Share

Bab 4 Pengen sama Mas Bian

Berawal dari perasaan senang karena diperhatikan dan diperlakukan dengan lembut, lama kelamaan Alisya benar-benar merasa nyaman dengan pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Fabian yang dewasa dan pengertian membuat kehausan Alisya akan kasih sayang mulai terobati. Meski awalnya ia tak nyaman akibat perbedaan umur, tapi rupanya justru ia mulai menikmati cara dewasa Fabian saat memperlakukannya.

"Aku udah bikin kopi buat Mas, roti bakarnya sebentar lagi," ucap Alisya, tersenyum manis pada Fabian yang baru turun untuk membuat sarapan.

"Wah, makasih banyak, ya," balas Fabian, tersenyum lalu menyeruput kopi buatan Alisya sambil menarik kursi meja makan.

Diam-diam Alisya tersenyum. Pagi-pagi begini Fabian sudah sangat tampan dan gagah dengan balutan jas kerja hitamnya. Sepertinya hitam adalah warna yang paling cocok dengan Fabian, menambah kesan maskulinitasnya. Alisya meletakkan roti yang sudah selesai ia panggang ke hadapan Fabian. "Roti bakarnya. Aku emang gak bisa masak, tapi bikin roti bakar bisa."

"Roti bakar masuk ke kue gak, sih?" kekeh Fabian.

Alisya ikut tertawa. "Beda, Mas. Roti harus difermentasi kayak donat, kalo kue enggak."

"Oh beda, kirain sama," gumam Fabian, tertawa lepas.

Satu hal yang menarik dari Fabian adalah caranya tertawa. Matanya akan menyipit sampai segaris tipis dan terdapat dua lesung kecil di bawah bibirnya. Saat Fabian tersenyum, itu juga muncul. Kemarin Alisya tak terlalu memperhatikan, baru akhir-akhir ini ia menyadarinya.

"Besok kamu tes, kan?"

Alisya mengangguk. "Iya, Mas."

"Besok saya antar ke tempat tesnya. Hari ini kamu refreshing otak dulu biar gak terlalu stress."

"Siap, Mas," sahut Alisya, tersenyum lebar.

Besoknya, Fabian benar-benar mengantarnya ke tempat seleksi yang ditentukan. Alisya mendapatkan lokasi tes di dekat tempat bimbelnya sendiri. Ia memastikan membawa seluruh alat tulis yang sudah ditentukan untuk mengikuti tes. Fabian beberapa kali memberikan semangat padanya di dalam mobil.

"Nanti kalo lolos, kita bisa cari kosan dekat kampus kamu," gumam Fabian.

"Eh, cari kosan?" Tangan Alisya yang sedang merogoh tasnya tiba-tiba terhenti.

"Iyalah, kan kejauhan kalo dari sini. Jadi abis kuliah, kamu juga bisa langsung istirahat di kosan. Lebih enak. Nanti saya bantu cariin yang fasilitasnya bagus. Atau kalau perlu apartemen aja biar kamu agak leluasa," kata Fabian, masih fokus menyetir.

Alisya terdiam sesaat. Ia sebelumnya tak memikirkan ini. Universitas negeri tujuannya memang jauh dari apartemen Fabian. Entah kenapa dalam hatinya ia agak tak rela pindah dari apartemen Fabian. Sesampainya di tempat tes, masih ada waktu satu jam sebelum tes dimulai. Kebetulan Alisya mendapatkan sesi di siang hari. Jadi Fabian pergi ke minimarket terdekat untuk membelikannya onigiri dan sandwich sebagai pengganjal lapar sementara.

"Nanti abis tes, saya beliin makanan yang lebih kenyang," kata Fabian memberikan bungkusan makanan pada Alisya. "Kamu pengen apa?"

"Aku pengen beli sate."

"Oke, nanti saya beliin sate," jawab Fabian, santai.

Alisya memberikan salah satu sandwich kepada Fabian. "Mas juga makan."

"Iya sih, laper."

Keduanya makan di dalam mobil, sembari menunggu jadwal tes tiba. Tiba-tiba Alisya ingin menanyakan sesuatu yang selama ini agak mengganjal baginya. "Eh, Mas?"

"Iya?"

"Mas sama Kak Clara itu pacaran?" Entah keberanian dari mana Alisya mengucapkan hal ini.

"Clara?"

"Iya, sekretaris Mas yang kemarin nyariin tempat bimbel."

"Maksudnya Mbak Mursidah?"

"Hah? Mbak Mursidah? Kemarin katanya Clara Bella."

Tiba-tiba saja Fabian tertawa kencang.

"Loh, Mas. Kenapa?"

"Gak, memangnya dia bilang apa kok kamu tanya dia pacar saya atau bukan?" tanya Fabian, setelah menghentikan tawanya.

"Katanya, siapa tau nanti kita bisa sekeluarga. Trus dia bilang juga kalo Mas sering nyariin dia kalo butuh apa-apa," jawab Alisya.

Fabian kembali tertawa. "Kok bisa kamu percaya, sih? Dia itu sekretaris saya, wajar kalo saya sering nyariin dia."

"Aku pikir tipe Mas Bian itu memang yang lebih tua," cicit Alisya.

"Jadi selama ini kamu mikirnya aku pacar dia, gitu?"

"Iya," jawab Alisya dengan raut polos.

Fabian tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Saya itu suka yang dewasa, tapi gak harus yang lebih tua juga."

"Memangnya sekretaris Mas sering gitu, ya? Ngaku-ngaku?"

