"Kimberly, ada yang mencarimu!" seru seorang waitress dengan suara sedikit lantang.
"Ya Tuhan.. kenapa hari ini aku disibukkan dengan orang-orang yang membuatku pusing. Siapa lagi yang mencariku?!""Apa kau kenal dengan orang yang mencariku, Jen?" tanya Kimberly pada gadis yang tadi berseru padanya."Mana aku tahu! Lagi pula kau tinggal lihat sendiri di depan. Pemuda itu tak mau dilayani selain denganmu, Kim. Hh.. jangan buat keributan lagi disini, Kimberly! Kau membuat kami sibuk beberapa minggu karena keributan bulan lalu."Jeni menampakkan wajah tak sukanya. Ia merasa kesal karena setelah keributan bulan lalu Cafe menjadi ramai pengunjung, akibatnya semua karyawan diminta lembur dan tak mendapat jatah libur.Kimberly keluar dari ruang khusus karyawan dan melangkah ke depan. Sekeras apapun ia memikirkan kiranya siapa orang yang ingin bertemu dengannya, namun tak ada nama selain Alan di otaknya."Tak mungkin dia, kan?" gumamnya seraya melangkah."Hai, My Princess."Lambaian tangan seorang pemuda membuat Kimberly terpaku tak melanjutkan langkahnya."Kau?"*"Ada apa kau kesini, Mike?"Alan bertanya tanpa menoleh pada anak buah yang diutus untuk menjaga Kimberly. Mata serta tangannya sedang serius dengan berkas proyek barunya."Ada pemuda yang menemui nona Kim. Apa saya harus mencari tahu latar belakangnya?" tanya Mike dengan santai.Alan berhenti dengan aktivitasnya menutup serta meletakkan begitu saja berkas yang tadi sangat serius ia amati."Pemuda? Menemui Kimberly?""Ya, Tuan.""Apa Kimberly tampak mengenalnya?" tanya Alan."Nona Kim terlihat senang bertemu dengan pemuda itu. Dia juga mengantar nona pulang bekerja. Mereka tampak akrab, sepertinya sudah mengenal lama--"Cukup! Kau terlalu banyak bicara Mike!" omel Alan.Mike tampak mengulas senyum tipis menangkap kegusaran di wajah tuannya. Pemuda itu terkadang sedikit usil. Ia tahu apa yang dirasakan oleh sang bos terhadap Kimberly, namun pria itu tak pernah mau mengakuinya."Cari tahu tentang pemuda itu! Aku takut dia ingin berbuat jahat dengan keponakanku!" kilah Alan.Sekali lagi Mike mengulas senyumnya, namun kini setipis tisu hingga Alan tak menyadarinya."Baik, Tuan!"Mike tak mau berlama-lama disana. Ia tak tahan melihat wajah bosnya yang langsung berubah panik."Dasar pembohong! Bilang saja kalau kau cemburu, Bos!" cetus Mike pelan.*"Kimberly, bukankah itu Borne? Pemuda yang sudah menyatakan cintanya padamu ribuan kali?"Naina menggoda sahabatnya saat melihat Borne di depan rumah kost mereka. Pemuda itu mengantar pulang Kimberly dengan mobil sport keluaran terbaru. Untung saja penghuni kost-kost an tempat Kim dan Naina tinggal masih belum semuanya pulang dari aktivitas mereka. Jika tidak, mungkin Kim akan menjadi bahan ghibah penghuni kost-kost an khusus wanita itu."Jangan berlebihan, Nai! Mungkin hanya ratusan kali, belum sampai ribuan."Kimberly membalas gurauan Naina dengan gurauan lagi. Keduanya tampak tertawa terbahak-bahak."Tapi, Kim, bukankah Borne sedang kuliah di luar negeri? Terakhir yang ku dengar dia kuliah di Australia.""Heeeeei.. kau update sekali dengan kehidupan Borne, Nai. Jangan-jangan--"Iiiish... kau ini apa-apaan, sih! Jangan menggodaku!"Wajah Naina langsung menyembulkan kemerahan. Gadis itu berusaha menyembunyikan rasa gugup dan malu saat Kimberly menggodanya."Kau menyukainya?" tanya Kimberly yang kini berwajah serius."Ck.. jangan gila Kim! Sejak dulu Borne hanya mencintai satu gadis di hidupnya. Kau!" cetus Naina yang berusaha mengalihkan kegugupannya dengan senyum tipis."Aku tak bertanya tentang Borne, Nai. Aku bertanya tentang perasaanmu, apa kau menyukai Borne?""Sudahlah! Aku mau mandi. Ocehanmu itu membuat tubuhku gatal-gatal, Kim."Naina melangkah menuju kamar mandi setelah meraih handuknya. Ia meninggalkan Kimberly sendirian tanpa menjawab pertanyaan gadis itu."Dia menghindar!"*Tengah malam, tepatnya pukul dua dini hari, Alan masih berada di ruang kerjanya. Pria itu masih membolak balik map coklat berisi data pemuda yang ia minta dari Mike.Perlahan Alan membukanya, menarik secarik kertas putih dari dalam map. Ia membaca dengan seksama, semua data yang ada di kertas itu tentang Borne."Putera tunggal keluarga Brahmaja. Ternyata kau teman sekolah Kimberly, Borne Arial Brahmaja."Wajah Alan menatap tembok putih di depan namun pikirannya menerawang. Ia sangat mengenal keluarga Brahmaja. Salah satu pengusaha yang kini mulai merasa terancam dengan kedatangan pria itu.Alan baru merintis usahanya dua tahun lalu di negeri ini. Perusahaan inti yang juga warisan dari orang tuanya berbasis di negeri Sakura. Ia telah membangun cabang di beberapa belahan dunia, dan baru dua tahun belakang memiliki ide untuk membangun cabang di negeri asal ibunya. Bukan serta merta tanpa alasan, dan alasan kuat yang membuatnya kembali ke negeri ini adalah Kimberly Batara, sang keponakan yang empat tahun lalu membuatnya sadar jika terjadi sesuatu di hati pria itu.