Share

Bab 3 Kok nyaman?

last update Last Updated: 2023-11-08 15:27:50

Karena masih takut dengan Fabian, Alisya memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi dekat dapur sampai terdengar langkah kaki Fabian keluar apartemen. Ia menghela nafas lega. Saat kembali ke kamar, pecahan bingkainya sudah tak ada lagi. Bahkan fotonya juga sudah tak ada. Sepertinya Fabian memindahkannya dari laci. Tadi memang agak lama menunggu Fabian selesai.

Sepanjang hari ini, Alisya terus memikirkan cara yang benar untuk meminta maaf pada Fabian. Padahal Fabian tadi pagi bersikap cukup baik padanya, bahkan memberikan kartu kredit. Mereka tinggal serumah, jadi rasanya pasti tidak enak jika Fabian masih marah padanya. Malamnya, Alisya sengaja menunggu di sofa ruang depan sambil menonton televisi. Cukup lama menunggu, hingga akhirnya terdengar pintu apartemen dibuka dari luar. Alisya buru-buru menyambutnya.

"Mas?" sapanya sambil meringis, saat melihat Fabian melangkah masuk ke dalam.

Fabian menghela nafas.

"Tadi saya gak sengaja, maafin saya. Saya cuma cari obat merah karena jari saya luka, jadi saya buka laci," ucap Alisya, kelewat gugup. Ia terus mengoceh, "Saya ambil fotonya, tapi kaget karena Mas datang, trus pecah. Jadi saya..."

"Alisya...," sela Fabian, menghentikan ocehan Alisya yang sudah tak karuan.

"I-iya?" cicit Alisya, menatap Fabian takut-takut.

"Saya pengen ngajak kamu ngomong. Kamu tunggu di ruang tamu sebentar."

"Baik, Mas," angguk Alisya, untuk sejenak merasa lega karena nada suara Fabian yang terdengar tak terlalu marah. Sesuai arahan, ia menunggu di sofa yang tadi ia duduki. Sepertinya Fabian sedang berganti pakaian. Dan benar saja, pria itu kembali dengan pakaian yang lebih santai. Ia langsung duduk di hadapan Alisya sambil menghela nafas.

"Kita perlu bicara," ucap Fabian, memperhatikan ekspresi Alisya yang sepertinya siap untuk mendengarkan ucapannya. "Kamu ataupun saya jelas-jelas tidak menginginkan pernikahan ini, benar kan?"

Alisya mengerjap, lalu buru-buru mengangguk. Ia menunggu Fabian melanjutkan.

"Mama yang memaksa saya untuk menikahi kamu," imbuh Fabian. "Kita sama-sama terpaksa menjalani pernikahan ini. Oleh karena itu, saya pikir kita gak perlu bertindak layaknya suami istri. Sebaiknya kita tetap menjalani kehidupan seperti biasa. Kamu bisa fokus belajar untuk kuliah, begitu juga dengan saya. Tapi saya pastikan kebutuhan kamu tercukupi, karena gimanapun kamu tetap tanggung jawab saya. Kamu paham, Alisya?"

"Maksudnya kita gak perlu jadi suami istri beneran?"

Fabian mengangguk. "Kamu gak harus masak, bersih-bersih atau apapun itu. Kamu fokus aja belajar biar bisa kuliah nanti. Masalah biaya, saya yang akan tanggung seluruh kehidupan kamu. Gak perlu kamu pikirin. Kalau butuh apa-apa, kamu boleh ngomong ke saya. Kita cukup saling menghargai privasi masing-masing."

"Saya ngerti, Mas," ucap Alisya, sedikit senang karena Fabian sangat baik dan tidak menuntut apapun darinya.

"Oh ya, kamar itu kamu boleh tempati, biar saya tidur di kamar satunya aja. Pas libur nanti, baru saya pindahin barang-barang saya dari sana."

"Eh, biar saya aja yang pindah, Mas," sela Alisya, merasa tak enak.

"Gak, gak. Kebetulan kamar yang satunya lebih dekat dengan ruang kerja saya. Lagian saya juga cukup sering lembur," ucap Fabian, menenangkan Alisya.

"Beneran gak apa?"

"Iya, kamu pake aja kamar itu," angguk Fabian.

