LOGINMendengar ucapan Erna, Rentenir itu langsung mengomeli wanita tersebut.
"Sialan! Kenapa gak bilang kalau dia punya Tuan Devano, ha! Mau ngebunuh saya, kamu!" sentak lelaki itu.Erna mengeryitkan kening mendengar omelan lelaki tua itu. Begitupun Dania, wanita yang usia tidak jauh dari Kania dia menatap sang Ibu."Maksud Tuan, gimana? Saya gak paham. Tuan Devano? Siapa. Kania punya dia? Maksudnya gimana sih," lontar Erna.Mendapati ucapan Erna, lelaki lawan bicara wanita itu mendengkus."Gak perlu banyak omong! Kamu tanyakan aja sama anakmu itu, dia dibawa Tuan Devano sekarang. Dan hutangmu udah dilunasi sama dia," sungut pria tua itu.Dia langsung mematikan sambungan telepon, membuat Erna yang memanggil berdecak. Ia memilih mendaratkan bokong di kursi, diikuti Dania ikut duduk si samping wanita ini."Sini, Bu! Aku dengerin perkataan pria tua itu," pinta Dania.Wanita itu langsung menyerahkan benda pipih tersebut. Memang ia saat menelepon segera merekam pembicaraan, untuk bukti agar untuk meminta mahar."Apa? Devano? Devano Arthur Rafandra bukan? Kalau iya, gila! Serius dia kenal sama Kania," pekik anak Erna.Erna langsung memandang putrinya, ia mengerutkan kening lalu membulatkan mata."Maksud kamu, Devano yang kaya raya itu? Yang bahkan punya puluhan turunan gak bakal habis-habis?" tanya Erna.Perempuan itu langsung menganggukan kepala, Erna segera melemparkan tatapan tak percaya."Jangan-jangan dia kerja jadi pembantu di rumah Tuan Devano lagi," ujar Dania."Gak mungkin kan kalau dia itu pacarnya Tuan Devano, gak pantes banget. Pantesnya jadi upik abu," lanjut wanita itu."Atau enggak dia jadi lacurnya Tuan Devano, tapi kabar simpang siur kalau Tuan Devano gak pernah deket sama cewek. Bahkan dia kaya punya alergi kalau deket cewek suka langsung muntah," cerocos Dania.Wanita muda tersebut mengacak-acak rambutnya, ia sangat pusing dengan menerka-nerka hubungan Kania dan Devano. Mendengar ucapan sang putri, seringai Erna muncul perempuan ini segera menatap anaknya."Dania!"Ia segera menatap sang Ibu karena panggilan lumayan kencang, padahal mereka sangat dekat. Tidak perlu bersuara begitu besar bukan?"Ada apa, Bu. Gak usah teriak-teriak juga kali, kita di rumah bukan di hutang! Lagian Nia gak tuli," gerundel wanita itu.Erna membalas dengan senyuman lebar, membuat Dania sedikit ngeri melihat hal tersebut."Kenapa Ibu senyum sampe segitunya," kata sang anak.Erna langsung menarik putrinya duduk kembali, lalu tangan wanita itu memegang paha sang putri."Gini, Nia. Kita coba ke rumah Tuan Devano itu, kita cari tau apa yang dia lakuin ke Kania. Kalau misalnya dia mau pake Kania kan kita bisa minta tambahan uang ke dia, nanti kita bisa pergi jalan-jalan dan semuanya pokoknya," terang Erna.Dania terdiam sebentar, melihat sang anak yang sangat lama berpikir membuat Erna mengerutkan kening."Kenapa kamu begitu? Biasanya kamu cepat banget kalau soal uang, apalagi yang jadi tumbal itu Kania," ujar Erna.Helaan napas terdengar dari bibir Dania, wanita itu memandang sang Ibu dan memegang lengan perempuan tersebut."Tapi kalau misalnya Kania di jadiin istrinya gimana, Bu," kata Dania.Erna semakin sumringah memdengar perkataan