Share

Hari Wisuda

“Nay, ayo! Nggak enak sama Tante Ani, loh, kalau telak,” teriak Mia dari ruang keluarga.

Terdengar suara pintu dibuka dari lantai dua. Tak lama, Nayli melangkah pelan menuruni satu per satu anak tangga sampai di hadapan sang mama yang menyambutnya dengan senyuman.

“Anak Mama selalu cantik. Nggak kayak ....” Dibelainya surai hitam legam Nayli yang dia biarkan tergerai indah hari ini.

“Perempuan di rumah ini cantik semua, Ma,” sahut Nayli, seolah menekankan bahwa Fara juga pantas dipuji.

Mia mendelik. “Tuan putri Mama sangat baik.”

“Ma, cukup. Jangan perpanjang lagi, ya. Ini masalah antara aku, Fara sama Mas Arya. Itu pun semuanya sudah selesai. Jadi, Nayli mohon sama Mama. Jangan berubah sikapnya sama Fara. Dia juga anak Mama walaupun tidak lahir dari rahim Mama. Fara tetap adik kandung aku, walaupun kami beda ibu. Oke, Ma?”

Nayli cukup lelah juga melihat sikap sang mama sejak kejadian tempo hari. Dingin, sinis setiap kali ada Fara. Padahal, dulu sangat hangat. Dia pun kasihan saat tak sengaja mendengar tangisan Fara di taman belakang.

Nasi memang sudah jadi bubur. Nayli memang benci, tetapi ikatan batin antara dirinya dengan Fara membuatnya tak tega untuk terus menghakimi perempuan itu.

“Ya udah, Ma. Kita ke tempat Tante Ani sekarang. Nggak sabar juga lihat baju buat wisuda. Takut nggak pas di badan aku.”

Mia menatap Nayli sejenak, menelisik penampian sang putri dari atas sampai bawah. Kantung mata, mata tampak lelah, pipi tirus, tubuh mulai kurus.

“Jangan makan hati lagi, tapi makan nasi yang banyak. Kamu perlu kembali ke kehidupan kamu yang normal. Mama nggak suka lihat kamu hancur kayak gini,” pungkas Mia, lebih dulu melangkah ke luar rumah, disusul Nayli yang menghela napas pelan.

***

Lulus sebagai mahasiswi terbaik tahun ini di jurusan Hubungan Internasional, membuat semua keluarga bangga. Senyum terus terukir di bibir Nayli dari awal acara sampai akhir. Rasa syukur terus terucap di hatinya, berterima kasih pada Tuhan yang telah mempermudah segala halnya sampai menyandang gelar sarjana.

Baju toga telah tanggal dari tubuh Nayla. Tampak kebaya biru tua selutut dengan motif 3D warna emas serta bawahan batik cokelat melekat ditubuhnya yang jenjang. Dia terlihat sangat anggun, riasan di wajahnya membuat Nayli semakin cantik. Jalannya penuh kehatian-hatian, takut heels yang tak biasa dia kenakan membuatnya jatuh.

Setelah puas berfoto dengan kawan-kawan sejawatnya semasa kuliah, Nayli beniat menemui keluarganya yang katanya sudah menunggu di parkiran.

“Nay, gue ke rumah lo besok aja, ya. Nanti malam mau makan-makan bareng keluarga dulu,” ujar Mey, membuat Nayli berhenti melangkah.

Nayli menoleh, lalu mengangguk. “Iya, Mey. Lo harus luangin waktu bareng keluarga juga. Bukannya hobi main ke rumah gue.”

“Gue nggak apa-apa padahal, nggak perlu lo intilin terus, nggak perlu dijagain terus,” lanjut Nayli lagi, seraya cengengesan.

“Lo nggak perlu sandiwara di depan gue. Tanpa lo bilang pun, dari sorot mata, gue mengerti apa yang lo rasain. Jadi, tolong. Nggak usah jadi pembohong andal di depan orang yang kenal lo lebih dari satu dekade ini.”

Meysa menepuk bahu kanan Nayli pelan. Kemudian, dia pergi lebih dulu setelah mendapat panggilan masuk di ponselnya. Sang mama sejak tadi sudah menerornya untuk segera datang ke parkiran.

Sempat tercenung beberapa saat, kesadaran Nayli kembali dia raup kembali. Dia tersenyum hambar melihat pantulan wajahnya di layar ponsel.

