Share

The Wedding

"Nay, lo yakin?"

Nayli mengangguk, menjawab pertanyaan Meysa.

Meysa menatap khawatir Nayli. Meskipun sahabatnya itu sejak tadi pura-pura baik saja, tertawa saat dia melontarkan lelucon, tetapi lewat sorot mata saat kini mereka saling bertukar pandang, Meysa bisa menangkap dengan jalas sorot luka di mata Nayli.

"Jangan maksain kalau itu hanya bikin lo makin hancur, Nay."

"Gue baik-baik aja, Mey. Percaya, deh."

Malam ini, mereka sudah ada di hotel. Dan besok pagi, acara akad nikah dilaksanakan di ballroom hotel. Nayli sebagai kakak satu-satunya Fara menjadi salah satu bridesmaid, bersama Meysa yang dengan setia ikut menemani.

"Kalau besok gue gak hadir sama sekali, yang ada orang-orang bakal berpikir buruk, Mey."

Spontan Meysa berdecak. Dia bangkit dari posisi rebahan selama hampir setengah jam. Lalu, berkacak pinggang setelah berhadapan dengan Nayli.

"Lo mikirin aja omongan orang. Nggak mikirin perasaan sendiri, hah?" Meysa dibuat geram sendiri gara-gara sikap Nayli sekarang. "Please, seenggaknya lo protect diri sendiri dari luka yang bisa bikin hidup lo makin kacau, hati makin hancur."

"Gue juga gak mau bikin renggang hubungan dalam keluarga. Lo tahu 'kan, nyokap gimana sama Fara sekarang?"

"Susah ngomong sama orang yang lebih mentingin hal lain daripada hidupnya sendiri."

Daripada terus berdebat panjang, yang berujung percuma karena Nayli pasti memiliki ribuan alasan untuk menyangkal setiap ucapan Mesya. Meysa membanting tubuhnya kembali ke ranjang. Wajahnya sengaja ditenggelamkan di bantal, alih-alih menikmati pemandangan malam dari balik bangunan tinggi di tengah-tengah ibu kota.

Sedangkan Nayli, memilih beranjak ke kamar mandi. Bukan untuk urusan alam atau mandi, dia menyalakan keran agar suara tangisnya bisa teredam.

Dia membenarkan ucapan Meysa tadi. Dia tidak baik-baik saja. Padahal, setiap detik dia selalu menggumamkan kata baik-baik saja, tetapi nyatanya semakin hari, luka itu kian menganga. Kian menyiksa diri hingga rasanya dia kesulitan untuk meraup oksigen setiap kali dadanya sesak.

*** 

"Mbak, sekali lagi maafin Fara," ucap Fara, wajahnya menunduk, tak berani untuk sebatas menatap pantulan dirinya dan Nayli di cermin.

Nayli menggeleng pelan. Kedua tangannya telah bertumpu di bahu Fara.

"Semua kesalahan kamu udah Mbak maafin, Far. Selama ini, Mbak jagain jodoh kamu, ya, ternyata." Nayli terkekeh. Kedua sudut matanya sedikit basah. Segera dia hapus dengan punggung tangannya.

"Hari ini, kamu resmi jadi istrinya Arya. Mbak harap, kamu jadi istri yang baik, jangan manja terus. Ingat! Ada bayi dalam kandungan kamu."

Detik itu juga, Fara merengkuh pinggang Nayali, memeluknya erat sampai terdengar isak tangis dari bibir kecil dipoles lipstik warna pink.

Nayli tertegun. Dia menatap pantulan dirinya sendiri. Riasan natural membingkai wajahnya, membuat Nayli sendiri agak pangling. Dipaksakan senyum saat tangan kanannya mengelus punggung Fara. Lalu, saat pelukan Fara dirasa longgar, dia segera menangkup dagu Fara sampai sang adik menengadah.

"Riasan kamu bisa luntur. Kasihan yang make up, harus benerin lagi. Jadi, kamu gak boleh nangis, ya. Mau jadi ratu sehari, kok, malah sedih begini."

Nayli terkekeh pelan seraya menekan-nekan pelan kedua sudut mata Fara dengan tisu. Takut terlalu banyak make up yang terhapus.

Terdengar sayup-sayup langkah kaki mendekat ke ruangan yang sejak tadi diisi Nayli dan Fara. Kemudian, pintu terbuka hampir sempurna. Dua orang muncul dari balik pintu, berseragam abu-abu.

"Mbak, kita acaranya sudah mau mulai. Kita ke sana sekarang, ya."

Dari yang Nayli tahu, dua orang itu salah satu crew dari WO yang keluarganya sewa untuk acara pernikahan hari ini.

Nayli mengiakan.

"Ayo, Far. Mbak bantu jalan, ya."