putrinya."Ya bagus dong, kita nanti makin gampang morotin uang cowok itu," balas Erna.Dania langsung menghempaskan tangan sang Ibu, membuat Erna semakin mengerutkan kening. Bahkan alis wanita itu sampai menyatu."Ibu, mah ... gak ngerti banget, kalau misalnya dia jadi istrinya Tuan Devano, aku gak rela. Aku juga mau jadi istrinya Tuan Devano, Bu ...."Erna menganggukan kepala, ia juga jadi berpikir jika putri kesayangannya jadi istri Devano. Pasti hidup mereka bakal serba enak, membuat wanita itu memandang Dania."Kalau gitu, pas ke rumahnya. Coba kamu goda aja, kamu kan lebih cantik dari Kania, pasti dia kepincut sama putri cantik Ibu, ini," lontar Erna.Dania langsung tersenyum sumringah, wanita itu segera memeluk sang Ibu. Lalu ia segera menadahkan tangan membuat, perempuan ini menatap bingung."Uang, Bu ... aku kan mau tampil maksimal di depan Tuan Devano, aku harus ke salon sama beli baju," ujar Dania.Wajah Erna langsung masam dengar permintaan putrinya, ia menggelengkan kepala sebagai jawaban."Gak ada uang, Nia. Uang ini buat makan kita hari ini."Dania cemberut mendengar itu, ia menghentakan kaki dan kembali duduk di sofa dengan tangan bersidekap."Ibu, mah ... masa aku kaya gini ketemu Tuam Devano, dia kan pria kaya. Pasti selalu ketemu cewek cantik seksi yang perawatannya ratusan juta, aku kalau gini doang malu dong. Ayo dong, Bu ... lagian kalau aku berhasil dapetin Tuan Devano, Ibu juga yang enak nanti."Ibu wanita itu langsung terdiam, ia menghela napas lalu mengeluarkan dompet. Membuat Dania tersenyum sumringah, perempuan tersebut dengan cepat merampas benda yang dipegang Ibunya."Dania! Ih ... kenapa dia ambil semua, nanti kita makan gimana huh ...!"Dania menyerahkan dompet sang Ibu, ia segera menaruh lima lembar berwarna mereka ini di saku."Ini aja kurang Bu buat ke salon, ya Ibu nanti minta transfer dong ke Kania. Kan dia gajian, kan."Setelah berkata demikian, Dania langsung pergi meninggalkan Ibunya di kediaman. Wanita itu mendengkus mendengar perkataan sang anak, lalu ia memilih lekas menelepon Kania."Lah, padahal berdering. Kenapa gak di angkat sih! Sialan," maki wanita itu.Dia terus menelepon Kania, tetapi masih tidak diangkat. Akhirnya berinisiatif untuk menjual perhiasan miliknya, sambil terus menggerutu kala mencari barang tersebut."Ini semua gara-gara, dia! Kenapa coba segala gak diangkat," cerocos Erna.Wanita ini berada di kamar, sejak tadi memandang perhiasan miliknya. Aksesori ini hasil dari mengumpulkan dari uang yang dikirimkan Kania."Pokoknya awas aja nanti kalau ketemu," sungut wanita itu.Dia segera memasukan satu perhiasan di tas, lalu lekas menaruh ke lemari lagi. Jika saja Dania tau, mungkin wanita itu sudah merampasnya tadi. Beruntung saat membeli ini, tidak diketahui putri kesayangannya itu.Sedangkan di tempat lain, kini Kania terus melamun memandang sekitar. Kamar lelaki yang mengurung memang sangat luas, hanya kepala pelayan yang boleh membersihkan tempat ini, bawahan yang lain pria tersebut harus segera pergi setelah melakukan tugas."Apa yang harus aku lakuin," batin Kania.Wanita itu kini beralih ke Devano yang begitu fokus menatap berkas lalu laptop. Melihat pemandangan