Share

Bab 9 Sakit

Pukul delapan, Fabian pulang ke apartemen dan terkejut melihat Alisya sedang tertidur di sofa dengan tubuh menggigil. Bahkan tas kuliahnya tergeletak begitu saja di lantai. Ia buru-buru menghampiri Alisya dan memeriksa kondisinya. Suhu tubuhnya cukup tinggi.

"Alisya," panggilnya.

Alisya membuka mata dengan susah payah karena kepalanya pening. "Mas..."

"Badan kamu panas. Kita ke rumah sakit, ya."

Alisya menggumam tak setuju. "Jangan..."

"Loh, kenapa? Badan kamu panas banget. Kamu harus diperiksa..."

"Gak... mau..."

"Alisya...," lirih Fabian, ingin memaksa tapi ekspresi Alisya benar-benar terlihat tak suka. Ia menghela nafas, lalu melepaskan jas kerjanya untuk menyelimuti Alisya. "Oke, kamu tidur di kamar aja. Jangan di sini."

Mengangkat tubuh Alisya ala pengantin, Fabian membawa gadis itu ke kamarnya dan menidurkannya pelan-pelan. Fabian lalu keluar untuk mengambil alat untuk mengompres Alisya. Dengan telaten ia mengelap wajah Alisya, dan menyingkirkan anak rambut gadis itu sebelum meletakkan kain itu ke dahinya.

"Kamu udah makan?" tanya Fabian, memperhatikan mata Alisya yang begitu sayu dan redup.

"Belum."

"Kamu tetep harus makan biar bisa makan obat. Sebentar, saya bikinin bubur."

Alisya langsung memegang tangan Fabian, mencegahnya pergi. Ia berkata lirih, "Kasih obat aja, Mas. Besok biasanya udah sembuh."

"Kamu belum makan, Alisya. Perut kamu kosong."

"Udah biasa kok, Mas," ucap Alisya. Ia tak terlalu banyak berpikir dan hanya ingin tidur saja. Biasanya juga saat sakit seperti ini orang rumah hanya akan membiarkannya di dalam kamar sampai ia sembuh sendiri. Bahkan tak ada yang ingin repot-repot mengompres kepalanya seperti yang dilakukan oleh Fabian.

Fabian terdiam sejenak, lalu menghela nafas. "Kamu jangan tidur. Saya bikinin makanan dan pokoknya kamu harus makan."

Kali ini Alisya tak bisa mencegah Fabian lagi. Alisya merasa aneh karena ada orang yang sedang mengurusnya saat ia sakit. Tapi tak urung, kilasan bayangan-bayangan yang membuat hatinya sakit membuat Alisya kembali menangis. Saat ia merasa lemah, Alisya selalu berpikir bahwa keberadaannya di dunia ini sangat tidak diinginkan. Tak seorangpun peduli, bahkan ayahnya.

Alisya teringat, saat ia dan Tasya masih SMP, Tasya pernah terkena usus buntu dan harus dioperasi. Seluruh keluarga repot mengurus Tasya, padahal saat itu Alisya juga sedang tak enak badan karena hujan-hujanan saat ayahnya lupa menyuruh sopir untuk menjemputnya. Alisya hanya diam di kamar dan tertidur sambil memeluk foto ibunya. Paling-paling hanya Mbok Sita, orang yang membantu mengurus rumah, yang akan mengantarkan makanan ke kamar Alisya karena kasihan melihatnya.

Alisya juga teringat saat-saat di mana ia iri melihat kedekatan Tasya dengan ibunya. Alisya iri karena Tasya masih bisa memeluk dan mengeluh apapun pada ibunya. Lalu ibunya akan membelai kepala Tasya dan membela anaknya mati-matian, entah ia salah atau benar. Apalagi saat mereka bertengkar dan Alisya selalu dimarahi karena dianggap yang paling salah. Tasya juga selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan saat sakit. Bahkan perhatian ayahnya. Ayahnya yang selalu sibuk untuk Alisya, menjadi tidak sibuk demi Tasya.

"Alisya? Kenapa? Ada yang sakit?"

Alisya membuka mata, tanpa sadar air matanya terus meleleh karena mengingat kenangan buruk. Itu terjadi begitu saja, padahal Alisya tak bermaksud ingin menangis. Fabian kembali sambil membawa semangkuk sup, bukan bubur. Masih mengepul dari mangkuk dan aromanya menguat ke Indra penciuman Alisya. Sepertinya tak buruk.

"Saya gak jadi bikin bubur soalnya lama, tapi saya liat ada bahan buat bikin sup di kulkas. Kamu, ada yang sakit?"

Alisya buru-buru menggeleng sambil berusaha menghapus air matanya, tapi Fabian menahan tangannya dan mengambil tisu untuk membantu Alisya mengelap air matanya. Fabian melakukannya dengan sangat lembut.

