Share

Bab 3 Kok nyaman?

Karena masih takut dengan Fabian, Alisya memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi dekat dapur sampai terdengar langkah kaki Fabian keluar apartemen. Ia menghela nafas lega. Saat kembali ke kamar, pecahan bingkainya sudah tak ada lagi. Bahkan fotonya juga sudah tak ada. Sepertinya Fabian memindahkannya dari laci. Tadi memang agak lama menunggu Fabian selesai.

Sepanjang hari ini, Alisya terus memikirkan cara yang benar untuk meminta maaf pada Fabian. Padahal Fabian tadi pagi bersikap cukup baik padanya, bahkan memberikan kartu kredit. Mereka tinggal serumah, jadi rasanya pasti tidak enak jika Fabian masih marah padanya. Malamnya, Alisya sengaja menunggu di sofa ruang depan sambil menonton televisi. Cukup lama menunggu, hingga akhirnya terdengar pintu apartemen dibuka dari luar. Alisya buru-buru menyambutnya.

"Mas?" sapanya sambil meringis, saat melihat Fabian melangkah masuk ke dalam.

Fabian menghela nafas.

"Tadi saya gak sengaja, maafin saya. Saya cuma cari obat merah karena jari saya luka, jadi saya buka laci," ucap Alisya, kelewat gugup. Ia terus mengoceh, "Saya ambil fotonya, tapi kaget karena Mas datang, trus pecah. Jadi saya..."

"Alisya...," sela Fabian, menghentikan ocehan Alisya yang sudah tak karuan.

"I-iya?" cicit Alisya, menatap Fabian takut-takut.

"Saya pengen ngajak kamu ngomong. Kamu tunggu di ruang tamu sebentar."

"Baik, Mas," angguk Alisya, untuk sejenak merasa lega karena nada suara Fabian yang terdengar tak terlalu marah. Sesuai arahan, ia menunggu di sofa yang tadi ia duduki. Sepertinya Fabian sedang berganti pakaian. Dan benar saja, pria itu kembali dengan pakaian yang lebih santai. Ia langsung duduk di hadapan Alisya sambil menghela nafas.

"Kita perlu bicara," ucap Fabian, memperhatikan ekspresi Alisya yang sepertinya siap untuk mendengarkan ucapannya. "Kamu ataupun saya jelas-jelas tidak menginginkan pernikahan ini, benar kan?"

Alisya mengerjap, lalu buru-buru mengangguk. Ia menunggu Fabian melanjutkan.

"Mama yang memaksa saya untuk menikahi kamu," imbuh Fabian. "Kita sama-sama terpaksa menjalani pernikahan ini. Oleh karena itu, saya pikir kita gak perlu bertindak layaknya suami istri. Sebaiknya kita tetap menjalani kehidupan seperti biasa. Kamu bisa fokus belajar untuk kuliah, begitu juga dengan saya. Tapi saya pastikan kebutuhan kamu tercukupi, karena gimanapun kamu tetap tanggung jawab saya. Kamu paham, Alisya?"

"Maksudnya kita gak perlu jadi suami istri beneran?"

Fabian mengangguk. "Kamu gak harus masak, bersih-bersih atau apapun itu. Kamu fokus aja belajar biar bisa kuliah nanti. Masalah biaya, saya yang akan tanggung seluruh kehidupan kamu. Gak perlu kamu pikirin. Kalau butuh apa-apa, kamu boleh ngomong ke saya. Kita cukup saling menghargai privasi masing-masing."

"Saya ngerti, Mas," ucap Alisya, sedikit senang karena Fabian sangat baik dan tidak menuntut apapun darinya.

"Oh ya, kamar itu kamu boleh tempati, biar saya tidur di kamar satunya aja. Pas libur nanti, baru saya pindahin barang-barang saya dari sana."

"Eh, biar saya aja yang pindah, Mas," sela Alisya, merasa tak enak.

"Gak, gak. Kebetulan kamar yang satunya lebih dekat dengan ruang kerja saya. Lagian saya juga cukup sering lembur," ucap Fabian, menenangkan Alisya.

"Beneran gak apa?"

"Iya, kamu pake aja kamar itu," angguk Fabian.

Alisya tersenyum. "Makasih banyak ya, Mas."

"Ah, saya juga mau minta maaf karena bentak kamu tadi siang," gumam Fabian, pelan tapi untungnya masih terdengar oleh telinga Alisya.

"Gak apa, Mas. Justru saya yang minta maaf," balas Alisya, bertemu pandang dengan Fabian.