Heels setinggi lima senti seharusnya tak menyulitkan langkah Fara, mengingat dia sudah sering menggunakan yang setinggi itu. Hanya saja, gaun putih dihiasi Swarovski di bagian sepanjang dua meter ke belakang itu menyulitkannya untuk melanhkah. Sehingga, Nayli memegangi tangan Fara dan kedua orang dari WO membantunya memegangi gaun yang tadi sempat tergusur, menyapu lantai. 

***

Pintu utama ballroom terbuka lebar. Seluruh pandangan tamu undangan langsung menyambut kedatangan Nayli di sisi kanan juga Meysa di sisi kiri Fara membantu Fara melangkah dengan anggun, menjejaki karpet putih yang digelar hingga ke tempat akad di tengah ruangan.

Terdengar suara MC di panggung menyambut kedatangan mereka sambil menyampaikan rasa takjub akan kecantikan Fara hari ini. Namun, dari beberapa tamu undangan yang tahu tentang hubungan Nayli dengan Arya, justru menatap perempuan di sisi kanan Fara kasihan, iba. Pun tak lupa saling berbisik, melayangkan gosip demi gosip yang berujung fitnah. Dari semua itu, disimpulkan kalau pendapat mereka Fara lah sosok antagonis bagi Nayli.

"Mbak tinggal dulu, ya," bisik Nayli usai Fara duduk di sebelah Arya. Dia melirik Arya yang tengah menatapnya, lalu menatap sang ayah yang tengah tersenyum penuh arti.

Bersama Meysa, Nayli mengambil duduk di salah satu kursi di jajaran paling depan. Dia kini telah diapit sang mama juga Meysa.

Jemari Nayli bergerak gelisah. Dia menunduk, menatap rok kebaya berwarna maroon senada dengan atasnya. Jika diperbolehkan, dia ingin tuli untuk beberapa saat. Tak sanggup rasanya mendengar ijab yang diucapkan sang ayah, lalu qobul diucapkan Arya. Lebih sakitnya lagi, membuat jantungnya terasa sakit, nama yang ucapkan sang ayah dan Arya bukanlah dirinya, melainkan Fara. Impiannya telah hancur sejak lama, semakin hancur saat perempuan itu adalah adiknya sendiri.

"Sah?" tanya penghulu, lalu dijawab oleh kedua saksi dari masing-masing pihak pengantin.

Hancur. Dunia Nayli benar-benar hancur. Dia semakin menunduk dalam, menyembunyikan tetes demi tetes air mata yang luruh ke pipi.

"Nay," panggil sang mama dan Meysa berbarengan.

Keduanya sejak tadi lebih fokus pada Nayli. Hanya saja, tak bisa berbuat apa-apa karena tak ingin terlihat mencolok di mata tamu undangan.

Nayli menghirup napas panjang, lalu kepalanya terangkat. Air mata terpaksa dia hentikan, walaupun dia masih belum puas.

"Ternyata, aku selama ini pakai topeng, ya." Matanya memerah saat menatap sepasang suami istri yang baru di resmikan. "Aku bilang ikhlas, padahal sakit. Aku bilang gak apa-apa, padahal nggak. Tuhan jahat banget, ya, sama aku sampai ngasih cobaan kayak gini?"

Digenggamnya tangan Nayli erat. Melihat sang sahabat berada di titik hancur seperti sekarang ini, apalagi dipaksa terlihat bahagia di depan khalayak umum, membuatnya ikut merasakan sakit.

"Jodoh kamu udah menunggu, Nay. Yang pasti, nggak jahat kayak si Arya," pesan Meysa, berusaha menghibur Nayli.

"Sayang, Mama ke depan dulu, ya," sela sang mama. Baru saja, MC memanggilnya ke atas panggung untuk prosesi penyerahan seserahan dari ibu pengantin laki-laki ke pengantin perempuan. Lalu, duduk di salah satu kursi di pelaminan bersama Ayah.

"Nay, kita ke kamar aja, yuk," ajak Meysa, tak tega kalau Nayli harus terus berusaha di sana.

Hati Nayli rasanya mencelos saat matanya bertubrukan dengan manik mata seorang pria berjas putih di atas panggung pelaminan. Buru-buru dia membuang muka sambil menggeleng, menjawab pertanyaan Meysa.

"Kalau nggak di sini, kasihan Fara. Dia pasti sedih."

Meysa pasrah. Dia setia duduk di sebelah Nayli, menemani Nayli. Matanya menjelajah sekitar, mengamati dekorasi acara hari ini. Semua serba putih sesuai keinginan Fara. Namun, setelah diteliti lagi, Meysa menyadari sesuatu. Ingatannya terlempar ke kejadian satu tahun lalu, di mana dia dan Nayli membicarakan tentang pernikahan impian mereka seperti apa.

"Kayak impian Nayli?" tanyanya pada sendiri.

"Kamu ngomong apa barusan, Mey?"

Meysa buru-buru menggeleng sambil menyengir lebar.

Mati-matian dia menahan diri untuk ti dak mencecar Fara, adik Nayli yang menurutnya sudah kelewatan. Merebut segala impian indah Nayli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status