Membuka pintu kamarnya di paviliun itu, Olivia terkejut melihat Farida yang sudah berdiri di hadapannya kini.
"I-ibu?" pekik Olivia. "Kenapa lama sekali? jangan tidur di saat yang lain sedang bekerja. Jangan jadikan kehamilanmu itu sebagai alasan agar bisa bermalas-malasan." Bentak Farida. "Apa yang harus aku kerjakan bu?" tanya Olivia, tubuhnya itu masih saja bergetar. "Berhenti memanggilku seperti itu, aku tidak pernah sudi menerima mu sebagai istri dari putra kesayangan ku." Ucap Tegas Farida. "Bersihkan dirimu, gunakan seragam pelayan seperti yang lainnya. Jangan pernah menganggap dirimu berbeda dengan para pekerja disini." Perintah Farida. "Bb-baiklah, Nyonya." Jawab Olivia dengan air mata terlihat mulai menggenang di pelupuk matanya. "Setelah itu, segera siapkan makan siang. akan ada kedatangan tamu spesial, jangan mengecewakan, atau kau akan mendapatkan hukuman." Ancam Farida seraya melangkahkan kakinya keluar dari paviliun itu. Menutup pintu kamarnya, Olivia menyandarkan tubuhnya pda pintu itu. Terasa seperti mimpi buruk, tak pernah terbayangkan kehidupannya kini bahkan akan berubah menjadi jauh lebih buruk sejak ia tinggal di panti asuhan. Air matanya kini sudah tak terbendung lagi, mengalir deras membasahi pipinya. mengingat perintah mertua nya itu,,Aah, apa aku masih layak menyebutnya sebagai mertua? bahkan ia sangat enggan menganggapku sebagai menantunya, istri dari putranya. Bathin Olivia terus menjerit, seakan ingin melarikan diri dari rumah yang bahkan membuatnya merasa tersiksa. "Maafkan ibu sayang, seharusnya ibu tidak menyeretmy masuk dalam penderitaan ibu. tapi kau tenang saja, sampai kapanpun, ibu akan selalu menjaga mu." Gumam lirih Olivia seraya tangannya terus mengusap lembut perut yang masih terlihat rata itu. Melangkahkan kakinya menuju almari kecil di dalam kamarnya, mengambil sebuah seragam pelayan yang sering ia lihat digunakan oleh para pelayan, ia pun tersenyum miris, menatap pakaian ditangannya kini. "Memang ini yang seharusnya terjadi bukan, jangan bermimpi menjadi seorang nyonya besar Olivia, sadarkan dirimu." Ujar Oliv pada dirinya sendiri. Memasuki kamar mandi kecil itu, dan tak lama dirinya telah selesai berpakain seragam. Menatap dirinya dalam cermin lemarinya, Olivia tersenyum saat melihat dirinya memakai baju pelayan. "ini lebih baik, kau memang pantas menjadi seorang pelayan Oliv." ujarnya mentertawakan dirinya sendiri. meski berpakaian sangat jauh dari kata mewah, namun pancaran kecantikan dari dalam dirinya tidak berkurang sedikit pun. Melihat jam dinding yang tergantung di kamarnya menunjukkan pukul 09.20, ia pun bergegas keluar dari kamarnya. Ryan yang kala itu baru memasuki paviliun terkejut saat melihat sosok olivia, "cantik." gumamnya berupa bisikan, sehingga tidak dapat terdengar Olivia, Olivia yang berpapasan dengan Ryan punsaat hendak menuju rumah besar Reynald pun menyapa Ryan dengan senyumannya. Melangkahkan kakinya menuju rumah besar Reynald yang kini nampak lebih pantas di sebut sebagai majikannya, Olivia pun bergegas memasuki area dapur. Mengeluarkan segala macam bahan makanan yang ia butuhkan untuk membuat makan siang. 'sebenarnya, akan ada acara apa? tamu spesial, siapa yang Nyonya Farida maksud?' Bathin Olivia. Meski masih mempertanyakan siapakah sosok spesial yang ibunya Reynald maksud, ia pun dengan gesit dan cekatan memotong beberapa sayuran. Tak terasa, 2 jam sudah ia berkutat di dapur. nampak beberapa hidangan lezat sudah siap di sajikan. Tepat saat dirinya akan menyajikan semua hasil masakan buatannya, sosok Farida muncul dari pintu dapur dan berkata, "Biarkan Nora yang menyajikan ini semua ke meja makan, dan kau." Ucapannya terhenti sambil jarinya menunjuk dada Olivia. "Jangan berani menampakkan batang hidung mu sedikitpun saat makan siang berlangsung. kau paham?" ucap Farida deng pelan namun terdengar tegas. "tapi..jika kau penasaran siapa tamu itu, dan apa yang kami bicarakan, aku izinkan kau untuk menguping dari sini." Ucap Farida melanjutkan sambil bibirnya menunjukkan senyum smirk, terkesan mengejek diri Olivia saat ini. Tak lama Farida