Fabian tersenyum. "Berarti kita impas. Saya mau istirahat dulu, kamu juga silahkan kalo mau tidur."

"Iya, Mas. Selamat malam."

"Malam," angguk Fabian, beranjak meninggalkan Alisya yang tersenyum lega.

Ternyata pernikahan dengan Fabian tak semenakutkan yang Alisya kira. Malah ia merasa lebih leluasa ketimbang di rumahnya dulu, di mana ia sering merasa tertekan dengan keberadaan ibu dan saudari tirinya, juga sang ayah yang memang lebih perhatian pada Tasya dibanding dirinya. Ibu mertuanya benar, Fabian adalah orang yang baik.

Keduanya melewati hari dengan kegiatan masing-masing. Fabian tetap dengan rutinitas kerjanya dan Alisya yang sudah mulai kursus, sibuk belajar agar bisa mengikuti ujian seleksi universitas negeri yang akan diadakan sebentar lagi. Sejauh ini, Fabian juga bersikap amat baik walau sibuk. Ia sering membawakan makanan untuk Alisya atau bertanya mengenai pembelajarannya saat mereka sempat sarapan bersama di meja makan.

"Kamu bisa bawa mobil?" tanya Fabian saat Alisya mengeluh sempat terlambat karena harus menunggu taksi lewat.

"Gak bisa," jawab Alisya setelah mengunyah habis roti bakarnya.

Fabian berpikir sejenak. "Mau belajar?"

"Boleh, Mas."

"Yaudah, nanti hari Minggu kita belajar nyetir," putus Fabian.

"Loh, sama Mas Bian?"

"Memangnya kamu mau sama siapa?" Fabian malah balik bertanya.

"Aku pikir Mas sibuk," gumam Alisya. Entah sejak kapan ia merubah panggilan dirinya terhadap Fabian dari saya menjadi aku. Mungkin karena merasa sudah dekat, jadi ia tak perlu merasa terlalu formal lagi.

"Gak, saya lumayan longgar. Kemarin sibuk banget karena ada projek untuk instansi pemerintah. Sekarang udah beres, jadi saya gak terlalu sibuk lagi," ucap Fabian.

"Oh yaudah kalo gitu," cengir Alisya, tersenyum riang. Akhir-akhir ini, ia baru mengetahui bahwa bisnis Fabian adalah perusahaan yang bergerak di bidang aplikasi keamanan dokumen khusus perusahaan-perusahaan besar. Itu sebuah perusahaan yang sudah dirintisnya sejak lulus kuliah. Sang mertua yang menceritakan kepada Alisya saat berkunjung kemarin.

Lebih nyaman menjalani semuanya bukan seperti suami istri. Fabian selalu bersikap bak seorang kakak pada Alisya. Itu membuat suasana cair dengan lebih mudah. Minggu pagi, Fabian yang biasanya memilih joging pagi-pagi, sudah sibuk menyuruh Alisya bersiap-siap. Mereka akan latihan di kompleks perumahan yang dekat dengan kediaman keluarga Fabian. Karena di situ cukup sepi dan mereka bisa leluasa belajar menyetir.

"Bentar, Mas. Aku mau siapin brownies kukus buat Mama dulu," kata Alisya, sibuk mencari wadah untuk kue yang ia buat kemarin.

"Saya masih heran, kamu pinter bikin kue tapi gak bisa masak," gumam Fabian, mencomot irisan brownies yang sudah dipotong Alisya.

Alisya tertawa. "Soalnya Mama kandungku suka banget bikin kue dan sering nyatet resepnya. Jadi kalo kangen Mama, aku sering nyobain resep beliau."

"Udah siap?"

Alisya mengangguk, memastikan wadahnya sudah tertutup sempurna. Lalu Fabian mengambil wadah berisi brownies itu untuk dibawa keluar. Alisya tersenyum kecil melihat Fabian yang selalu sigap membantunya tanpa diminta.

Fabian memutuskan untuk mengajari Alisya lebih dulu sebelum pergi ke rumah ibunya. Katanya mumpung masih sepi, karena kalau terlalu siang mungkin akan cukup banyak mobil berlalu lalang. Fabian mengajari Alisya belajar menyetir mobil manual, karena akan lebih mudah beradaptasi ke mobil matik ketimbang sebaliknya. Fabian bilang Alisya akan bisa menguasai keduanya jika lebih dulu belajar mobil manual.

"Gak akan nabrak kan, Mas?" tanya Alisya dengan ekspresi lucu.