"Panas ya? Gak apa, nanti minum obat panasnya akan turun," ucap pria itu, melepas kompres Alisya dan membersihkan seluruh bagian wajahnya. Setelah wajah Alisya bersih dari air mata, Fabian pelan-pelan membantu Alisya untuk duduk agar bisa memakan sup yang sudah ia buat. Untungnya memang tak terlalu sulit membuat sup dan hanya perlu direbus sampai sayur dan proteinnya matang. Walaupun potongan sayurnya tak terlalu rapi. "Gak apa kan, makan sup dulu?"

"Iya, Mas," lirih Alisya. Saat ia ingin mengambil mangkuk supnya, Fabian malah melarang.

"Saya aja yang nyuapin," sela Fabian, lalu menyuapkan sesendok sup untuk Alisya setelah memastikan suhunya sudah dingin.

Sungguh sulit untuk tidak semakin jatuh cinta pada Fabian. Alisya yang belum pernah diperlakukan seperti ini (kecuali oleh ibunya sebelum meninggal), benar-benar tak bisa menampik bahwa hatinya sudah tak tertolong lagi. Rasanya seperti ia mendapatkan tempat hangat yang nyaman untuk berlindung. Rumah. Mungkin itu istilah yang tepat. Fabian benar-benar pria yang hangat.

Malam ini, ia segera tertidur setelah Fabian memberikan obat penurun panas padanya. Sebelum menutup mata, Alisya ingat bahwa Fabian masih berada di sisinya untuk memeras kain yang akan digunakan untuk mengompres keningnya lagi. Setelah itu Alisya benar-benar tertidur berkat efek obat itu.

Biasanya Alisya akan terbangun dalam kondisi sesak karena menangis semalaman, tapi pagi ini hatinya begitu lapang. Alisya kaget saat mendapati sosok Fabian yang tertidur di sisi ranjangnya sambil menyandarkan diri di dinding. Pakaian kerjanya juga belum diganti. Itu berarti sejak semalam Fabian menjaganya di kamar ini. Alisya melepas kompresnya dan berusaha bangkit, tapi malah tak sengaja membangunkan Fabian.

"Alisya, panasnya udah turun?" tanya Fabian, refleks menyentuh kening Alisya.

"Mas kok tidur di sini?"

"Saya gak sengaja ketiduran, tapi saya gak ngapa-ngapain kok. Cuma ganti kompres kamu aja. Ini udah gak panas lagi, tapi kamu jangan banyak gerak dulu," omel Fabian.

"Maaf ya, Mas. Aku ngerepotin," lirih Alisya dengan mata sayu. Ia merasa tak enak karena Fabian sampai tidak bisa beristirahat dengan baik. "Padahal ditinggal juga gak apa."

"Semalam kamu ngigau, saya cemas. Terus suhu tubuh kamu gak turun-turun juga, padahal kamu sampe menggigil terus. Saya khawatir kamu ada apa-apa kalo saya tinggal."

"Mas sampe gak ganti baju," gumam Alisya dengan nada sendu. "Aku ngerepotin banget."

"Gak, Alisya. It's not a big deal, jadi gak perlu kamu pikirin. Kamu itu udah kayak adek saya dan kebetulan saya memang gak punya adek cewek. Saya seneng kok punya adek yang manis dan penurut kayak kamu, jadi saya memang pengen jagain kamu," ucap Fabian dengan tulus.

Kalau saja, Alisya tidak sedang jatuh cinta pada Fabian, mungkin Alisya akan terharu dengan ucapan pria itu. Tapi saat ini Alisya malah merasa tersentil. Fabian memang baik, perhatian, hangat dan sangat pengertian. Tapi itu karena Fabian menganggapnya sebagai adik perempuan.

"Mana Mama lagi di luar kota," gumam Fabian, memeriksa ponselnya. Ia lalu seperti menghubungi seseorang.

"Halo, Mbak. Ini saya. Hari ini saya gak bisa ke kantor, ada urusan mendadak. Nanti untuk kerjaan, tolong kirim ke email saya ya. Saya akan kerja dari rumah."

Alisya tercenung. "Loh, Mas? Gak apa, Mas kerja aja."

Fabian memutuskan sambungan teleponnya, menoleh pada Alisya. "Gak, Alisya. Saya gak bisa fokus kerja kalo kamu sakit. Setidaknya kalo di rumah, saya bisa sekalian ngawasin kamu. Ya udah, saya bikin bubur dulu."

Setelah itu Fabian meninggalkan Alisya untuk membuat bubur. Alisya merenung sendirian di kamar. Ucapan Fabian terngiang-ngiang di kepala, merasuk ke sanubari dan menggelitik egonya. Hanya sebatas adik. Sebuah pernyataan yang merusak kesenangan Alisya. Tapi, andaikata Fabian mengetahui perasaannya, kira-kira apa yang akan terjadi dalam hubungan mereka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status