meninggalkannya, belum sempat menghembuskan nafasnya yang sedari tadi terasa tertahan, kini muncul sosok Nora yang menunjukkan senyuman penuh ejekan pada wajah tuanya. "Oh kasihan sekali,,Nyonya muda kita sudah mulai tergantikan. dan lihat, apa ini? seragam pelayan ini terlihat sangat cocok menempel di tubuh mu." Ejeknya. Mengambil semua hidangan yang sudah Oliv siapkan, Nora membawa dan mulai menyajikan seluruh hidangan itu di ruang makan. Tubuh Oliv yang sedang berbadan dua itu sungguh merasa lelah, namun entah kenapa, jiwa penasarannya membuat ia enggan melangkah meninggalkan rumah itu. Sosok tamu spesial bagi keluarga Reynald itu, hingga, samar-samar telinganya mendengar beberapa orang di ruang makan yang ia tahu itu suara Farida dan Alex, orang tua Reynald. namun, pendengarannya semakin tajam saat mendengar suara Reynald, pria yang masih berstatus suaminya itu sedang bersenda gurau dengan suara seorang wanita. Terdengar canda tawa semua dalam ruang makan itu, hingga telinganya menangkap sebuah nama yang Farida sebut, Jennifer. Masih dapat Olivia ingat, wanita berparas cantik menurut Oliv, serta melihat penampilannya yang bak seorang model. 'A-apa maksud semua ini? Jennifer, tamu spesial itu? kenapa, apa ini masalah perusahaan?' bathin Olivia. Hingga, terdengar suara Alex, ayah Reynald mulai berbicara sedikit serius. "Kau tenang saja Jenni, tak lama lagi, kekasihmu ini akan menceraikan gadis bodoh itu. dan kau bisa menjadi nyonya muda disini, sebagai Istri satu-satunya Reynald pastinya." Ujar Alex. Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Olivia menegang saat mendengar ucapan ayah mertua nya itu.. "Cc-cerai? jadi, Reynald benar-benar akan membuangku?" gumam Oliv dengan lirih. Sekuat tenaga ia berusaha menenangkan perasaannya kini, tak mampu menahan sakitnya, air matanya pun mengali deras keluar membasahi pipinya. Masih samar terdengar obrolan orang-orang di ruangan di sebelahnya itu, terdengar nampak bahagia dirasakan semuanya, kecuali dirinya. menerima semua siksaan ini, meski tanpa menyebabkan luka berdarah, namun rasa sakit yang di deritanya lebih dari itu.Olivia memasuki apartemen miliknya sepulangnua dari supermarket, langsung memasuki area dapurnya, ia membereskan seluruh barang belanjaannya kedalam kitchen set dan lemari es. "Huuft,,akhirnya selesai juga." Ujarnya, kemudian membuat secangkir teh hangat karena dirasa dirinya perlu merilekskan tubuh dan pikirannya. Membawa cangkir tehnya, Olivia duduk di ruang tamu. Membuka ponselnya dan mencari beberapa info lowongan pekerjaan, Hingga akhirnya ia menemukan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, sesuai bekal pendidikannya dulu saat kuliah. Namun, hanya ada lowongan sebagai Office girl disana. ia pun tak banyak berpikir, ia akan memgambil jalan itu. tak mengapa ia menjadi Office girl, toh itu pekerjaan baik juga, tidak ada yang salah. Yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia harus mendapat uang sebanyak-banyaknya agar bisa bertemu kembali dengan sang putra, Keenan. menyeruput teh hangatnya hingga cangkir itu kosong, ia pun berniat membersihkan diri
Tak menyangka, kini Olivia sedang terduduk dalam kursi penumpang di sebuah pesawat. mata nanarnya menatap keluar jendela di sebelahnya. "Semoga langkah yang ku pilih ini sudah tepat, dan selalu dalam lindungan Mu ya Allah." Gumam Olivia dalam hatinya. Memilih Los Angeles sebagai kota tujuannya untuk memperbaiki kehidupannya agar lebih baik lagi. dikenal dengan julukan City of Angels, kota tersibuk di Amerika serikat karena dikenal sebagai kota yang tak pernah tidur. Ia sungguh berharap, bekerja di salah satu kota terbesar di Amerika serikat itu mampu membuat dirinya bisa kembali mengambil hak asuh sang putra. Tidak ada dendam dihatinya, karena yang ada dalam pikirannya saat ini adalah sang buah hati yang baru berumur 5 bulan itu. "Semoga jika kau sudah tumbuh besar nanti, kau masih menganggap bahwa ibu masih ada nak". kembali pada realita kehidupannya, begitu tiba di Bandar Udara Internasional Los Angeles, wanita itu sempat kebingungan harus pergi kemana terlebih dahulu.