tersebut, bahkan Kania sangat pusing apalagi yang melakukannya."Kenapa dia terus di sini! Aku jadi gak bisa gerak buat nyari cara pergi dari kamar ini," keluh Kania dalam hati.Devano melihat riak wajah Kania yang berubah-ubah membuat lelaki itu hanya tersenyum sinis."Jangan berpikir kamu bisa kabur dari kamar ini, kamu gak akan bisa keluar sebelum menuruti perintahku!"Beberapa tahun kemudian, kediaman yang bagai istana milikDevano setiap saat terasa begitu ramai. Suara langkahtergesa terdengar, pintu yang dibanting dan nada tinggiseorang remaja memenuhi koridor."Iris, apa yang kamu lakukan!" teriak Fiona.Gadis remaja itu baru berumur enam belas tahun, barumemasuki sekolah menengah keatas. Rupanya cantik sepertiKania tetapi memilih karakter keras Devano. Perempuantersebut keluar dari kamar dengan wajah murka sambilmenarik kasar lengan Iris."Maaf Kakak, aku cuma ...," ucapannya terhenti karenadisela Fiona."Sudah! Kamu memang gak pernah merasa bersalahsedikitpun," omel gadis tersebut sambil menunjuk wajahadiknya.Felix yang baru saja selesai mandi segera keluar dari kamar,lelaki itu hanya melilitkan handuk di pinggangnyamenampilkan dada pria tersebut, bahkan tangan lelaki inisibuk mengeringkan rambut."Ada apa, Fiona ... kamu ini masih pagi sudah marah-marahaja," gerutu Felix."Kenapa kamu memarahi Iris, kasihan dia," lanjut priater
Mendengar perkataan sang suami, jemari Kania yang bergerak untuk bermain dengan Iris berhenti. Wanita tersebut tidak langsung menoleh menatap lelaki yang menikahinya, ia menarik napas dalam dan mengembuskan sedikit kasar. Tetapi masih menjaga agar tidak mengusik bayi kecil dalam pangkuannya. "Devano ...." Ucap Kania pelan, hampir tanpa suara. Wanita itu langsung memanggil nama suaminya, ia menarik napas kembali karena merasa lelah, berusaha menguatkan hati karena luka yang ditoreh sang kekasih. Lelaki itu mendekat satu langkah lalu berhenti, tangannya memegang pakaian sendiri. Seakam takut menyentuh apapun sebelum mendapatkan izin. “Aku cuma ingin kamu aman,” ucapnya lagi.Suara lelaki itu pecah perlahan. "Saat itu. Aku lihat kamu hampir ...."Devano tak sanggup melanjutkan perkataannya, gambaran Kania begitu lemah. Keluar darah dan jantung hampir berhenti begitu menghantui. Perempuan tersebut menoleh, pandangannya tidak marah, hanya dipenuhi rasa lelah membuat dada Devano seaka
Dua hari berlalu, semenjak keluar dari ruang persalinan. Saat bertemu dengan Devano, Kania selalu mendiamkan lelaki itu. Kini pria tersebut tengah mengurus kepulangan sang istri, walau pikirannya berkelana mendapatkan sikap demikian."Mama, Mama sama Papa bertengkar?" tanya Fiona.Kania yang sedang memberikan asi pada putrinya segera menoleh menatap Fiona, tatapan gadis itu penuh penyelidikkan. "Enggak kok, Sayang. Perasaan kamu aja," elak Kania."Mah," panggil Felix dengan suara serak. Lelaki kecil itu bangun dari tidurnya, ia berbaring di sofa dan segera mendudukkan tubuh. "Iya," balas perempuan tersebut.Dia menjawab tanpa menoleh memandang anaknya, karena fokus ke Iris yang berhenti menyusu."Mama sangat fokus ke adik ya, kami diabaikan," lontar pria kecil itu spontan. Felix memang terkenal dengan sikap yang terbuka, ia akan mengeluarkan pemikirannya langsung. Mendengar itu Kania spontan menoleh, dia memandang kedua anak kembarnya lalu menggeleng."Enggaklah, Mama juga perhati
