Share

BAB 5

"Lelet banget sih! Mau cosplay jadi keong," sinis Devano.

Lelaki itu memandang dengan tatapan tajam ke arah temannya,  sedangkan pria yang menyandang dokter pribadi keluarga Devano ini hanya menghela napas.

"Dia yang harus diperiksa?" tanya dokter itu.

Devano hanya menggerakan kepala ke atas dan ke bawah membuat lelaki yang berstatus dokter itu segera mendekati Kania. Pria ini lekas memeriksa wanita terbaring di ranjang, lalu menganggukan kepala.

"Dia belum makan, maghnya kambuh. Nanti kukasih resep obatnya," lontar sang dokter.

Mendengar hal tersebut, lelaki yang berkuasa di sini memandang Kania lalu dokter ini. Ia memiringkan kepala lalu segera menyelimuti Kania kembali, membuat orang yang baru memeriksa wanita itu mengerutkan kening.

"Gak mual pas bersentuhan kulit sama dia?"

Lelaki itu langsung mendongak menatap temannya, wajah Devano sangat datar membuat orang sulit menebak apa yang dipikirkan pria tersebut.

"Ya! Dan cuma dia yang bisa disentuh."

Azka semakin mengerutkan kening membuat Devano yang melihat mendengkus. Dia segera mendaratkan bokong di sofa, diikuti lelaki yang berseragam dokter ini.

"Suka sama dia?" tanya Azka.

Lelaki pemilik kediaman ini langsung menatap sinis Azka, lalu pria yang di tatap iti hanya memamerkan senyuman.

"Mana mungkin! Cuma ... gak tau kenapa cuma sama dia gak ngerasain reaksi itu," balas Devano.

Azka menatap Devano dengan pandangan tak percaya, membuat yang di tatap merasa kesal. Lelaki itu langsung berdiri dan menarik baju sang teman dan menarik pakaian pria ini.

"Pergi sana! Dan ... jangan lupa belikan obat yang kau sebut itu!"

Pria yang berseragam dokter itu menatap tak  percaya, sedangkan Devano membalas dengan wajah datar.

"Devano ... aku temanmu lho, lagian aku itu seorang dokter! Bukan pengsuruhmu," lontar Azka.

"Ya udah iya, nanti dibeliin. Huh ... yang kaya lebih berkuasa," lanjut Azka.

Devano langsung menutup pintu mendapati lanjutan perkataan Azka. Membuat lelaki itu terkejut lalu menggerutu sambil melangkah pergi. Sedangkan pria yang di dalam kamar sendiri ini, kembali menatap Kania yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup rapat.

"Lupa kalau cewek ini punya penyakit itu."

Setelah berkata demikian, lelaki dengan perawakan kekar ini memilih mengunci pintu kembali. Lalu lekas memasuki bilik mandi untuk membersihkan diri, mengingat dia disentuh wanita yang ada di klub malam itu membikin kembali mual.

"Sialan!" maki lelaki itu.

Dia segera mengguyur tubuh dengan air dingin, lalu setelah membersihkan diri segera keluar dari ruangan tersebut bertepatan Kania membuka mata. Melihat hal ini, Devano memilih memakai pakaian di sana membikin perempuan yang berada di sana menjerit lemah dan lekas menutup mata.

"Udah bangun bukan, telepon pembantu di sini buat nyiapin makanan untukmu!" perintah Devano.

Kania masih terus memejamkan mata, membuat Devano yang melihat merasa kesal.

"Enggak Tuan, saya tidak lapar. Saya pengen pulang Tuan, tolong lepaskan saya," sahut Kania.

Lelaki ini baru selesai memakai celana, ia langsung berbalik saat mendengar permintaan Kania. Seringai muncul di bibir pria tersebut, lalu bersidekap memandang perempuan yang terbaring ini.

"Apa yang kamu bilang? Bisa ulangi lagi!"

Nada suara lelaki itu memang seperti biasa, tetapi terdengar sangat menusuk. Kania menelan ludah mendengar hal ini, lalu memberanikan diri mengutarakan keinginannya.

"Saya pengen pulang Tuan, tolong lepasin saya."

Devano dengan langkah lebar mendekati Kania dengan badan bertelanjang dada. Mendengar langkah kaki, wanita itu memberanikan diri mengintip lalu melotot kala mendapati sang majikan mendekat. Dia berusaha bangkit dengan tubuh lemas, dan turun dari ranjang.

