Share

Bab 5 Ketemu mantan

Beruntung, ada sebuah kampus swasta yang terkenal elit di dekat kantor Fabian. Alisya sengaja memilih kampus yang bisa searah dengan tempat kerja Fabian agar bisa pergi bersama. Sebenarnya pelajaran mengemudi Alisya sudah cukup bagus, tapi Alisya berkata pada Fabian ia masih kurang percaya diri. Tentu saja tujuannya adalah agar ia bisa tetap memiliki kegiatan bersama dengan suaminya itu.

Tapi ngomong-ngomong, Alisya ingat Fabian pernah berkata bahwa ia menyukai wanita dewasa. Alisya nekat membeli beberapa peralatan make up dengan kartu kredit yang diberikan Fabian padanya. Untungnya ia cukup familiar dengan alat make up. Alisya mulai belajar berdandan saat menjadi trainee di Korea. Para trainee di sana sering pergi ke gedung latihan dengan make up dan rambut yang ditata rapi.

Dan Alisya juga pergi ke salon untuk memotong sedikit rambutnya agar terlihat lebih segar dan bervolume. Ia cukup puas dengan rambut hitamnya yang tebal dan sehat. Untung saat di Korea ia tak tergoda bujukan teman sesama trainee-nya untuk mewarnai rambut. Tak hanya itu, ia juga membeli pakaian baru.

"Kamu abis belanja?" tanya Fabian yang baru pulang kerja. "Buat keperluan kuliah?"

Alisya menoleh pada Fabian sambil tersenyum. Ia berusaha keras memperhatikan reaksi Fabian terhadap penampilan barunya. "Aneh gak, Mas?"

"Gak kok, cantik," jawab Fabian, tapi ia terlihat tak terlalu memperhatikan Alisya.

Dalam hati Alisya agak kecewa. Padahal ia berharap Fabian akan terpesona. "Aku juga beliin dasi yang bagus buat Mas Bian."

Sebelah alis Fabian terangkat. "Kamu beliin saya dasi?"

"Gak sengaja liat. Katanya produk baru dan aku pikir cocok buat Mas kerja," kata Alisya, mengambil kotak berisi dasi yang sudah ia siapkan. Ia membukanya dan menunjukkannya pada Fabian. "Semoga Mas suka."

Fabian tersenyum, mengambil dasi itu dari tangan Alisya. "Selera kamu bagus. Saya memang suka dasi yang gak terlalu banyak motif. Warnanya juga saya suka."

"Kalau gitu besok dipake ya," kata Alisya, dengan sengaja mendekatkan wajahnya pada Fabian sambil tersenyum manis.

"Iya, besok saya pake. Makasih ya. Saya bersih-bersih dulu," balas Fabian.

Alisya mengembungkan pipinya kecewa karena Fabian nampak biasa-biasa saja. Maksudnya Fabian tak terlalu memberikan reaksi saat melihatnya tadi. Padahal ia terus berlatih di depan cermin cara tersenyum untuk membuat lawan bicara berdebar-debar. Padahal ia juga rela berdandan agar tampak lebih cantik malam ini.

Tak menyerah, keesokan harinya Alisya juga sudah tampil secantik mungkin di pagi hari saat membuat sarapan. Saat Fabian turun, ia sudah selesai membuatkan kopi dan roti bakar kesukaan Fabian di meja makan. "Pagi, Mas," sapanya dengan penuh senyum.

"Kamu kok udah rapi? Mau ke mana?" tanya Fabian.

"Hari ini mau beli alat tulis buat kuliah, Mas. Sama mau nyari laptop baru. Aku perginya sama temenku." Alisya sudah mempersiapkan jawaban ini setelah semalam ia berhasil membujuk salah satu teman dekatnya untuk pergi keluar hari ini.

"Oh ya, kamu bentar lagi kuliah. Mau lihat-lihat mobil, gak?"

"Kan aku belum punya SIM," kata Alisya. Kalau membawa mobil sendiri, ia tak bisa pergi bersama Fabian.

"Ya udah, kita urus SIM dulu aja."

"Mas, aku belum pede bawa mobil sendiri. Aku latihan lagi aja ya, sampe bener-bener bisa," bujuk Alisya.

"Tapi saya kayaknya gak bisa bantu kamu latihan dalam waktu dekat. Saya punya kerjaan penting. Kamu mau kursus menyetir aja?"

Sebenarnya Alisya agak kecewa, tapi ia tetap memberikan senyum manis. "Itu juga boleh, Mas."

"Oke, nanti sekretaris saya yang akan urus."

"Makan dulu, Mas."

Fabian tersenyum dan duduk di meja makan. Alisya senang-senang saja saat Fabian bisa menikmati makanan buatannya. Ia sendiri memutuskan untuk membuat salad buah. Alisya ingin menjaga bentuk tubuhnya dengan makanan sehat dan berolahraga. Ia bahkan memiliki rencana untuk mendaftar di kelas gym atau pilates. Ia akan memilih mana yang lebih baik nanti.