Devano mengendap-endap saat memasuki kamar, lampu di ruangan itu mati. Hanya cahaya kecil dari benda memancarkan keterangan. "Kamu ngapain," seru Kania. Wanita itu duduk di kursi roda, berada di sisi kanan ranjang. Deretan sekat berdiri dengan bingkai emas melengkung begitu anggun dan mewah. Menyembunyi tempat untuk pemilik kamar berbincang sebelum terlelap di kasur empuk atau kedatangan buah hati yang suka tiba-tiba ingin tidur bersama. Mendengar suara sang istri, Devano terhentak lalu menoleh ke asal bunyi. "Sayang!" pekik Devano terkejut. Lelaki itu langsung mendekati sang istri dengan gelagat yang aneh, membuat Kania memicingkan matanya. "Kamu bikin kaget aja, kenapa kamu bangun," lanjut pria itu berbicara. Kania mendelik wanita itu tidak bergerak mendekati suaminya, ia memilih menunggu lelaki tersebut untuk berdiri di hadapan dia. "Jangan mengalihkan pertanyaanku," tegur Kania atau lebih tepatnya menyindir. "Habis dari mana kamu? Kenapa pergi gak bilang-bilang sama aku."
Devano keluar kediaman pukul 23:00, lelaki itu nampak begitu dingin seperti tidak memiliki perasaan. Melangkah mantap menuju tempat dimana penculik anaknya berada, tangan pria tersebut terkepal mengingat luka dialami kedua buah hati yang dilahirkan Kania. "Beraninya dia! Menyakiti anak-anakku," ucapnya penuh penekanan. "Kalian harus mendapatkan ganjaran berkali-kali lipat!" Aura pria ini bagai membakar sekitar, membuat setiap tempat yang ada keberadaannya begitu panas membara. "Ayo cepat!" perintah Devano setelah duduk di kendaraan roda empat. Mendengar perkataan Devano, sang bawahan segera mengangguk patuh. Hawa yang dikeluarkan lelaki itu begitu kuat dan dominan. Waktu terus berjalan, sampai kendaraan roda empat ini akhirnya sampai tujuan. Lampu lorong bawah tanah yang redup, menyinari tempat tersebut saat Devano sudah berada di ruang bawah tanah. Sinar kekuningan dari lampu memantul di lantai beton yang lembab. Suara langkah lelaki itu bergema dengan langkah pelan, seperti se
"Dua." "Papa ...!" teriak Fiona dengan suara nyaring. Mendengar suara sang putri, Devano langsung menoleh ke asal sumber. Matanya menangkap Fiona dengan ditahan oleh seorang pria, pisau berada di dekat leher gadis tersebut. "Papa ... Fiona, takut," rengek gadis tersebut. Wajahnya yang angkuh tidak terlihat, kini dia tengah menjadi gadis kecil yang begitu ketakutan. Tubuh mungilnya bergetar, mata berlinang, pandangan lurus ke arah sang Ayah. "Papa," ucap Felix dengan nada lemah. Dunia Devano seakan berhenti, sosok yang selama ini kokoh, dingin dan tak tergoyahnya terlihat tampak retak. Rahang lelaki itu mengeras, kedua tangan m3ngepal sampai buku jari memutih dan napas memburu. “Beraninya kalian memperlakukan anak-anakku sampai begini,” suara lelaki itu rendah, sedikit bergetar akibat amarah dan begitu membuat alarm semua orang tanda bahaya. Mendapati ancaman Devano begitu mengerikan terdengar kw telinga, penculik yang memegang Felix dan Fiona menguatkan cengkeraman dan lebih m