Alisya tersenyum. "Makasih banyak ya, Mas."

"Ah, saya juga mau minta maaf karena bentak kamu tadi siang," gumam Fabian, pelan tapi untungnya masih terdengar oleh telinga Alisya.

"Gak apa, Mas. Justru saya yang minta maaf," balas Alisya, bertemu pandang dengan Fabian.

Fabian tersenyum. "Berarti kita impas. Saya mau istirahat dulu, kamu juga silahkan kalo mau tidur."

"Iya, Mas. Selamat malam."

"Malam," angguk Fabian, beranjak meninggalkan Alisya yang tersenyum lega.

Ternyata pernikahan dengan Fabian tak semenakutkan yang Alisya kira. Malah ia merasa lebih leluasa ketimbang di rumahnya dulu, di mana ia sering merasa tertekan dengan keberadaan ibu dan saudari tirinya, juga sang ayah yang memang lebih perhatian pada Tasya dibanding dirinya. Ibu mertuanya benar, Fabian adalah orang yang baik.

Keduanya melewati hari dengan kegiatan masing-masing. Fabian tetap dengan rutinitas kerjanya dan Alisya yang sudah mulai kursus, sibuk belajar agar bisa mengikuti ujian seleksi universitas negeri yang akan diadakan sebentar lagi. Sejauh ini, Fabian juga bersikap amat baik walau sibuk. Ia sering membawakan makanan untuk Alisya atau bertanya mengenai pembelajarannya saat mereka sempat sarapan bersama di meja makan.

"Kamu bisa bawa mobil?" tanya Fabian saat Alisya mengeluh sempat terlambat karena harus menunggu taksi lewat.

"Gak bisa," jawab Alisya setelah mengunyah habis roti bakarnya.

Fabian berpikir sejenak. "Mau belajar?"

"Boleh, Mas."

"Yaudah, nanti hari Minggu kita belajar nyetir," putus Fabian.

"Loh, sama Mas Bian?"

"Memangnya kamu mau sama siapa?" Fabian malah balik bertanya.

"Aku pikir Mas sibuk," gumam Alisya. Entah sejak kapan ia merubah panggilan dirinya terhadap Fabian dari saya menjadi aku. Mungkin karena merasa sudah dekat, jadi ia tak perlu merasa terlalu formal lagi.

"Gak, saya lumayan longgar. Kemarin sibuk banget karena ada projek untuk instansi pemerintah. Sekarang udah beres, jadi saya gak terlalu sibuk lagi," ucap Fabian.

"Oh yaudah kalo gitu," cengir Alisya, tersenyum riang. Akhir-akhir ini, ia baru mengetahui bahwa bisnis Fabian adalah perusahaan yang bergerak di bidang aplikasi keamanan dokumen khusus perusahaan-perusahaan besar. Itu sebuah perusahaan yang sudah dirintisnya sejak lulus kuliah. Sang mertua yang menceritakan kepada Alisya saat berkunjung kemarin.

Lebih nyaman menjalani semuanya bukan seperti suami istri. Fabian selalu bersikap bak seorang kakak pada Alisya. Itu membuat suasana cair dengan lebih mudah. Minggu pagi, Fabian yang biasanya memilih joging pagi-pagi, sudah sibuk menyuruh Alisya bersiap-siap. Mereka akan latihan di kompleks perumahan yang dekat dengan kediaman keluarga Fabian. Karena di situ cukup sepi dan mereka bisa leluasa belajar menyetir.

"Bentar, Mas. Aku mau siapin brownies kukus buat Mama dulu," kata Alisya, sibuk mencari wadah untuk kue yang ia buat kemarin.

"Saya masih heran, kamu pinter bikin kue tapi gak bisa masak," gumam Fabian, mencomot irisan brownies yang sudah dipotong Alisya.

Alisya tertawa. "Soalnya Mama kandungku suka banget bikin kue dan sering nyatet resepnya. Jadi kalo kangen Mama, aku sering nyobain resep beliau."

"Udah siap?"

Alisya mengangguk, memastikan wadahnya sudah tertutup sempurna. Lalu Fabian mengambil wadah berisi brownies itu untuk dibawa keluar. Alisya tersenyum kecil melihat Fabian yang selalu sigap membantunya tanpa diminta.

