Semua langsung menoleh menatap asal suara, mereka semua melotot akibat terkejut. Melihat hal ini Devano melangkah mendekati, saat Kania hendak pergi dia dipegangi tangannya oleh orang yang berada di dekatnya. "Tuan, dia mau kabur. Hukum aja, beraninya kabur dari Tuan, udah bagus Tuan memilih dia," cerocos seorang perempuan.Devano melemparkan pandangan sekilas pada perempuan tersebut, lalu ia kembali menatap Kania. Senyuman sinis terulas di bibir lelaki tersebut, dia bersidekap. "Kalian pintar juga, memang benar. Kalau Dia! Berhasil kabur, kalian yang bakal kena dampaknya. Jadi ... kalau kamu masih berusaha kabur silakan, siap-siap aja mereka bakal ku pecat atau bahkan lebih," ucap Devano dingin.Mata Kania membulat sempurna mendengar ucapan Devano. ia melepaskan cengkraman tangan kepala pelayan yang memeganginya, lalu segera berjalan mendekati Devano dan menunjuk wajah pria tersebut dengan lengan gemetar. Semua yang berada di ruangan tersebut terkejut, wajah mereka memucat, melihat
Waktu terus bergerak tanpa jeda, seolah berlomba dengan detak jantung manusia. Hanya saja ia tak ikut berhenti kala para makhluk meninggal. Devano tengah berdiri di ambang pintu, menatap rintik hujan yang mengguyur bumi dan atap kediaman seluruh wilayah yang dikuasai. Pandangan mata begitu dingin sekaligus tajam, seperti dari tatapannya keluar sebuah benda tajam yang siap menghunus lawan.Lelaki ini sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, menatap benda kecil yang terus berputar menandakan waktu terus berjalan. Hawa dingin menusuk kulit tidak membuat lelaki ini mengubah riak wajah. Helaan napas kasar terdengar saat melihat bawaan yang baru sampai."Maaf, Tuan. Saya terlambat, saya bingung memilih pakaian buat Kania, karena tak tau ukuran badannya. Pas mau nanya, Tuan sudah mematikan sambungan telepon." Devano memiringkan kepala menatap bawaannya, apalagi mendengar suara pria itu yang terdengar gemetar membuat lelaki ini hanya memandang sinis."Kauu menyalahkanku! Ce
Wanita paruh baya itu mulai menceritakan semua yang di dengar. Ekspresi kesal muncul di riak wajah Kania kalah mendengar, tangannya terkepal merasakan amarah merambat. Lalu saat diri dikuasai emosi, dia tersadar kala merasakan sentuhan yang memegang tangannya. "Kenapa Ibu gak bilang pas aku dateng, dia bener-bener keterlaluan! Cuma gara-gara luka kecil di bibir ini. Dia sampe mecat Sella," geram Kania. Suara Kania sampai gemetar karena kemarahan, sedangkan wanita paruh baya tersebut segera meremas lembut tangan Kania. Seolah mencoba memadamkan api yang berkobar di hati perempuan tawanan sang majikan. Namun, belum sempat mengeluarkan suara, pintu terbuka dan muncul kepala pelayan menatap mereka. "Aku paham kamu peduli sama dia," seru sang kepala pelayan. Dia berkata demikian seraya menunjuk Kania. "Tapi jangan kasih tau semuanya, cukup seperlunya aja. Kalau Tuan Devano tau, bisa membahayakan kita semua, tau!" Dia memperingati dengan nada tegas, membuat Kania yang mendengar hal t
Mata Devano terlihat tajam saat menatap layar yang menampilkan Kania yang sedang berada di kamar. Kepalanya sedikit miring, dan dia tersenyum sinis melihat gerakan gelisah wanita tawanan itu. Terlihat wanita tersebut sesekali menggigit bibir bawah, dan itu membuat pria yang melihat hal ini merasa gejolak sesuatu di tubuh. "Apa yang sedang kamu pikirkan, gadis kecil?" gumamnya dengan nada mengejek.Tiba-tiba, pintu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Devano terkejut. Dia cepat-cepat menutup laptop dan menoleh ke asal suara. Mata pria tersebut menemukan Alex, bawahannya, yang tampak kaget juga. "Sudah bosan dengan pekerjaanmu, ya?" geram Devano dengan suara tinggi.Alex menelan ludah saat mendapatkan tatapan begitu sinis dari Devano. Dengan rasa takut yang jelas terpancar dari mata pria tersebut, ia segera mendekati sang Bos dan kini berada di samping majikannya ini. "Kalau gak di paksa Ka Wiliam, mana mungkin aku mau diam terlalu lama di sisimu Tuan!" Tetapi lelaki itu hanya berani m