"Kalo kamu nginjak gasnya pelan-pelan, kita gak akan langsung nabrak kok," jawab Fabian, setengah bercanda.

Bagi pemula seperti Alisya, belajar menyetir untuk pertama kalinya sangat membuatnya gugup. Tapi Fabian mengajarinya dengan sabar dan telaten. Meski masih mencong kesana kemari, tapi Fabian cukup tenang mengajari Alisya. Alisya yang kelewat gugup mulai bisa membiasakan kaki dan tangannya saat memegang kemudi. Meski tentu saja ia tak akan bisa langsung mengemudi dalam sekali percobaan.

"Laper banget," keluh Alisya, setelah dua putaran.

"Tadi ada tukang bubur, mau sarapan itu?"

"Pengen, tapi Mama kayaknya udah nelpon beberapa kali deh," gumam Alisya, mengecek ponselnya. "Kita langsung ke rumah mama aja."

"Oke."

Ini kedua kalinya Alisya pergi ke rumah mertuanya. Sebelumnya adalah saat Mama Jihan mengajaknya berbelanja ke mall dua minggu yang lalu. Wanita paruh baya yang elegan itu nampak menunggu di depan pintu rumah sambil berjalan bolak-balik dengan gelisah. Begitu membuka pintu, Alisya langsung memeluk ibu mertua yang sejak awal memang selalu bersikap hangat padanya itu. Alisya agak merasa bersalah karena pernah berburuk sangka pada Mama Jihan dulu.

"Dari mana aja? Katanya tadi keluar jam setengah delapan," omel sang mertua.

"Ngajarin Alisya nyetir, Ma," sahut Fabian.

"Alisya belajar nyetir?" tanya Mama Jihan, menoleh pada Alisya.

Alisya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. "Oh ya, ada brownies buat Mama."

"Ah, repot-repot segala. Ayo masuk dulu," kata Mama Jihan, merangkul Alisya dan mengajaknya masuk ke dalam.

Mama Jihan membawa Alisya ke ruang tamu, sementara Fabian pergi ke dapur untuk memberikan brownies buatan Alisya ke pelayan. Mama Jihan tersenyum senang melihat raut cerah dari Alisya. "Gimana belajar nyetirnya?"

"Hehe, baru juga mulai, Ma."

"Ya gak apa, nanti lama-lama bisa kok. Kalo belum bisa, Mama bisa suruh sopir untuk antar jemput kamu. Oh ya, Fabian ke kamu baik, kan?"

"Mas Bian baik kok, gak pernah marah-marah," jawab Alisya.

"Oh baguslah kalo gitu. Nanti bilangin ke Mama kalo dia macam-macam. Biar Mama marahin," tawa Mama Jihan. "Bimbelnya lancar?"

"Iya, bentar lagi mau tahun ajaran baru, jadi Alisya juga fokus ke situ."

"Kamu beneran mau nyoba kampus negeri? Swasta juga gak apa, kok. Lebih deket juga dari sini," kata Mama Jihan.

Sebenarnya Alisya juga berpikir untuk masuk swasta saja, tapi ia terlanjur bimbel untuk mengikuti ujian. "Dicoba dulu, Ma. Nanti kita liat bagusnya gimana, hehe."

"Yaudah kalo maunya gitu. Pokoknya masalah biaya kamu gak usah pusing," kekeh sang mertua, mengusap bahu Alisya dengan sayang.

Mereka berbincang sejenak mengenai hal-hal kecil. Tak lama, Fabian ikut duduk sambil meletakkan sebuah bungkusan hitam ke meja. Alisya dan Mama Jihan menatapnya bingung.

"Apa itu, Bian?"

"Bubur, Ma. Tadi katanya Alisya pengen bubur," jawab Fabian, santai.

"Oalah, belum sarapan, ya? Kenapa gak bilang? Malah Mama ajak ngobrol," omel sang mertua, lebih kepada dirinya sendiri.

Alisya tertawa renyah. Dalam hati ia merasakan sebuah desiran aneh saat mengetahui bahwa Fabian rupanya membelikan bubur untuknya. Matanya diam-diam melirik pada sang suami yang sibuk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Akhir-akhir ini Alisya baru menyadari bahwa suaminya ini ternyata memiliki wajah rupawan. Selama ini tipenya adalah cowok-cowok Korea, jadi ia belum menyadari ketampanan yang dimiliki Fabian.

Tiba-tiba Alisya tersentak, merasa aneh terhadap dirinya sendiri. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status