[Lima tahun kemudian]
“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.”Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka.“Gavin!”Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya.“Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.”“Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.”“Tap– Gavin!”Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya.Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu.“Kita jalan ke mana, Pak?” tanya si driver yang siap siaga di sekitar sana.“Ke mana sajalah. Yang jauh sekalian biar Mama nggak terus-terusan suruh perempuan itu mendatangiku. Aku punya tiga hari bebas, projek terakhir sudah selesai.”Untungnya, supir pribadi Gavin sudah cukup terlatih dengan kelakuan Tuan Mudanya saat sedang badmood seperti ini. Maka kemudian, mobil sudah meluncur dengan mulus, meninggalkan gedung lima lantai milik SR Corporation, menuju daerah perbatasan kota yang sepi.“Nggak masalah kalau kita keluar kota, Pak?”“Terserah.”Mobil kembali meluncur dengan mulus, sementara lelaki itu memejamkan mata, menikmati waktu istirahatnya.Hingga entah berapa jam kemudian. Saat ia terbangun, matahari sudah menggantung di ujung barat kaki langit.“Pantai?” Gavin bergumam seraya mengangkat alis dan memandang sekitar. Pemandangan pesisir pantai yang bersepuh cahaya jingga membuatnya agak kaget, meski tak urung juga terpesona.“Bapak bilang butuh tempat yang tenang, kan?” ujar supir pribadinya seraya mengulum senyum. “Saya sudah sewa satu resort untuk anda. Silakan istirahat dulu. Saya ada di dekat-dekat sini kalau anda perlu sesuatu.”Gavin hanya mengangkat bahu. Ia memasuki bangunan dua lantai yang estetik, berhadapan langsung dengan lepas pantai –untuk membersihkan diri dan beristirahat. Benar, tujuannya meninggalkan kantor adalah beristirahat, selain menghindari kejaran perempuan bernama Jessica tadi.Pada malam harinya, ia keluar untuk berjalan-jalan di sekitar resort. Tempat itu cukup ramai. Gavin harus menghindari tatapan nakal sarat penasaran dari beberapa pasang mata milik para perempuan yang kebetulan berada di sana.“Oh, jatuh!”Atensi pria itu sepenuhnya tersita saat suara gemerincing keras terdengar dari dekatnya. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis kecil sedang memunguti kerang-kerang yang berserakan di sekitarnya. Tak ada siapapun yang peduli, jadi Gavin mendekat.“Butuh bantuan?” sapanya pelan.Bocah kecil yang berusia sekitar empat atau lima tahun itu mendongak. Menampakkan sepasang manik hazel yang cemerlang. Matanya cantik sekali, bulat dan lentik. Membuat Gavin terpana sesaat.Gadis cilik itu menatap Gavin lekat-lekat, dan entah bagaimana, membuat pria itu seperti teringat kepada sesuatu yang sudah lama ia lupakan.Oh Tuhan, Ya Tuhan. Bukankah gadis kecil ini agak mirip dengan … dirinya?
Si bocah kemudian meneruskan memunguti kerang-kerangnya, membuat Gavin tersadar dari keterpanaannya.“Om bantu, ya?” ujar Gavin. Tanpa menunggu jawaban, ia turut memunguti kulit kerang itu sambil sesekali mengerling wajah manis si gadis cilik yang hanya mengangguk-angguk.“Nah, hati-hati membawanya, ya.”“Terimakasih, Om. Om mau satu?” Si gadis cilik mengulurkan sebuah kulit kerang putih, yang diterima Gavin dengan tawa ringan.“Itu yang paling besar. Sebenarnya sayang kalau dikasih orang. Tapi itu untuk ucapan terimakasih, jadi nggak apa-apa. Terimakasih, Om.”Pria yang kini berusia tiga puluh enam tahun itu kembali terpana. Ia belum sempat mengucapkan apapun sampai si bocah berlari-lari meninggalkannya.Perlahan, Gavin mengulum senyum kecil. “Dia cantik dan menggemaskan. Aku akan mencarinya lagi besok pagi. Siapa tahu masih ada di sekitar sini.”Esok harinya, pria rupawan itu menepati kata-katanya sendiri. Masih cukup pagi saat ia kembali berjalan-jalan di sekitar resort. Berharap berjumpa lagi dengan gadis cilik yang semalam. Gavin tidak terlalu suka anak-anak, namun entah mengapa kali ini ia merasa sangat tertarik dengan bocah kulit kerang yang semalam itu.Kebetulan semata kah jika ia menemukan anak-anak yang berparas mirip dengan dirinya?