Fabian memutuskan untuk mengajari Alisya lebih dulu sebelum pergi ke rumah ibunya. Katanya mumpung masih sepi, karena kalau terlalu siang mungkin akan cukup banyak mobil berlalu lalang. Fabian mengajari Alisya belajar menyetir mobil manual, karena akan lebih mudah beradaptasi ke mobil matik ketimbang sebaliknya. Fabian bilang Alisya akan bisa menguasai keduanya jika lebih dulu belajar mobil manual.

"Gak akan nabrak kan, Mas?" tanya Alisya dengan ekspresi lucu.

"Kalo kamu nginjak gasnya pelan-pelan, kita gak akan langsung nabrak kok," jawab Fabian, setengah bercanda.

Bagi pemula seperti Alisya, belajar menyetir untuk pertama kalinya sangat membuatnya gugup. Tapi Fabian mengajarinya dengan sabar dan telaten. Meski masih mencong kesana kemari, tapi Fabian cukup tenang mengajari Alisya. Alisya yang kelewat gugup mulai bisa membiasakan kaki dan tangannya saat memegang kemudi. Meski tentu saja ia tak akan bisa langsung mengemudi dalam sekali percobaan.

"Laper banget," keluh Alisya, setelah dua putaran.

"Tadi ada tukang bubur, mau sarapan itu?"

"Pengen, tapi Mama kayaknya udah nelpon beberapa kali deh," gumam Alisya, mengecek ponselnya. "Kita langsung ke rumah mama aja."

"Oke."

Ini kedua kalinya Alisya pergi ke rumah mertuanya. Sebelumnya adalah saat Mama Jihan mengajaknya berbelanja ke mall dua minggu yang lalu. Wanita paruh baya yang elegan itu nampak menunggu di depan pintu rumah sambil berjalan bolak-balik dengan gelisah. Begitu membuka pintu, Alisya langsung memeluk ibu mertua yang sejak awal memang selalu bersikap hangat padanya itu. Alisya agak merasa bersalah karena pernah berburuk sangka pada Mama Jihan dulu.

"Dari mana aja? Katanya tadi keluar jam setengah delapan," omel sang mertua.

"Ngajarin Alisya nyetir, Ma," sahut Fabian.

"Alisya belajar nyetir?" tanya Mama Jihan, menoleh pada Alisya.

Alisya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Oh ya, ada brownies buat Mama."

"Ah, repot-repot segala. Ayo masuk dulu," kata Mama Jihan, merangkul Alisya dan mengajaknya masuk ke dalam.

Mama Jihan membawa Alisya ke ruang tamu, sementara Fabian pergi ke dapur untuk memberikan brownies buatan Alisya ke pelayan. Mama Jihan tersenyum senang melihat raut cerah dari Alisya. "Gimana belajar nyetirnya?"

"Hehe, baru juga mulai, Ma."

"Ya gak apa, nanti lama-lama bisa kok. Kalo belum bisa, Mama bisa suruh sopir untuk antar jemput kamu. Oh ya, Fabian ke kamu baik, kan?"

"Mas Bian baik kok, gak pernah marah-marah," jawab Alisya.

"Oh baguslah kalo gitu. Nanti bilangin ke Mama kalo dia macam-macam. Biar Mama marahin," tawa Mama Jihan. "Bimbelnya lancar?"

"Iya, bentar lagi mau tahun ajaran baru, jadi Alisya juga fokus ke situ."

"Kamu beneran mau nyoba kampus negeri? Swasta juga gak apa, kok. Lebih deket juga dari sini," kata Mama Jihan.

Sebenarnya Alisya juga berpikir untuk masuk swasta saja, tapi ia terlanjur bimbel untuk mengikuti ujian. "Dicoba dulu, Ma. Nanti kita liat bagusnya gimana, hehe."

"Yaudah kalo maunya gitu. Pokoknya masalah biaya kamu gak usah pusing," kekeh sang mertua, mengusap bahu Alisya dengan sayang.

Mereka berbincang sejenak mengenai hal-hal kecil. Tak lama, Fabian ikut duduk sambil meletakkan sebuah bungkusan hitam ke meja. Alisya dan Mama Jihan menatapnya bingung.

