Leonardo menggeleng, pria itu sama sekali tidak mengerti mengapa Rosea marah kepadanya. “Mau kamu sebenarnya apa? Aku jadi teman Prince atau menjadi pengasuhnya?” Rosea mempertegas pertanyaannya. Leonardo terdiam untuk sesaat, pria itu memikirkan kata yang pantas harus dia ucapkan kepada Rosea agar tidak salah. “Sudah aku katakan sejak awal, Prince membutuhkan teman. Namun aku juga ingin kamu membimbing dia dalam berinterasi dengan orang yang baru di kenalnya, aku ingin kamu mendorong rasa percaya dirinya.” “Bagaimana aku mengajarkan Prince berinteraksi jika kamu melarang aku membawa dia pergi keluar?” Rosea menunjuk document yang sudah di bacanya. Rosea tidak suka dengan peraturan yang tidak masuk akal dan membuat Prince seperti seekor burung cantik yang di kurung dalam sangkar emas. Burung itu bisa terbang, namun jika terlalu di kekang dalam sangkar, suatu saat nanti ketika dia di lepaskan, dia tidak akan pernah bisa terbang jauh dengan kuat seperti burung lainnya. Leo mengerja
Rosea mengemudi pelan mengikuti mobil yang di tumpangi Leonardo. Bola mata Rosea bergerak menyisir setiap sudut tempat begitu dia memasuki wilayah perumahan tempat Leonardo tinggal, Rosea dapat melihat beberapa gedung berdiri kokoh di antara bangunan. Kendaraan-kendaraan mewah bergerak ke sana kemari berkeliaran seakan memberitahu jika tempat ini memiliki kelas tersendiri. Luas lautan dapat Rosea lihat, bahkan ada beberapa jetski café yang berlayar, rumah-rumah berdiri dengan sangat indah di sisi lautan, tidak jarang ada banyak kapal-kapal pesiar pribadi yang terparkir di depan rumah dan belakang rumah. Suasana hijau tumbuhan, biru lautan yang bersih dan peletakan bangunan yang indah sangat memanjakan mata Rosea. Pandangan Rosea mengedar melihat ke sana kemari kehilangan fokus, wanita tidak berhenti menganga karena untuk pertama kalinya melihat suasana Jakarta yang terasa seperti di Belanda. Tidak berapa lama Rosea berhenti mengemudi begitu mobil yang di tumpangi Leonardo melewa
“Sea, ayo” Ajak Prince yang kini sudah berdiri di sebrang. Rosea melongo kehilangan kata-kata karena terpukau dengan semua pemandangan yang di lihatnya mala mini. Dress yang di kenakan Rosea berkibar tersapu angin, kaki Rosea menggigil kedinginan. Rosea melihat tangan Leonardo yang terulur hendak memberikannya bantuannya untuk menyebrang. Rosea menelan salivanya dengan kesulitan, wanita itu masih sangat sungkan dengan kebaikan dan kedekatan dirinya bersama Leonardo dan Prince yang baru da kenal. “Memangnya aku boleh makan bersama kalian?” bisik Rosea takut. Sorot mata Leonardo yang kebiruan itu menggelap, pria itu terlihat tidak begitu senang mendengar pertanyaan Rosea. Leonardo membungkuk, mendekatkan wajahnya dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Rosea. Sesaat Leonardo menarik napasnya dalam-dalam mencium white musk di rambut Rosea yang kini mulai familiar di indra penciumannya. Aroma lembut itu kin bercampur dengan aroma laut yang berhasil memunculkan sebuah pikiran nakal
Masih dengan kebingung yang sama, Prince mengangguk mengiyakan permintaan Leonardo. Rosea tertunduk menyembunyikan senyuman gelinya membayangkan seberapa protektifnya Leonardo menangani Prince jika nanti puteranya mulai tumbuh dewasa. “Ayah, apa aku boleh mengajak Sea ke kamarku? Ada yang ingin aku tunjukan kepadanya,” tanya Prince setelah selesai menyelesaikan makannya. “Tanyakan kepada Sea, apa dia bersedia atau tidak.” “Apakah Sea mau melihat kamarku?” tanya Prince penuh harap. Rosea mengangguk setuju. “Ayo Sea,” ajak Prince melompat turun dari tempat duduknya, anak itu mengulurkan tangannya dan dengan cepat cepat Rosea menerimanya. mereka berdua segera pergi turun dari kapal, memasuki rumah. Leonardo masih tetap duduk di tempatnya memperhatikan bagaimana Prince membawa Rosea masuk ke dalam rumahnya. Pria itu sedikit tersenyum, dia merasa senang karena setelah sekian lama tidak melihat Prince seceria itu dengan tamu yang datang ke rumahnya. Senyuman Leonardo memudar dan