"Apa!" Alex terkejut mendengar informasi dari kepala pelayan di kediaman Devano. Dia segera menatap sang Bos yang juga menatapnya, mereka memang sedang berada dalam satu ruangan setelah selesai rapat. "Ada apa?" tanya lelaki itu. Lelaki itu langsung bertanya pada intinya, membuat Alex sangat kesulitan menelan ludah saat mendapatkan tatapan tersebut, ia merasa canggung dan sedikit terkejut. "Eum ... Itu Tuan, Ibu dan adiknya Kania datang ke rumah, Tuan," jelas Alex. Devano mengangguk-anggukkan kepala pelan, ekspresinya menunjukan ketegasan. Lalu pria tersebut terus menatap tajam pria yang menunggu dia dihadapan ini mengucapan kata selanjutnya."Mereka membuat keributan di depan rumah, membuat orang yang mendengar berhenti di sana buat menonton aksi mereka," lanjut pria itu cepat.Setelah menjelaskan semuanya, Alex tidak berani membalas tatapan Devano secara langsung. Ia memilih menundukan kepala, merasakan debaran di dada karena kecemasan menunggu reaksi sang Bos. Devano mengger
"Ibu ...." Hanya kata itu yang keluar dari bibir Kania, dia terpaku sangat syok dengan wanita yang ia anggap Ibu. "Tolong Kania ... jangan seret Ibu, Ibu gak mau keluarga Ibu dalam bahaya."Kania menggelengkan kepala, dia tak berniat membuat keluarga wanita tersebut dalam bahaya. Perempuan tersebut melangkah pelan mendekati wanita yang ia panggil Ibu. Baru saja hendak memegang bahu sang lawan bicara, suara manusia yang lebih tua darinya ini kembali bersuara. "Kamu gak tau, Kania ... betapa mengerikannya kalau Tuan Devano marah, sama kamu dia masih lunak sejak kemaren. Tapi kalau sama Ibu, entah gimana nasib kami nanti," tutur wanita itu.Kania terdiam saat mendengar perkataan wanita tersebut. Ia membenarkan apa yang dikatakan perempuan tersebut, karena dia hanya bertemu beberapa kali dengan pria itu. Dia juga pernah memergoki saat Devano menghukum bawahnya."Ya udah, gak papa, Bu. Biar nanti Kania cari cara lain aja. Maaf udah bikin Ibu takut," kata Kania pelan.Ucapan wanita itu s
Sebelum Devano menyelesaikan ucapannya, lelaki yang memiliki toko ini langsung menjatuhkan lutut ke lantai. Lalu bersuara sambil memegang kaki majikan Alex. "Tuan, tolong ... jangan buat toko kami bangkrut, kalau anda gak suka coba kasih ciri-cirinya aja. Nanti saya suruh designer bikinin," ujar lelaki itu. Lelaki yang memakai barang dan pakaian mahal ini menatap datar pemilik toko ini. Tatapannya begitu dingin, melihat hal tersebut Alex merasa cemas. "Kamu berdiri! Tuan Devano belum selesai ngomongnya, kenapa malah menyela," geram Alex.Pria tersebut segera bangkit mendengar perkataan Alex. Ia menundukkan kepala saat mendapatkan pandangan dingin dari Devano. "Saya suka, kalau bisa biarin dia bekerja dengan saya juga. Untuk menyiapkan pakaian sesuai permintaan saya," jelas Devano.Mendengar hal itu pemilik toko ini terdiam sebentar, karena designer itu adalah putri mereka. Ia segera mengangguk kepala sebagai jawaban. "Cepat keluarkan semua hasil karya dia! saya ingin lihat semua.
"Ganteng kan, Bu! Udah Dania bilang selera Dania mah gak bakal pernah ngecewain," celetuk perempuan tersebut. Mendengar hal itu, Erna menganggukan kepala mengiyakan perkataan anaknya. Tetapi, mulut wanita tersebut masih sibuk mengunyah makanan. "Ya udah kalau gitu sana ke kamarnya, godain dia," bisik sang Ibu. Dania segera melirik ke setiap penjuru, para pelayan di sini mulai sibuk setelah kedatangan Devano. Wanita itu lekas melangkah pergi ke arah tadi lelaki pemilik kediaman ini pergi. "Kamu mau ke mana!" seru seorang pelayan.Pelayan tersebut segera mendekati Dania, wanita yang berstatus adiknya Kania. Ia celingak-celinguk melirik sekitar, tidak menyangka kediaman ini sangat luas membuat dia sedikit kebingung hendak pergi ke mana karena banyak lorong. "Di mana Kamar Tuan Devano, saya disuruh ke kamarnya," balas Dania. Dia begitu gampang berkata demikian, bahkan tidak ada nada gemetar sedikitpun. Sang pelayan mengerutkan kening memandang perempuan tersebut. "Jangan berbohong!