"Sayang.."Suara Kanaya sontak membuat Alan terkejut dan spontan mengakhiri panggilannya dengan Kimberly. Pria itu menatap tajam ke arah kekasihnya. Entah mengapa Alan berharap agar Kimberly tak mendengar panggilan 'sayang' dari Kanaya untuknya."Apa aku harus menulis pesan agar mengetuk pintu lebih dulu bagi yang ingin masuk kesini?" sarkas Alan.Kanaya tampak kesal namun masih berusaha menyembunyikannya."Maaf, aku tidak tahu kalau kau sedang bicara di telepon. Kau bicara dengan siapa?" tanya Kanaya yang pura-pura tak tahu."Kimberly," jawab pria itu.Kanaya tertegun sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang membuatnya kesulitan menelan saliva. Tenggorokannya tercekat saat Alan menyebut nama Kimberly.'Kenapa dia tak bisa berbohong? Aku harap kau berbohong, Alan. Karena kejujuranmu menyakitiku.'"Kim? Bagaimana kabarnya?"Kanaya mengulas senyum yang nampak canggung di mata Alan. Meski sedikit mengernyit, namun pria itu mengindahkannya. Alan memilih untuk tak peduli dengan kecanggungan di
Alan terdiam menatap Kanaya yang raut wajahnya tampak menunggu jawaban dari mulut pria itu. Dada kanaya terlihat kembang kempis, Alan yang tadinya ingin kembali berucap keras mengurungkan niatnya.Pria itu menghampiri Kanaya yang mulai terlihat tak bisa mengendalikan emosinya. Alan dengan sigap menopang tubuh kekasihnya yang hampir tumbang. Kanaya memiliki riwayat gangguan pernapasan, jika emosinya tak stabil napasnya akan terasa tersengal dan itu bisa menyebabkan perempuan itu kesulitan bernapas."Duduklah, Nay!"Alan menggiring tubuh kekasihnya ke sofa. Kanaya sempat menolak dengan gerakan tubuh yang menepis pelan tangan Alan. Namun Alan tetap menggiring tubuh wanita itu ke sofa."Dimana kau taruh obatmu?"Alan meraba stellan baju yang dipakai Kanaya. Biasanya gadis itu selalu membawa ventolin inhaler di sakunya. Sesak napasnya bisa terjadi kapan saja, jadi Kanaya harus selalu membawa alat itu."I-- ini.."Kanaya mengambilnya dari saku celana yang ia pakai.Alan langsung membantu Ka
DUA TAHUN YANG LALU.."Pa, coba tanyakan pada puterimu, dimana ia mau merayakan ulang tahunnya."Merli terlihat dongkol dengan sikap puterinya yang terlalu santai saat satu bulan lagi ulang tahunnya yang ke 18 akan tiba. Wanita cantik berusia 40-an itu memang menjadi orang paling sibuk setiap hari lahir Kimberly. Ia selalu ingin mengadakan pesta mewah untuk sang puteri, namun bukan sekedar untuk menyenangkan gadis itu. Merli hanya senang berpesta dengan teman-teman sosialitanya. Meski tema dari pesta tersebut adalah pesta ulang tahun Kimberly, namun pasukan yang paling heboh adalah wanita-wanita paruh baya sahabat sang ibu."Kau mau merayakan ulang tahunmu dimana, Kim? Ke luar negeri?" Pertanyaan sang ayah membuat Kim antusias, padahal sejak awal gadis itu tak bersemangat untuk mengadakan pesta apapun terkait ulang tahunnya."Aku boleh merayakannya di luar negeri, Pa?""He em. Terserah. Kau pilih saja negara mana yang ingin kau datangi. Tapi jangan mendadak, karena papa harus--"San
Alan sudah kembali melajukan mobilnya menuju mansion. Malam yang cukup berangin dan pendingin di bentley milik pria itu rasanya tak cukup menghilangkan aura panas yang menelusup diantara dua manusia yang hanya membisu sejak meninggalkan gerai pizza. Kimberly membuang pandangannya pada kaca mobil, sedang Alan hanya fokus menatap jalan meski debaran jantungnya terasa tak beraturan. Lelaki itu masih mencoba bersikap datar walaupun wajahnya terlihat kaku dan salah tingkah.*SETENGAH JAM YANG LALU.."Kim.."Tanpa sadar Alan berseru lembut menyebut nama Kimberly tepat di depan wajah gadis itu. Matanya hanya terfokus pada bibir mungil yang terbelah di bagian bawah. Bibir ranum nan menggemaskan itu seketika mengaburkan kesadaran dan akal sehat Alan. Sedang Kimberly justeru hanya menampakkan wajah bodoh dengan diam terpaku, tak menghindar sedikit pun dari tatapan lamat manik hitam legam itu.Cup..Seketika iris mata Kimberly membelalak dan mulutnya sedikit menganga. Pria yang sudah lama menja