Hari ini merupakan sidang perceraian pertamanya, masih ada beberapa kali lagi pertemuan. Namun, sulit bagi Olivia dapat memenangkan hak asuh anaknya. Karena, sudah dapat dipastikan keluarga besar mantan suaminya itu sudah mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Terbukti dari tidak adanya keadilan kala hak asuh anaknya sepenuhnya jatuh ke tangan sang mantan suami, padahal tidak ada bukti kesalahan apapun yang dilakukan dirinya sehingga ia harus berpisah dengan anaknya yang baru berusia 5bulan itu. Hingga, tak terasa hari penentuan dirinya resmi menjadi seorang janda terjadi hari ini. Seharusnya ia mendapatkan bantuan Tuan Daniel, pengacara Almarhum Tuan besar Adijaya. namun entah, sosok pria paruh baya itu tidak hadir hingga persidangan terakhirnya ini. "Reyn, kumohon, beri aku keringanan agar selalu dapat bertemu dengan putraku." Pinta Olivia kala mereka telah selesai menjalani sidang perceraian mereka. "Jangan Harap Oliv, kau bilang sangat enggan menerima harta waris
5 Bulan berlalu begitu cepat bagi seorang Olivia, tentu saja hal itu dirasa terlalu singkat untuk kebersamaannya bersama sang buah hati. Selama dalam pengasuhan Oliv, Keenan kecil sangat baik, tidak rewel sama sekali. Mungkin, karena instingnya bersama sang ibunda membuatnya merasa tenang, nyaman dan aman. Begitu pula dengan Olivia, kebersamaannya bersama Keenan membuatnya serasa sangat bahagia, tak ingin semuanya berlalu, tapi apa mau dikata, malang tak dapat ditolak. subuh ini, ia sudah bersiap membereskan semua pakaian dan perlengkapan miliknya. Ia harus menghadiri sidang perceraiannya siang ini di pengadilan agama. Apa yang diucapkan Reynald kala itu benar-benar terjadi, tepat 5 bulan sejak kejadian itu, suaminya benar-benar memberikannya surat perceraian. "kau harus menjadi anak yang kuat nak, ibu akan tetap menyayangi mu tak peduli dimanapun ibu berada." Bisik Olivia pada sang putra yang terlihat sedang tertidur lelap. "ibu harap kau tidak melupakan ibu nak jika suatu
Beberapa menit berlalu, tak terasa putra yang berada dalam dekapan hangatnya itu pun telah tertidur lelap. tersenyum hangat, tangan Olivia membelai lembut pipi halus putra tampannya itu. Tubuh oliv menegang kala mendengar suara teguran dari arah belakang, "Cepat masuk, taruh anak ku di kamarnya." Ucap dingin pria itu, "Reyn, apa, anak kita ini sudah di beri nama?" tanya Olivia pada Reynald, "Jangan, berani, sebut bayi ini anak kita di depan siapapun mulai saat ini. Paham!" Ancam Reynald, "tapi dia juga anak ku Reyn, sampai kapanpun itu, ini adalah darah dagingku, aku yang mengandungnya selama ini dan melahirkannya langsung Reyn!" Geram Olivia, dia merasa ini sudah sangat keterlaluan, putra dalam pelukannya inilah yang ia kandung selama 9 bulan kemarin. "setidaknya biarkan aku yang memberikannya nama pada putra ku Reyn, aku tidak akan meminta lebih." Bujuk Olivia, "Baiklah, ku beri kau waktu 5bulan untuk bisa bersamanya, namun, setelah waktu itu habis, jangan pernah mem
Hari-harinya Olivia kini terasa lebih hampa dari biasanya, perut besarnya kini sudah tidak ada, kegiatannya dalam bekerja memang terasa lebih ringan, tapi langkahnya selalu terasa lebih berat dari biasanya. Sedari subuh ia sudah beraktifitas di paviliun itu, membersihkan segala sesuatunya disana. Saat sedang serius membersihkan area dapur, tiba-tiba suara Lily yang menegurnya membuat kegiatannya terhenti. "Kau disuruh Nyonya untuk membuat sarapan di rumah besar saat ini juga." Ujarnya dengan ketus. "sekarang masih jam 6?" Tanya Olivia, "ya mana aku tau, nyonya besar sendiri yang tadi memintaku memberitahumu." Ucap Lily sambil melangkah keluar meninggalkan Olivia yang masih merasa bingung. Tapi, tanpa berpikir lama, ia pun beranjak dari paviliun itu menuju rumah utama. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah besar itu dari area dapur, sudah terdengar jelas ditelinganya suara tangisan kencang bayi, langkah kakinya sontak terhenti, ia yakin bahwa itu adalah suara anaknya