Share

Pergi Sesaat

Acara sebenarnya masih berlanjut sampai nanti malam. Hanya saja pindah lokasi, ganti konsep jadi garden party. Akan tetapi, sejak satu jam lalu, Nayli memilih untuk pulang lebih dahulu bersama Meysa. Banyak hal yang harus dia urus untuk liburannya ke London.

Sejak selesai akad pun, Nayli berusaha mengalihkan pandangan agar tidak tertuju ke panggung. Dia sendiri naik ke panggung hanya dua kali. Pertama saat foto pertama bersama keluarga dan kedua kalinya bersama jajaran bridesmaids yang jumlahnya delapan orang, termasuk dirinya dan Meysa. Sebelum turun panggung, dia sempat berbisik maaf pada Fara. Entah untuk hal apa, yang jelas Nayli merasa plong saat tungkainya terayun menuju salah satu kursi bersama beberapa teman yang diundang juga.

"Nay," panggil Meysa. 

Nayli hanya berdeham. Dia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mengguyur sekujur tumbuh dari ujung ke ujung benar-benar membuatnya lebih rileks, fresh sekarang.

Terdengar bunyi bising dari mesin hairdryer, membuat Meysa berjalan mendekati Nayli yang tengah duduk di kursi rias, menghadap cermin.

"Kenapa, Mey?" tanya Nayli, saat beberapa detik melihat Meysa lewat pantulan cerpin di depannya. Sahabatnya itu terdiam seraya menumpukan kedua tangan di bahu Nayli.

Senyum perlahan terbit di bibir Meysa. Sambil menatap wajah Nayli dan dirinya di cermin, dia berujar, "Lo perempuan hebat, Nay. Gue kagum sama lo."

"Nggak ada yang perlu dikagumin dari diri gue, Mey. Emang udah seharusnya gue kuat. Dan siapa pun harus, berhak menjadi kuat melawan kerasnya hidup. Kalau lembek, lo kalah."

Diletakkannya hairdryer di antara skincare dan make up di meja rias setelah nyala mesinnya berhenti.

Nayli memutar badan hingga berhadapan dengan Meysa. Lalu, diraihnya kedua tangan Meysa, dan digenggam erat.

"Makasih, Mey. Lo selalu jadi orang pertama yang peluk gue, ulurin tangan buat gue, pasang telinga buat denger cerita gue, pasang badan setiap ada orang yang nyakitin gue." Mata Nayli mulai berkaca-kaca. Dia menunduk sejenak, membiarkan satu tetes jatuh ke atas pahanya. "Lo salah satu hadiah dari Tuhan yang dikasih ke gue. Makasih untuk segalanya. Makasih karena udah mau jadi sahabat gue."

Spontan Meysa merengkuh tubuh Nayli, memeluknya erat sambil dia elus beberapa kali. Sesekali dia pun membisikkan kata-kata terima kasih yang semuanya mirip dengan yang diucapkan Nayli.

Perlahan, pelukan keduanya mulai longgar. Saling menguar tawa melihat wajah masing-masing yang sudah dibanjiri air mata.

"Udah, ah." Nayli menarik napas panjang, lalu diembuskan perlahan. Dia menatap kamarnya yang tampak berantakan. Nyaris semua baji di lemarinya berpindah ke ranjang. Ada sebagian pakaian dia masukkan ke koper yang sudah bertengger di sisi lemari.

"Lo tugas beresin kamar gue, ya. Kelamaan kalau gue yang beresin, takut ketinggalan pesawat." Nayli melirik arloji yang melingkar di tangan kiri. "Kita berangkat sekarang, ya."

Meysa mengangguk. Dia turut bangkit, meraih tas selempangnya yang sejak tadi tergantung di kepala ranjang. Kebaya seragam bridesmaids telah tanggal, berganti kaus biru muda dipadukan dengan jeans putih. Rambutnya tadi sempat disanggul, sengaja digerai dan membiarkan angin menggoyangkan setiap helainya.

Nayli hampir lupa. Dia mematut sebentar penampilannya hari ini. Tak jauh beda dengan Meysa. Hanya ditambah outer tanpa lengan motif garis-garis putih, rambut dikucir kuda. Tak memakai riasan, hanya dipoles basic skin care saja tadi selepas mandi.

***

"Iya, Ma. Nggak apa-apa, kok, nggak anter Nay ke bandara."

Telepon menempel di telinga kanan Nayli. Dia bergerak mondar-mandir di hadapan Meysa, membuat sahabatnya itu berdecak kesal.