Cahaya mentari pagi menelusup menembus jendela kamar Kimberly yang tak tertutup gorden. Sinarnya cukup menyilaukan mata seorang gadis yang masih duduk termangu di atas ranjangnya. Beberapa menit yang lalu Kim sudah terbangun karena terganggu oleh cahaya yang langsung mengarah ke tempat tidurnya, namun kini gadis itu justeru terduduk seperti orang yang tengah mengingat-ingat sesuatu."Rasanya-- seperti nyata. Tapi.. apa aku hanya bermimpi?"Sejak tadi Kimberly hanya menyentuh bibirnya sendiri. Antara sadar dan tidak, gadis itu remang-remang mengingat saat Alan mengecupnya semalam. Kim merasakannya, namun karena rasa kantuk yang sangat, ia tak mau membuka matanya untuk sekedar mencari tahu bahwa kecupan itu nyata atau hanya dalam mimpi."Aku yakin semalam itu.. berarti.. dia sudah menciumku dua kali," gumam gadis itu dengan wajah sumringah.Bak anak remaja yang mendapat kado terindah di usia 17 tahun, gadis itu tertawa bahagia dengan melompat lompat di atas ranjang. Satu yang Kimberly y
"Brengsek! Buka pintunya! Ku bilang buka pintunya, Brengsek!"Sudah lebih dari satu pekan Borne terkurung di istananya sendiri. Erika berinisiatif mengurung puteranya agar tak lagi menemui Kimberly."Nyonya, apa tidak sebaiknya tuan muda dikeluarkan dari kamarnya. Sudah beberapa hari dia tak makan apapun."Salma, pelayan sekaligus pengasuh Borne saat kecil merasa cemas melihat keadaan tuan mudanya yang tengah melancarkan mogok makan. Terhitung sudah tiga hari Borne menolak untuk makan makanan yang dibawakan ke kamarnya. Sebelum dikeluarkan dari kamar, pemuda itu akan terus membuat keributan. Teriakan Borne sudah terdengar sejak pagi. Suara yang pada awalnya lantang perlahan-lahan melemah karena tubuhnya yang tak bertenaga."Jangan coba-coba mengeluarkan anak bodoh itu dari kamarnya, Bi. Kita tak boleh kalah dengan gertakannya. Aku yakin sebentar lagi anak itu akan berteriak minta dibawakan makanan ke kamarnya."Erika adalah wanita keras yang tak mau kalah meski dengan puteranya sendir
DUA TAHUN YANG LALU.."Ma, papa belum pulang?""Belum. Mungkin masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Papamu itu sedang mengerjakan proyek besar, jadi sepertinya beberapa hari ini dia akan pulang telat, Sayang."Meski sering berdebat karena perbedaan pendapat, tapi Kimberly dan ibunya tak jarang tampak akrab. Mereka selalu punya waktu untuk berbincang bersama layaknya sepasang sahabat."Kau yang buat papamu jadi sibuk akhir-akhir ini!"Tiba-tiba Merli mengatakan hal yang membuat kening Kimberly mengernyit."Aku? Bagaimana mungkin?" Kimberly tak terima dengan pernyataan ibunya."Ya. Karena kau yang minta ulang tahunmu dirayakan di San Fransisco. Jadi papa harus mengejar proyeknya selesai sebelum kita berangkat kesana," ujar sang ibu kemudian.Mulut Kimberly mengerucut. Meski tak terima disalahkan sepenuhnya, namun ia sadar keinginannya untuk datang ke San Fransisco memang membuat sang ayah mengejar dead line pekerjaannya.*"Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba kau minta aku dan Kim
'Aku mencintaimu, Om. Aku mencintaimu.. sangat mencintaimu.'Alan terus saya tersenyum sendiri saat mengingat betapa frontalnya ungkapan cinta Kimberly yang terus saja digaungkan. Gadis itu seperti tak pernah merasa malu dan lelah ketika mengucapkan kata cinta pada pamannya."Kau memang gadis yang unik, Kim.."Alan berbicara seraya menatap wajah gadis yang tertidur pulas di sofa ruang kerjanya. Alih-alih menemani Alan bekerja, nyatanya Kimberly justeru tertidur di sofa hanya dalam beberapa menit duduk disana.Drt..Drt..”Boni Brahmaja akan mengadakan konferensi pers besok pagi, Tuan. Apa Anda akan datang untuk melihatnya?”Alan tampak serius membaca pesan dari asistennya. Ia tak berniat membalas pesan dari Mike, namun pria itu justeru mendial nomor sang asisten dan menelponnya.”Minta satu anak buah kita datang kesana. dan berpura-pura menjadi seorang reporter.”Ia hanya menitahkan perintah pendek namun Mike sudah dapat memahami maksud tuannya. Mike yang baru dua tahun menjadi asiste