“Menjadi kuat agar tak membuat orang-orang terkasih tidak khawatir, bukan sebuah kejahatan, bukan?” ujarnya saat mengambil langkah lagi. Tungkainya terayun tak terlalu bebas, sedikit sempit. Berhubung rok batiknya membuat Nayli kehilangan kebebasannya melangkah.

Sampai mobil keluargnya terlihat, pun kedua orang tua, Fara dan Arya ada di sana, Nayli otomatis terhenti.

Orang yang sangat tidak ingin Nayli lihat, kenapa harus datang? Tak sedikit pun Nayli berharap Arya datang hari ini. Bahkan, sampai memegang buket bunga yang dipastikan untuk Nayli. Ingin kabur, rasanya tak mungkin. Sang mama lebih dulu menyadari kehadiran Nayla, malah memanggil namanya dengan bangga.

Mau tak mau, Nayli melanjutkan langkahnya lagi sambil menebar senyum. Beberapa adik tingkat yang dia kenal tak sengaja lewat, lalu menyapa. Dan senyum itu, tak luntur sampai di hadapan sang mama.

“Kita ke studio foto sekarang aja, ya,” usul Adam, langsung memutari mobilnya hingga ke pintu kemudi.

Nayli mengangguk. Sejauh ini, dia masih baik-baik aja dengan Mia di sampingnya yang serta memeluk dengan erat.

“Nay,” panggil Arya, kemudian. Dia sejak tadi berdiri di belakang Fara, berjalan dua langkah lebih dekat dengan Nayli. Lantas, menyodorkan buket buka pada gadis yang masih menjadi pemilik takhta kerajaan hatinya.

“Makasih, Mas,” sahut Nayli, sambil menerima buket bunga tersebut. Dia melirik Fara, sang adik malah menunduk.

Nayli mengukir senyum penuh arti. Kedua orang tuanya masih menjadi penonton, walaupun Mia sudah siap memaki Arya.

“Bunga ini Mas Arya sudah kasih ke Nay. Itu berarti sudah jadi milik Nay.” Nayli melepas tangan sang mama yang melingkar di perutnya. Dia beralih mendekati Fara yang asyik menggoyangkan ujung sepatunya. “Bunga ini aku kasih ke Fara sebagai hadiah atas bayi di kandungannya.”

Spontan Fara mendongak, menatap sang kakak tak percaya. Matanya berkaca-kaca, pandangannya mendadak kabur.

“Jagain ponakan Mbak, ya, Fara. Dia harus kuat, sama seperti ibunya.”

Tolong jangan nangis, Nay. Sayang riasan lo kalau luntur, belum foto studio, lanjut Nayli, dalam hati.

Alih-alih mengambil bunga pemberian Nayli, Fara malah memeluk Nayli erat. Isak tangis lolos dari bibirnya. Dia sama sakitnya, dia sama kecewa akan dirinya sendiri yang telah menyakiti banyak orang. Terutama Nayli, sosok malaikat pelindung dirinya dari kecil sampai sekarang.

“Mau bagaimanapun, kamu tetap Faradila. Adik kecil Mbak yang selalu Mbak jaga. Maafin Mbak, ya, Fara,” bisik Nayli. Mati-matian dia menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk.

Maskara bisa tumpah ruah ke pipi, Nay, kalau lo nangis, batinnya.

Fara menggeleng pelan. Hatinya semakin teriris saat mendengar kata maaf dari Nayli. Dia yang salah. Tak seharusnya sang kakak sampai meminta maaf atas kesalahan yang tak diperbuat.

“Fara yang minta maaf ke Mbak Nay. Harusnya Fara balas segala kebaikan Mbak dengan baik, tapi ....”

Nayli langsung menyela, “Mbak gak pernah berharap balasan apa pun dari kamu, Fara. Kita saudara, nggak seharusnya merasa terhutangi atas kebaikan.”

Nayli harap, selepas ini, hatinya lebih lega dalam menerima takdir. Lusa nanti, Fara menggantikan posisinya sebagai istri dari Arya yang seharusnya dia sandang.

Sempat menatap langit yang tampak cerah, Nayli berucap dalam hati, Tuhan, berikan secepatnya pengganti yang bisa menjadi obat penyembuh untuk luka ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status