“Bodoh sekali. Memangnya apa lagi namanya kalau bukan kebetulan, kan?”
“Halo, Om?”
Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Gavin sudah hampir kembali ke resort saat suara lucu itu kembali menyapa telinganya.“Hai ….”“Mau beli gelang?”“Gelang?”Benar, itu gadis cilik bermata indah yang sedang pria itu tunggu sedari tadi. Ia sedang mengulurkan nampan kecil berisi untaian kulit-kulit kerang yang dijalin menjadi gelang tangan.Gavin berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan gadis cilik tersebut.“Ini aku buat sendiri. Harganya murah,” cetus si bocah dengan bersemangat.“Ah, siapa yang menyuruhmu berjualan? Ibumu?”Gavin memandang si bocah penuh telisik. Bukankah ia masih terlalu kecil untuk berjualan? Orang tua macam apa yang mengharuskan anak mereka bekerja pada usia sedini ini?Namun, jawaban si gadis cilik selanjutnya membuat Gavin terkesima.“Mama melarang aku jualan, tapi aku suka. Aku pakai uangnya buat belikan hadiah ulang tahun untuk Mama nanti. Om, jangan bilang-bilang sama Mama kalau aku masih jual-jual gelang, ya? Nanti aku dimarahi. Hehe ….”Oh Tuhan. Siapa orangnya yang tidak jatuh hati dengan makhluk Tuhan yang seperti ini? Gavin merasa hatinya meleleh hanya dengan mendengar celoteh riang bocah kerang di hadapannya.“Baiklah, baiklah. Sinikan, Om beli semua gelangnya.”“Whoa!”“Iya, sini berikan. Sesudah ini, menurut apa kata mamamu. Jangan jualan lagi.”Gavin sungguh tidak bisa menahan senyum saat melihat bocah itu mengucapkan terimakasih sambil melonjak-lonjak kesenangan. Menerima beberapa lembar uang, sementara menuang seluruh gelang-kerangnya ke dalam kantong plastik dan menjejalkannya ke tangan yang lebih tua.“Om mau main ke rumahku? Mamaku pintar masak, ayo main ke rumahku!”“Ah? Di mana rumahnya?’Gavin tak sempat mengelak saat bocah manis itu menarik-narik tangannya. Ia terpaksa mengikuti berjalan menyusuri pesisir pantai yang sudah ramai meski hari masih pagi.Sementara itu, pada sebuah rumah pantai yang berdiri tak jauh dari pesisir, seorang perempuan sedang sibuk berada di dapur restoran kecil yang berada di bagian depan rumah tersebut.“Mama! Mama, di depan ada Om!”Ia nyaris terlonjak saat seruan nyaring tiba-tiba memenuhi dapurnya.“Jangan teriak-teriak, Aylin. Nggak sopan, Nak.”“Mama, ada Om. Aylin boleh bawakan minum, nggak?”“Om?” Perempuan itu menengok. Mendapati sang putri kecil yang tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi. “Maksudnya ada pelanggan, ya? Biar Mama saja, Nak.”Langkahnya mengayun cepat ke bagian depan restoran kecilnya. Rasa hati senang, sebab pagi-pagi sudah mendapatkan pelanggan.“Selamat pagi, selamat datang,” sapanya dengan manis pada seorang pria yang kemudian membalikkan tubuh dan memandang lurus ke arahnya.Inara Kanina, mendadak mematung. Pandangannya terkunci pada sosok di depan sana, yang juga sedang menatap lurus ke arahnya.Di hadapannya, ada Gavin Devano Sanjaya. Manusia yang paling tidak ia harapkan untuk bertemu lagi."A--anda?"
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be