"Beraninya kamu meminta pulang! Kalau saya biarin kamu pulang, ngapain tadi nyariin kamu," ketus lelaki itu.

Tangan lelaki ini memegang leher Kania lalu memojokan wanita tersebut ke dinding.

"Arghhh ... sakit Tuan."

Lelaki ini malah semakin mengencangkan cengkramannya lalu menaikan tubuh Kania. Membuat kaki perempuan tersebut tidak menapak lantai.

"Sa-ya, gak bisa. Na-fas, Tu-an," kata Kania.

Pemilik kediaman ini sama sekali tidak menggubris, ia masih asing memandang wajah kesakitan Kania. Lalu setelah merasa cukup segera di lepaskan, membuat wanita itu terbatuk-batuk.

"Masih berani meminta hal yang mustahin saya kabulkan?" tanya lelaki itu.

Kania tidak menjawab, dia hanya memegang leher yang masih terasa sakit. Mendapati tak ada jawaban, Devano langsung menarik dagu wanita ini agar menatapnya.

"Dengar gak!"

Kania menganggukan kepalanya, ia memilih menghentikan permintaannya dulu. Menuruti perkataan Devano, karena jika memberontak lagi. Mungkin nyawa yang selanjutnya melayang.

"Naik ke ranjang, nanti pembantu bakal bawa makanan. Makan itu! Saya gak ingin liat kamu kaya gini, lemah banget," seru Devano.

Lelaki itu langsung bangkit lalu melangkah pergi ke ruang ganti untuk mengambil pakaiannya. Setelah merasa diri rapi, pria tersebut lekas keluar tak lupa mengunci pintu. Agar Kania tidak bisa pergi, mendengar suara terkunci. Wanita ini hanya mengembuskan napas letih dan mulai menitihkan air mata lalu memeluk lutut.

"Kenapa aku harus begini, kenapa ...."

"Ibu juga kenapa menjualku, menjadikan aku buat menebus hutang."

Wanita ini segera diam saat melihat kedatangan Devano, dengan langkah lemas melangkah ke ranjang. Melihat hal tersebut, lelaki itu hanya menatap datar dan memilih mendaratkan bokong ke kursi lalu menaruh laptop di meja.

"Tuan, ini makanan dan minumannya," ujar seorang pembantu.

Melihat Devano yang meliriknya lalu mengangguk segera memberikan makanan pada Kania.

"Di mana Sella? Apa dia baik-baik aja?" tanya Kania.

Mendengar pertanyaan itu wanita yang berstatus pembantu ini bingung. Devano segera memerintahkan pelayan tersebut untuk pergi.

"Ngapain kamu mikirin orang lain, mendingan cepat habisin makanan itu. Habis itu minum obat, bentar lagi sampe," lontar Devano.

Kania tidak menjawab, wanita itu segera menyuapkan makanan yang tak pernah ia makan sepanjang hidupnya. Karena fokus mencari nafkah, bahkan kebanyakan perempuan ini hanya mengkonsumsi mie instan.

"Walau makanan ini enak, tapi keadaanku yang gak enak."

Wanita itu berkata dalam hati, sedangkan Devano yang tidak mendapatkan jawaban segera menoleh. Menatap Kania yang sangat lahap membuat ia menyeringai dan memilih fokus melakukan pekerjaan kembali.

"Dasar miskin!"

Mendengar ucapan Devano, wanita itu menoleh. Tetapi kembali melahap makanan lagi, tidak memprotes memang ucapan lelaki tersebut benar adanya.

"Setelah makan, telepon aja pembantu. Biar bekas piringnya di ambil," ujar Devano.

Kania kembali tidak bersuara, membuat Devano kesal. Lelaki itu segera bangkit, lalu mendekati wanita tersebut dan lekas mencengkram kuat pipi dekat rahang membuat sang empu meringis.

"Kalau aku bicara, jawab! Jangan diem aja, apa kamu mau kubuat tidak bisa bicara," sungut Devano.

Sedangkan di kediaman lain, Erna segera menghubungi rentenir yang membawa Kania. Setelah nada tersambung terdengar, dia saling pandangan pada Dania dengan senyuman merekah di bibir.

"Gimana, Bos! Udah unboxing Kania bukan, dia masih perawan kan. Kapan kirim maharnya ke sini," cerocos Erna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status