"Emang orangnya gitu. Tapi dia profesional kok. Dan kadang juga itu sering jadi bantuan buat saya. Orangnya memang lucu, jadi saya biarin aja. Saya cuma gak nyangka aja dia sampe bilang gitu ke kamu," kekeh Fabian, lalu mengecek jam tangannya. "Eh, nanti kamu telat."

"Oh iya bener." Alisya menepuk jidatnya. "Aku tes dulu ya, Mas."

"Oke, nanti kalo udah langsung kabari aja biar saya jemput."

"Siap!"

Untuk ukuran seseorang yang sudah mempersiapkan segalanya, Alisya sebenarnya bisa mengerjakan mayoritas soal-soal yang ada. Tapi semangatnya menjadi agak turun karena berpikir jika ia benar-benar lulus, maka ia akan keluar dari apartemen Fabian. Alisya bukannya takut hidup sendiri. Malah, dulu ia mengidam-idamkan hal ini. Tapi saat ini, entah kenapa ia merasa akan kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.

Selesai ujian, Fabian benar-benar menjemputnya dan langsung membawanya pergi ke restoran sate yang enak. Satu hal lagi yang Alisya sukai dari Fabian, yaitu ia selalu menepati janji. Alisya tak pernah tahu bahwa ia akan bisa sedekat ini dengan Fabian. Ia pikir kehidupannya akan semakin sengsara setelah menikah dengan pria yang jauh lebih tua, tapi tak dinyana ia malah merasa sangat nyaman dengan kehadiran pria itu di hidupnya. Apalagi mertuanya juga sangat sayang padanya.

"Mas, sini aku aja yang cuciin bajunya," kata Alisya saat Fabian sedang membawa pakaian kotor untuk diantar ke laundry.

"Yakin kamu?"

"Aku bisa loh misahin baju sesuai warna dan bahannya."

Fabian tertawa. "Yaudah, beres tapi ya?"

"Aman."

"Nanti kalo ragu pisahin aja, biar saya bawa ke laundry," kata Fabian, masih tak yakin.

"Aman pokoknya. Mas tenang aja," ucap Alisya, mengambil alih tumpukan pakaian kotor dari tangan Fabian.

Ada kesenangan tersendiri bagi Alisya jika bisa melayani Fabian. Membuat sarapan, membersihkan kamar dan ruang kerjanya, lalu mencuci pakaiannya. Alisya sadar bahwa itu adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang istri. Tapi ia memang seorang istri, walaupun Fabian mengatakan bahwa mereka tak harus bersikap layaknya suami istri. Sejauh ini, Alisya tahu bahwa Fabian hanya menganggapnya seperti seorang adik.

Jadwal tes akan diumumkan hari ini di situs online. Dengan gelisah Alisya memasukkan nomor peserta dan beberapa hal yang perlu ia isi. Butuh waktu cukup lama untuk melihat hasil, mungkin karena saat ini banyak orang juga membuka situs yang sama. Dada Alisya berdebar-debar tak karuan, hingga layar laptopnya menampilkan hasil tes miliknya.

"Alisya? Hari ini katanya hasilnya keluar, kamu udah cek?" tanya Fabian, tahu-tahu saja masuk ke kamar Alisya yang memang terbuka lebar.

Alisya habis mematikan laptopnya dan langsung menutupnya. Ia menoleh pada Fabian.

"Kamu udah liat? Gimana?"

Alisya menggigit bibir dalamnya sejenak, agak ragu. Lalu ia menggeleng. Fabian langsung menghampirinya dan ikut duduk di pinggiran ranjangnya.

"Kamu udah bener ngeceknya? Coba liat lagi, siapa tau salah..."

"Udah bener kok, Mas," sela Alisya.

"Atau kita coba lewat jalur ujian mandiri aja?"

Alisya menimbang-nimbang sebelum berkata, "Aku masuk swasta aja gimana, Mas?"

"Swasta? Kamu yakin? Kamu udah belajar keras loh. Saya gak mau kerja keras kamu sia-sia. Kamu masih bisa ikut ujian mandiri. Gak masalah," ujar Fabian, menenangkan Alisya.

"Gak apa, Mas. Swasta juga bagus kok. Temenku banyak yang kuliah di sana," bujuk Alisya.

"Ya udah kalo memang kamu pengennya swasta. Kita cari kampus swasta yang bagus buat kamu," putus Fabian. "Yakin gak nyesel?"

Alisya tersenyum dan menggeleng. Tanpa diduga, Fabian menariknya ke dalam pelukan dan mengusap punggungnya.

"Jangan sedih ya. Mumpung besok hari libur, mau jalan-jalan?"

"Boleh, Mas," jawab Alisya, berusaha keras meredam antusiasmenya.

"Oke, saya mau ke kantor lagi. Tadi ngambil barang yang ketinggalan sama kebetulan saya inget hari ini pengumuman tes kamu," kata Fabian, melepaskan pelukannya dan berpamitan pada Alisya.

Alisya hanya mengangguk kecil sambil terus menatap kepergian Fabian hingga ia keluar kamar. Lalu ia menghela nafas lega. Alisya berbohong. Aslinya ia dinyatakan lolos, tapi demi bisa tetap di sini Alisya sengaja mengatakan sebaliknya. Kali ini, Alisya sudah menentukan pilihannya. Yaitu, ia ingin Fabian melihatnya benar-benar sebagai seorang wanita, bukan adik. Alisya ingin mendapatkan cinta dari pria yang sebentar lagi berusia 30 tahun itu. Alisya ingin menjadi istri yang sebenarnya untuk Fabian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status