"Kapan kamu masuk kuliah?" tanya Fabian, memperhatikan Alisya yang sedang memeras lemon di atas irisan buah.

"Semingguan lagi udah upacara penerimaan mahasiswa baru," jawab Alisya, melirik sekilas pada Fabian.

"Saya kayaknya lusa harus pergi ke China sampe minggu depan. Kamu bisa sendiri, kan?"

Menyembunyikan kekecewaannya, Alisya tetap berusaha tersenyum. "Bisa kok, Mas."

"Naik taksi aja. Sebenarnya kalo kamu udah mau bawa mobil, saya bisa beliin besok," gumam Fabian. "Mama juga mau beliin kamu. Katanya buat hadiah masuk universitas. Atau kamu bisa telpon Mama buat pinjem sopir."

"Iya, Mas. Gampang. Nanti kalo kepepet paling telpon Mama aja."

"Oh ya, keluarga kamu udah tau kan, kamu masuk kuliah?"

Alisya terdiam sejenak. Ia bahkan sampai lupa ia punya keluarga. Tapi Alisya kembali tersenyum palsu. "Udah kok, Mas."

Fabian manggut-manggut dan kembali menikmati sarapannya.

Sementara Alisya malah agak sedih jika mengingat keluarganya lagi. Bahkan ayahnya juga tak menanyakan kabarnya apa ia baik-baik saja setelah menikah atau apapun itu sebagai bentuk perhatian. Ia juga teringat ucapan Tasya waktu itu, mengenai anak kandung. Jangan salahkan Alisya jika ia mulai overthinking dengan statusnya dalam keluarga. Ia jadi merasa bahwa ucapan Tasya bisa jadi benar.

Tapi untungnya Alisya cukup bebas sekarang. Dan ia punya uang untuk belanja. Tak seperti dulu, di mana uang sakunya cukup terbatas hingga ia harus menabung agar bisa membeli sesuatu. Berbeda dengan Tasya yang entah bagaimana selalu memiliki uang dan bisa hidup berfoya-foya. Bisa dibilang, sekarang Alisya membalas ketidakmampuannya membeli sesuatu dengan membeli apapun yang ia mau.

"Wanita dewasa itu kayak gimana, sih?" tanya Alisya pada sahabat terdekatnya yang sudah mengetahui tentang kondisinya saat itu.

"Lo serius mau ngedeketin om-om itu?" tanya Feby, gadis berkacamata yang sudah menjadi sohibnya sejak kelas satu SMA.

"Dia bukan om-om. Gue manggilnya 'Mas'," bantah Alisya, tak terima dengan panggilan Feby terhadap Fabian.

"Kan lo sendiri yang ngomong kalo awal-awal lo panggil dia om," kekeh Feby.

"Penampilannya gak setua itu. Gue cuma kepikiran kayak gitu gara-gara dikasih tau umurnya beda sepuluh tahun sama gue," bela Alisya. "Pokoknya dia gak keliatan tua aslinya."

Feby tertawa lagi sambil geleng-geleng kepala. "Iya deh yang lagi jatuh cinta."

"Gue serius tau," sungut Alisya, sebal. "Ayo dong, kasih tips gimana cara jadi wanita dewasa."

"Hm, kenapa gak lo tanya lagi sih dewasanya itu yang kayak gimana menurut dia? Sikapnya, gayanya atau apanya yang dewasa?" sungut Feby. Ia sendiri seumuran dengan Alisya, mana paham dewasa yang dimaksud itu seperti apa.

"Gue tuh udah bikinin sarapan, beresin kamar dia, trus cuciin bajunya. Pokoknya gue udah nunjukin kalo gue bisa bertanggung jawab. Kemarin gue udah cari di g****e cara menjadi wanita dewasa. Salah satunya bertanggung jawab," jelas Alisya dengan bangga.

Feby mengerjap heran. "Lo cari di g****e?"

"Iya, kan banyak di situ. Hari ini gue mau beli baju yang gayanya kayak wanita dewasa di gambar-gambar g****e," ujar Alisya.

Feby hanya geleng-geleng kepala melihat kelakukan sahabatnya yang memutuskan segalanya melalui g****e. Tapi akhirnya ia menikmati rencana belanja mereka hari ini. Lagipula dulu Alisya termasuk anak yang sering berhemat. Berkat pernikahannya dengan pria mas-mas itu, akhirnya Alisya bisa menikmati sesi belanja dengan benar. Saat hendak pergi ke salah satu kafe, tak sengaja Alisya bertabrakan dengan seseorang. Ia mendongak, agak terkejut karena mendapati seseorang yang familiar.

"Arka..."

"Ternyata beneran kamu," desis Arka, mantan pacar Alisya, dengan raut tak terbaca.

Mereka bertatapan untuk beberapa saat, tapi kemudian Arka membuang muka dan pergi begitu saja meninggalkan Alisya.

"Eh, gue lupa kasih tau," sela Feby, yang turut menyaksikan pertemuan dua mantan kekasih itu. "Pas lo berangkat ke Korea, Arka mati-matian nyari kabar dan keberadaan lo."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status