“Ehem, Sea” Prince berdeham malu dan tertunduk gugup “Aku, apakah aku boleh peluk Sea?” tanya Prince terbata. Rosea tertegun untuk sesaat, suara lembut Prince yang meminta sebuah pelukan berhasil menyentuh hati terdalamnya. Naluri Rosea sebagai seorang wanita yang sudah dewasa berhasil di rebut oleh Prince. “Boleh” Rosea segera membuka tangannya, menerima Prince yang bergeser semakin mendekat dan memeluknya. Sudut bibir Rosea terangkat membentuk senyuman, merasakan pelukan erat Prince di pinggangnya yang terasa memiliki makna yang berbeda. Perhatian Rosea teralihkan pada tumpukan rubik yang berada di dalam salah satu kotak lemari mainan. Perlahan Rosea melepaskan pelukannya dan berkata, “Kamu suka rubik?” tanya Rosea. Prince megangguk. “Ayah memberikannya untukku setelah pulang dari Hongaria, tapi aku tidak bisa memainkannya karena sulit. Jadi, aku memberikan satu persatu rubik yang aku punya pada teman di sekolah ketika mereka mau membantu mengerjakan tugas sekolahku,” cerita P
Ketika Leonardo datang kamar Prince, rupanya Prince sudah tidur. Prince meringkuk ketiduran dengan buku dongeng pemberian Rosea di tangannya. Dalam langkah hati-hati Leonardo bergerak menyiris ke setiap penjuru kamar. Leonardo tengah memastikan kondisi alat-alat penyadap suara dan cctv yang tersembunyi di kamar Prince itu masih aman tanpa tanpa tergeser sedikitpun. Leonardo sengaja memasang alat rahasia itu untuk memeriksa kondisi Prince setiap kali dia dinas ke luar negeri sendirian. Leonardo juga harus tahu apa yang terjadi kepada puteranya jika ada orang lain yang masuk ke dalam. Perlahan dan hati-hati Leonardo mendekati ranjang Prince. Leonardo membungkuk, mengambil buku Prince dan menyimpannya di atas meja. Leonardo menarik selimut untuk menutupi tubuh Prince. Tanpa sengaja tangan Leonardo menyentuh handpone yang tergeletak di antara lipatan selimut. Leonardo mengambilnya, pria itu langsung menyadari bahwa itu adalah handpone Rosea. Leonardo terdiam, teringat jika malam i
Rosea segera menutup pintu, wanita itu menatap tajam Frans yang tengah duduk di kursi tengah bersantai sambil memakain beberapa cemilan. “Pacar baru?” Frans menanyakan Leonardo. “Tadi, kamu tidak sopan Frans.” Tegur Rosea. “Iya.. maaf maaf.” Frans, dia adalah adik kandung Karina. Frans masih sangat muda dan masih menjalani pendidikannya di Singapore, Frans tumbuh di luar negeri dan hanya datang ke Indonesia dalam waktu dua bulan sekali. Frans dan Rosea memiliki hubungan yang sangat dekat, mereka sudah seperti adik kakak, teradang Rosea juga menjadi tempat pelarian Frans setiap kali dia memiliki masalah. “Kunci mobilnya di atas meja, pulang langsung sana,” usir Rosea begitu saja. “Kok begitu? Aku kan baru datang dan mau nginap di sini.” Cemberut Frans tidak mempedulikan tatapan tajam Rosea. Frans tidak pernah takut dengan kemarahan Rosea. Segalak-galaknya Rosea, dia hanya akan mengomel lalu diam. Sementara Karina kakaknya, Karina akan mengeluarkan smackdown dan menjambak rambut
Di keramaian Pesta, banyak orang yang berkumpul, banyak wajah baru yang Rosea lihat, dan ada beberapa orang yang dia kenal. Kini, Rosea tengah berbicara dengan seorang pria, mereka berdiri di sisi sebuah meja bar, keduanya terlihat dekat satu sama lainnya. Pria itu tidak berhenti menatap Rosea yang sudah lama tidak di lihatnya, dia tersenyum beberapa kali memperhatikan setiap Rosea berbicara. “Sudah berapa lama kita bertemu? Aku kaget banget kamu pindah ke sini,” ucap Aarav. Rosea memutar-mutar gelas kecil di atas meja, “Mungkin setengah tangun yang lalu.” Aarav tersenyum menatap lekat, “Aku pikir kita enggak bakal ketemu lagi.” “Bukankah aku yang harusnya berpikir begitu? Aku dengar kamu pindah ke Surabaya” balas Rosea dengan tenang. Aarav mengedarkan pandangannya, terdengar suara napasnya yang berat keluar dari mulutnya begitu dia kembali melihat Rosea di sampingnaya yang bersikap begitu biasa saja, sementara Aarav masih menyimpan banyak rasa untuk wanita itu di dalam hatinya