Share

Bab 8 Mas Bian pulang

Jalannya ospek memang menjadi lebih tenang bagi Alisya karena para senior itu terpaksa menepati janji mereka untuk tak memberi perintah atau hukuman padanya. Intinya, tak ada yang bisa mengganggu Alisya selama jalannya ospek. Tapi sebagai gantinya, Alisya menjadi bahan perbincangan hampir satu kampus. Kabar mengenai seorang gadis yang mengubah auditorium menjadi tempat konser menyebar begitu saja, beserta video-video yang menampilkan dirinya sedang bernyanyi sambil menari.

Tapi sejauh ini hal paling menyebalkan hanyalah anak-anak di kampus yang refleks memperhatikannya begitu ia lewat. Alisya tak terlalu memikirkannya lagi karena ia sibuk menunggu kembalinya Fabian dari China. Sayangnya, pria itu memang tak kunjung membalas pesannya. Alisya jadi agak berkecil hati. Entah kenapa rasanya menyebalkan sekali.

"Mas Bian kapan pulang, sih? Pesan juga gak bales-bales," keluh Alisya, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Saat ini ia sedang di mobil dalam perjalanan pulang dari kampus.

Sepertinya ini sudah lewat seminggu dari kepergian Fabian. Bagi Alisya, itu sudah terlalu lama. Dengan malas ia melangkah keluar dari lift apartemennya. Hari-hari belajar di kampus ternyata lebih membosankan dari yang Alisya pikir. Ia jadi agak merindukan kehidupannya saat di Korea, walaupun ia harus berlatih sampai larut malam dan menghadapi kompetisi ketat dengan trainee lain.

"Udah pulang?"

Bola mata Alisya membesar begitu melihat Fabian berdiri di hadapannya sambil tersenyum menawan. Kulitnya yang kecoklatan ditambah postur tubuhnya yang tinggi dan kokoh, apalagi dalam balutan pakaian santai berwarna putih yang menekankan bahu lebarnya dengan sempurna. Tak urung, Alisya makin terpesona pada suaminya itu.

"Kaget, ya?" tanya Fabian, menyadarkan Alisya.

"Oh, kok Mas gak bilang?"

Fabian tertawa. "Maaf, saya lagi ribet banget banyak urusan. Gimana kuliah kamu?"

Alisya buru-buru masuk ke apartemen dan menutup pintu sebelum menghampiri Fabian. "Mas gak bales pesan."

"Ooh, iya. Kayaknya pesan kamu ke bawah, jadi saya lupa bales," gumam Fabian. "Tapi saya tetep beliin oleh-oleh, kok. Jangan cemas."

Lalu Fabian mengambil beberapa bungkusan dari kamarnya untuk diberikan pada Alisya. Isinya adalah beberapa makanan dan tas mini merk Shanghai Tang yang Alisya ingat pernah dipakai oleh salah satu trainee asal China. "Makasih, Mas."

"Kamu gak suka? Mungkin harusnya saya tanya dulu kamu maunya apa. Tadi saya bener-bener lupa, untung sempet jalan-jalan dulu di sekitar bandara."

"Suka, kok," bantah Alisya, walaupun dalam hati agak kecewa. Ia bukan kecewa karena tak suka tasnya. Tapi Alisya menyadari bahwa ia tak benar-benar menjadi prioritas Fabian.

"Nanti saya beliin yang lebih bagus. Oh ya, kamu belum jawab. Gimana kuliahnya? Seniornya rese, gak?"

"Gak sih, biasa aja Mas," elak Alisya. Tak mungkin ia menceritakan bahwa di hari pertama ia malah menantang senior, walaupun ia berhasil membuktikan diri agar tak ditindas. Fabian suka wanita lemah lembut, nanti Alisya bisa dianggap terlalu bar-bar. "Mereka ya gitu-gitu aja. Sejauh ini lingkungan kampus biasa-biasa aja."

"Oh, baguslah kalo gitu. Berarti kamu cuma perlu adaptasi aja," angguk Fabian. "Gak mau makan? Kamu gak laper?"

"Oh iya, bentar Mas. Aku ganti baju dulu."

Alisya cukup heran, jelas sekali Fabian menganggapnya seperti adik kecil yang mudah merajuk. Padahal Alisya pikir ia sudah melakukan beberapa hal untuk menunjukkan bahwa ia sosok yang mandiri dan bisa diandalkan. Apa itu belum cukup?

"Kerjaan Mas gimana?" tanya Alisya, saat mereka makan bersama di meja makan.

"Lancar. Kebetulan saya lagi ngincer klien luar negeri, makanya butuh banyak persiapan," jawab Fabian, mengambil bakpao yang sengaja ia beli dari China. "Makanan di situ enak-enak, tapi takut gak tahan lama kalo saya bawa ke sini buat kamu."