"Iya, Ma. Lagian ada Meysa di sini, kok. Kalau Mama malah ikut ke bandara, kasihan Fara. Nggak enak juga sama tamu, masa mamanya nggak ada."

Nayli terkekeh pelan mendengar gerutuan sang mama di seberang telepon. Dia ingin egois sebenarnya, ingin diantar kedua orang tuanya ke bandara. Hanya saja, dia mementingkan perasan Fara. Lagi.

Terdengar suara pemberitahuan kalau pemberangkatan ke London setengah jam lagi. Nayli harus bergegas masuk melewati beberapa pengecekan yang pastinya panjang dan memakan waktu beberapa menit.

"Ya udah, Ma. Aku mau masuk dulu. See you." Nayli memutus sambungan lebih dulu.

"Gih, masuk!" titah Meysa begitu Nayli mendekat.

Nayli mengangguk dia menarik dua koper, yang satu besar dan satu lagi berukuran kecil. Langkahnya perlahan menjauhi Meysa usai tadi mereka berdua berpelukan beberapa saat. Hingga dia melewati pemeriksaan pertama, barulah Meysa beranjak dari tempatnya. Meninggalkan bandara menuju rumah Nayli. Ada tugas beres-beres yang harus dia selesaikan.

***

Nayli tersenyum senang. Dia dapat kursi tepat di samping jendela. Naik transportasi apa pun, dia selalu senang duduk di dekat jendela. Asyik melihat hal apa pun yang dilewati. Dan kali ini, doa Nayli sejak semalam akhirnya terkabul.

Ada dua penumpang pasangan ibu dan anak di sebelah Nayli. Dia mengangguk seraya bergumam permisi sewajtu melewati mereka dua, barulah dia bisa duduk dengan nyaman. Ransel mini warna cokelat telah berpindah ke pangkuannya.

"Hah." Dia mendesah panjang. "Saat pesawat ini lepas landas, saat itu pula aku berharap perasaanku ke Arya benar-benar lepas. Dan saat aku kembali dari London, berharap ada perasaan baru yang lebih indah. Dongeng lamaku sudah berakhir. Sudah saatnya aku membuat dongen indah dengan akhir bahagia."

Nayli menatap langit yang masih cerah secerah harapannya akan masa depan, padahal hari mulai sore. Mentari pun hampir berada di ufuk timur.

"Liburan, Mbak?" tanya si Ibu di sebelah Nayli.

Nayli sontak menoleh saat suara  seseorang masuk ke gendang telinganya. Dia mengangguk, lalu tersenyum.

"Sendirian?"

Lagi, Nayli mengangguk tanpa sepatah kata.

Tampak si ibu melayangkan tatapan menilai, menatap Nayli dari atas dari bawah.

"Harusnya kalau perempuan itu ke mana-mana ditemenin. Jangan sendirian. Ibu gak pernah tuh, ngelepas anak perawan satu-satunya pergi sendiri. Nih, sekarang aja Ibu anter ke London buat kuliah." Si Ibu dengan wajah angkuh, sombong, tatapan sinis menatap Nayli.

Nayli jengah. Dia tak ingin menimpali sebenarnya, tapi bibir mendadak gatal ingin menyahut.

"Oh, begitu ya, Bu. Kalau begitu, Mama saya nggak pernah, tuh, nyinyirin anak perawan dari keluarga lain. Saya juga menjaga kepercayaan orang tua baik-baik. Terima kasih atas kekhawatiran Ibu."

Tak kalah sinisnya senyuman terpatri di bibir Nayli. Dia merasa menang telak, si Ibu tak lagi menyahut setelah mendelik dan mengganti posisi duduk dengan putrinya yang tadi di paling sisi.

"Hobi kok nyinyir hidup orang lain," komentar Nayli, lirih, saat membuang muka ke samping, menatap jendela.

Saat melamun beberapa saat, tiba-tiba ponsel di tasnya bergetar sebentar. Nayli bergegas mengambilnya dan melihat ada satu pesan masuk dari nomor baru.

Nay, aku minta maaf. Tolong, jangan benci aku.

Tepat di saat Nayli melipat bibir ke dalam sebagai respons atas pesan dari Arya, terdengar suara pemberitahuan kalau pesawat akan segera lepas landas. Ponsel Nayli langsung dia mode pesawat 'kan, kemudian memasang earphone untuk mendengarkan musik selama perjalanannya yang menghabiskan waktu sampai sehari satu malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status