman diatas kasur empuk beralaskan selimut tebal. Mahanta menarik selimut yang lebih tipis menutupi tubuh Ziana sampai ke perutnya, sebelum ikut berbaring di samping perempuan itu.“Ayo ceritakan,” pinta Mahanta.“Papa dan mamaku adalah tipe orang tua yang meskipun sibuk bekerja, kalau mendengar anaknya sakit, mereka akan langsung pulang untuk menjaganya.”“Mereka kerja dimana?”“Papaku pengawas produksi perusahaan kue dan mamaku salah satu staf yang bertugas dengan alat-alat pembuatan kue. Mereka bertemu disana dan saling jatuh cinta.”“Oh, karena itu Hannah bisa membuat kue seperti sekarang ini? Sudah ada
“Tapi, sayang. Apa kamu tahu bagaimana kronologis kejadian kecelakaan orang tuamu?” tanya Mahanta membuat Ziana berbalik ke arahnya.“Aku dengar saat kak Hannah bicara dengan polisi. Mobil yang papa kendarai mengalami rem blong dan tidak bisa berhenti saat melewati perempatan. Akibatnya mobil papa ditabrak truk dari samping dan terguling beberapa kali. Papa dan mama meninggal dengan kondisi cidera kepala parah dan kehilangan banyak darah.”Mahanta mengangguk mengerti lalu mengusap rambut Ziana. “Tidurlah, sayang. Akan kubangunkan besok pagi.”Ziana mengangguk pelan lalu kembali menatap langit malam diatas mereka. Semilir angin dingin yang menerpa wajahnya, membuat kedua netra Ziana perlahan terpejam. Ditambah tepukan lembut di kepalanya yang dilakukan Mahanta.“Sayang?” panggil Mahanta setelah kepala Ziana terkulai lemas di samping ketiaknya. Tidak ada sahutan dari Ziana membuat Mahanta tersenyum.“Selamat malam, sayang.”Setelah memastikan Ziana tertidur lelap, Mahanta beranjak kelua
“Kenapa tidak? Mereka harus tahu kalau Ziana akan menjadi putri kita.” Juwita sangat bersemangat tentang Ziana.Tomo hanya diam memikirkan pesta penyambutan yang diinginkan Juwita. Pria itu sangat bisa menyelenggarakannya, tapi insiden yang terakhir dengan Sherena membuat Tomo harus ekstra waspada. Kalau keluarga Hirawan diundang, Tomo khawatir Sherena juga akan datang dan kembali membuat keributan.“Mas, kok kamu ngelamun sih? Bisa nggak? Surat-suratnya sudah selesai ‘kan?”“Hanya tinggal meminta tanda tangan Ziana saja. Pengacara kita akan datang kesini untuk menjelaskan semuanya, sekaligus mengurus ahli waris kita nantinya.”“Aku tidak sabar. Semakin cepat semakin baik. Ziana harus kita lindungi dengan baik.”“Segitu sayangnya kamu sama Ziana sampai aku dicuekin. Sekarang yang kamu bahas pasti Ziana terus.” Tomo merajuk dengan bibir maju ke depan.“Cemburu ya? Cemburu kok sama putri sendiri. Seharusnya kamu senang, mas. Akhirnya kita punya anak.”“Ada atau tidak, aku selalu bahagi