"Gak apa, Mas. Yang ini juga enak, kok."

"Saya perhatiin kamu itu kalo makan lahap banget, makanya saya mikir untuk bawain kamu makanan terus," kekeh Fabian.

Alisya terdiam sejenak. "Aku keliatan rakus ya, Mas?"

"Nggak, maksud saya bukan gitu. Saya jarang liat cewek makan dengan lahap kayak kamu. Mantan saya aja biasanya makan pelan-pelan," ujar Fabian.

Alisya ber-oh ria, tapi dalam hati ia bertanya-tanya, apa cara makannya terlalu cepat? Dari deskripsinya sepertinya mantan pacar Fabian adalah wanita yang anggun dan lemah lembut seperti putri keraton. Apa Alisya harus seperti itu agar bisa dilirik Fabian?

Menjadi wanita dewasa yang lembut dan anggun. Alisya terus-terusan memikirkan cara agar ia bisa seperti itu. Sifat-sifat semacam itu sejujurnya bertolak belakang dengan kepribadiannya. Karena sering berada di lingkungan yang menyebalkan, Alisya harus bertahan diri untuk bersikap keras. Bahkan ia bisa menjadi nekat jika diperlukan.

"Kok orang-orang bisa jadi anggun gitu, ya?" gumam Alisya pada teman barunya, Dian, sambil sedikit menerawang. Mereka sedang duduk-duduk di lapangan dekat perpustakaan fakultas mereka.

"Kamu pengen jadi anggun?"

"Jadi cewek anggun kayaknya menarik," ujar Alisya, menoleh pada Dian.

Dian tertawa. "Aku justru suka sama gayamu. Badass banget, apalagi pas nantangin senior. Kamu pemberani dan seolah gak takut sama apapun. Aku malah pengen kayak kamu."

Kalau dilihat-lihat, Dian ini juga anak yang anggun. Mungkin karena ia orang Sunda, jadi pembawaanya begitu sopan dan lembut. "Aku cuma harus bertahan dari orang-orang nyebelin," ucap Alisya.

"Iya, makanya aku suka. Soalnya aku sering di posisi gak bisa ngelawan. Aku kagum banget sama kamu yang jago ngelawan."

"Jadi kayak sok jagoan, ya?" canda Alisya.

"Gak, tau! Kamu itu beneran keren, gak sekedar omong doang."

Alisya tertawa kecil. Dian ini anak yang baik dan enak diajak bicara. Dan ternyata mereka juga seumuran. Secama umum Alisya seharusnya lebih tua setahun dibandingkan anak-anak seangkatan, tapi Dian juga sama seperti Alisya, kuliahnya tertunda selama satu tahun.

"Penggemar kamu juga banyak. Perasaan tiap pergi sama kamu, orang-orang pada ngeliatin ke kita mulu," imbuh Dian, celingak-celinguk menatap sekitar di mana banyak mahasiswa yang mencuri-curi pandang ke arah Alisya.

"Mungkin mereka ngeliatin kamu karena cantik."

"Ih, jelas-jelas mereka liatnya ke kamu," sungut Dian. "Oh, apalagi senior yang ganteng itu. Cocok banget deh sama kamu."

"Senior ganteng?"

Dian menunjuk ke arah sebelah kiri Alisya menggunakan dagunya. Bola mata Alisya bergulir ke arah yang ditunjuk dan ia agak terkejut karena tatapannya malah bersirobok dengan sorot mata yang ia kenal betul. Arka. Entah sudah berapa kali Alisya memergoki Arka menatapnya dari jarak jauh.

"Aku udah ada pasangan," ucap Alisya, meski ia belum berani mengatakan suami. Sejauh ini tak ada yang tahu ia sudah menikah.

Dian terkekeh. "Para penggemar kamu pasti kecewa kalo denger ini."

"Penggemar apaan sih," sungut Alisya, menepuk pelan bahu Dian. Lalu ia merasa seperti ada tetesan air yang jatuh ke kepalanya. "Loh, hujan ya?"

"Ayo cepetan masuk ke kelas," ajak Dian, menarik tangan Alisya, menerobos rintik hujan yang kian lama kian menderas.

Setelah sempat kehujanan, Alisya mulai merasa tubuhnya agak kurang fit. Keesokan harinya, setelah pulang kuliah, Alisya merasa kepalanya pening dan ia tak sanggup untuk berjalan lebih jauh menuju kamarnya. Alih-alih, ia malah menidurkan diri di sofa panjang yang memang berada dekat dengan pintu apartemen. Alisya memejamkan mata, tanpa sadar air matanya merembes. Ia benar-benar benci saat ia sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status