"Apa itu, Bian?"

"Bubur, Ma. Tadi katanya Alisya pengen bubur," jawab Fabian, santai.

"Oalah, belum sarapan, ya? Kenapa gak bilang? Malah Mama ajak ngobrol," omel sang mertua, lebih kepada dirinya sendiri.

Alisya tertawa renyah. Dalam hati ia merasakan sebuah desiran aneh saat mengetahui bahwa Fabian rupanya membelikan bubur untuknya. Matanya diam-diam melirik pada sang suami yang sibuk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Akhir-akhir ini Alisya baru menyadari bahwa suaminya ini ternyata memiliki wajah rupawan. Selama ini tipenya adalah cowok-cowok Korea, jadi ia belum menyadari ketampanan yang dimiliki Fabian.

Tiba-tiba Alisya tersentak, merasa aneh terhadap dirinya sendiri. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 39 Sugar baby

    "Apa?! I-istri?!" pekik Kak Clara dengan ekspresi syok, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.Yang masuk tadi adalah Clara, sang sekretaris lucu yang naksir Fabian. Tentu saja wanita itu syok melihat bosnya sedang berciuman mesra dengan Alisya. Alisya jadi benar-benar merasa tak enak hati melihat ekspresi melodramatis di wajah Clara. Clara juga menatapnya seolah ia adalah pengkhianat."Dek Alisya, kamu tega!" ucapnya dengan nada dramatis, lalu berbalik dan melangkah pergi keluar ruangan Fabian."Kak Clara!" pekik Alisya, berusaha mencegah kepergian Clara. Langkah Clara terhenti, berbalik. "Padahal Kakak udah percaya banget sama kamu. Tapi kamu gak ngasih tau apa-apa.""Aku bisa jelasin...""Cukup! Sudah terlambat, Dek Alisya.""Kak Clara, maaf ya," cicit Alisya, merasa bersalah. Ia menghampiri sekretaris itu dengan hati-hati. "Harusnya aku jujur dari awal.""Padahal Kak Clara tulus bantuin kamu," ucapnya dengan ekspresi murung. "Kan Kak Clara malu jadinya ngaku-ngaku di depan

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 38 I D C

    Sepanjang perjalanan pulang, Fabian hanya membisu. Alisya ikut terdiam sambil sesekali melirik suaminya yang nampak begitu terganggu dengan ucapan Via tadi. Memangnya apa yang diperbuat oleh Fabian terhadap gadis bernama Risa itu. Lalu Alisya menggeleng. Ia tak mau memikirkannya. Rasanya semakin kesal saja. Di apartemen, Alisya meletakkan belanjaannya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat keluar, ia kaget karena Fabian tak kunjung masuk ke dalam kamarnya yang kini sudah bertransformasi menjadi kamar mereka. Alisya mencari Fabian ke ruangan lain dan mendapati Fabian sedang merenung di ruang kerjanya."Mas?"Fabian tersentak. "Kamu gak tidur? Katanya capek." "Mas ngapain di sini?" tanya Alisya, duduk di meja Fabian.Fabian menghela nafas. "Saya ada kerjaan, jadi...""Mas," potong Alisya, mendesah kecil dan mendekati Fabian. Ia menyentuh wajah pria itu dengan kedua tangannya. "Aku gak suka sama si Via-Via itu."Fabian menahan tangan Alisya. "Mungkin saya harus jujur sam

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 37 Siapa sih Risa?!

    Ketika Fabian kembali, suasana terasa agak sunyi. Fabian melirik heran pada raut tegang teman-temannya, lalu menoleh pada Alisya. Gadis itu malah menatapnya dan tersenyum manis."Telponnya udah, Mas? Aku pengen pesen makanan tapi nungguin Mas dulu," ucap Alisya dengan nada santai. Fabian mengangguk dan segera memanggil pelayan. Karena yang lain sudah memesan makanan, jadi mereka hanya memesan untuk mereka saja. Alisya memesan beberapa varian dumpling dan bebek panggang, juga penutup berupa egg tart dan green tea sorbet. Cukup banyak untuk dirinya sendiri. Sementara yang lain mulai nampak rileks karena Alisya sepertinya tak menggubris perkataan Via tadi.Benarkah seperti itu?"Kayaknya aku mesen kebanyakan ya, Mas," ucap Alisya, saat pelayan mengantarkan pesanan mereka. "Kalo gak abis, nanti Mas yang abisin ya?""Ya udah, makan aja dulu," angguk Fabian. Alisya menikmati makanannya dengan santai, tapi ia hanya mencicipi sedikit-sedikit saja setiap menu. Ia melirik ke arah yang lain ya

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 36 Kencan, tapi...

    Demi rencana ini Alisya sampai nekat membeli pakaian baru di butik dekat kampus. Di jam yang sudah ditentukan, ia menunggu di lobi apartemen sambil memperhatikan setiap mobil yang masuk dan keluar. Begitu mobil yang ia kenali berhenti di depannya, Alisya buru-buru masuk. Entah kenapa ia merasa Fabian nampak sangat tampan walaupun baru pulang kerja."Seat belt-nya," ucap Fabian, memajukan tubuh untuk memasangkan sabuk pengaman Alisya. Namun ia tak segera menjauh, melainkan mencuri kecupan di bibir gadis itu. Alisya cukup tersipu terhadap kecupan ringan itu. "Tapi aku masih heran deh, Mas. Kok tiba-tiba jadi mesra banget sama aku? Perasaan kemaren sampe pura-pura punya pacar dan nyuruh aku cari cowok lain yang seumuran."Fabian menatap Alisya sejenak, mendesah kecil dan mulai menjalankan mobilnya. "Kamu mau jawaban yang jujur?""Yang jujur, dong.""Eum jujur aja sih, kamu emang cantik. Banget. Kamu memang sangat menarik dari segi penampilan. Dengan kamu terus-terusan godain saya, rasan

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 35 Momongan?

    Hari ini, pagi terasa begitu berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Alisya sedang menggoreng telur dan Fabian berdiri di belakangnya, memeluknya. Kuliah Alisya dimulai agak siang, sementara Fabian sepertinya memutuskan untuk datang lebih siang ke kantor. Mereka benar-benar seperti pengantin baru yang lengket satu sama lain. "Udah ah, Mas. Kemaren aja gak mau sama anak kecil," omel Alisya."Kan saya udah minta maaf.""Gak mau duduk?" Fabian malah membenamkan wajahnya ke leher Alisya. Alisya mendesah, mematikan kompor dan meletakkan telur di piring. Ia menepuk-nepuk tangan Fabian yang berada di atas perutnya. "Mas, aku baru kepikiran.""Kepikiran apa?""Gimana kalo aku hamil?"Fabian terdiam sejenak. "Kamu gak mau hamil?""Kan aku, masih kuliah. Kayaknya aku belom siap deh," ucap Alisya seraya melepaskan tangan Fabian dan membalikkan badan. Fabian tersenyum kecil dan mengangguk. "Kalo gitu kita ke dokter ya. Tapi kemaren kita gak pake pengaman."Alisya setengah cemberut melihat per

  • Mengejar Cinta Mas Bian    Bab 34 Lembar baru

    Alisya mendesah saat Fabian mengecup bahunya dari belakang. Sepertinya pria itu sudah bangun. Tangan Fabian yang bertengger di perutnya mulai naik turun, mengelusi kulit mulus Alisya. Nafas hangat sang pria kembali menginvasi leher belakang Alisya, membuat gadis itu menggelinjang kegelian."Mas...""Badan kamu wangi banget, saya suka," bisik Fabian, kembali berusaha menggoda gadis itu. Alisya membalikkan badannya, menghadap ke arah Fabian yang langsung menempelkan kening mereka. Untuk pertama kalinya ia benar-benar menjadi seorang istri. Alisya menyentuh rahang pria itu, merasakan jambangnya yang kasar namun ada sensasi menyenangkan saat mengelusnya. "Kamu suka?" tanya Fabian, mengelus tangan Alisya yang nangkring di wajahnya."Dulu aku gak suka cowok yang ada bulu di muka. Tapi kayaknya aku berubah pikiran setiap liat Mas," kekeh Alisya. "Kenapa gak suka?""Eum, di sekitarku penuh sama cowok-cowok ganteng yang mukanya putih mulus," cengir Alisya."Saya jelek ya?""Nggak!" bantah A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status