*Beberapa hari ini Borne sangat rajin mendatangi Cafe tempat Kimberly bekerja. Walau tak bisa berbincang sepanjang waktu dengan gadis yang masih saja setia singgah di hati pemuda itu, namun Borne tak nampak bosan melihat Kimberly wara wiri di hadapannya melayani pelanggan yang datang. Meski begitu, justeru gadis itulah yang merasa tak nyaman dengan kehadiran Borne setiap hari disana. Tentu saja ia merasa pekerjaannya selalu diawasi, dan teman-teman kerjanya sudah mulai berbisik membicarakan hubungan Kimberly dengan Borne."Jangan datang setiap hari, Borne! Kau menggangguku!"Kimberly masih saja seperti saat SMA dulu, tak pernah bicara lembut dengan pemuda itu. Namun bukan Borne namanya jika langsung patah arang mendengar kalimat ketus dari mulut Kimberly."Aku tidak mengganggu pekerjaanmu, Kim. Aku hanya senang dengan makanan dan pelayanan di Cafe ini," cengir pemuda itu.Kimberly tak mendebat lagi, ia tahu itu hanya alasan Borne untuk selalu dekat dengannya."Hhh.. ngomong-ngomong, apa kuliahmu sudah selesai? Kenapa kau kembali kesini?" tanya Kimberly yang akhirnya turut penasaran."Hehehehe... aku kabur!" jawab Borne santai seraya menyuap steak ke dalam mulutnya."HAH? Uppss!"Kimberly refleks menutup mulutnya setelah berteriak. Ungkapan Borne membuat gadis itu terperanjak kaget."Kau gila! Kenapa harus kabur? Apa kau membuat masalah?""Tidak!" Borne menggeleng santai."Aku tak suka jauh darimu, Kim!" ungkapnya terus terang."Hhh..."Kimberly kembali menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi."Seharusnya aku tak perlu bertanya sesuatu yang sudah aku tahu jawabannya," cetus gadis itu seraya mencibikkan bibirnya.Lagi, Borne hanya menyelipkan sebuah cengiran absurd melihat sikap gadis pujaannya yang seperti tengah menyesal dan berputus asa.*"Borne, kau tak perlu mengantarku pulang setiap hari. Memangnya kau tak punya pekerjaan selain mengantarku pulang?"Meski sudah berada di dalam mobil sport berwarna biru metalik milik Borne, namun Kim masih saja protes dengan pemuda itu yang memaksanya mengantar pulang. Kim harus menerima ajakannya jika tak mau kembali membuat gaduh suasana Cafe. Gadis itu sedikit trauma dengan kegaduhan yang senyatanya ditimbulkan oleh Rea bulan lalu."Aku memang tak punya pekerjaan apapun selain menunggumu pulang, Kim. Aku ini seorang pengangguran," ucap Borne dengan menguar wajah minta dikasihani."Cih! Pengangguran yang memang sengaja menganggurkan diri. Mana ada pengangguran punya mobil sebagus ini!""Hahahha...""Borne awas!"Tak menyadari ada mobil yang berusaha menghadangnya, Borne langsung banting stir ke kanan agar tak terjadi tabrakan."BRENGSEK!"***"Apa-apaan ini? Kim--" Naina menoleh pada sahabatnya. Kimberly mengambil gawai Feby dari tangan Naina. Terbaca dengan jelas berita pernikahan antara Alan dan Kanaya yang akan dilangsungkan di San Fransisco Meski tanggal tetapnya tidak diumumkan, namun foto yang ditengarai adalah foto prewedding antara Alan dan Kanaya juga dilampirkan disana. "Ini." Kimberly menyerahkan ponsel Feby dan berlalu tanpa kata. Tak ada respon mengejutkan dari gadis itu, ia hanya menampakkan wajah datar dan dingin. "Pergilah," pinta Naina pada Feby "Kim.." "Itu tidak benar, Nai. Alan tidak mungkin menikahi Kanaya begitu saja. Aku tahu dia sedang marah padaku.. tapi dia bukan laki-laki pengecut yang akan meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apa-apa." Kimberly menghentikan sejenak pekerjaannya di wastafel dan tersenyum yakin pada Naina. Meskipun di hatinya tetap saja ada rasa mencelos saat melihat berita tadi. ** "Haha.. bener, kan gue bilang. Alan Satou cuma mau mainin gadis muda yan
"Kim, kau baik-baik saja?" "Hm? Heem.." Gadis berkulit kecoklatan itu tahu kalau sahabatnya tengah berbohong. "Kau bohong! Wajahmu mengatakan yang lain." "Aku baik-baik saja, Nai. Sungguh!" "Apa Alan belum mau bertemu denganmu?" Kimberly menggeleng lemah, "sepertinya dia masih marah padaku. Apalagi kudengar kondisi Kanaya masih mengkhawatirkan. Alan pasti merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi." "Hhh! Mengapa dia harus bertanggung jawab? Wanita itu yang melakukan hal bodoh! Ku kira gadis kaya akan lebih bertindak realistis, ternyata Kanaya hanya wanita melankolis yang bodoh!" Nayla bicara dengan ekspresi berapi-api. "Entahlah, Nai.. kadang aku merasa cintaku pada Alan tak sebesar cinta Kanaya padanya. Tapi berbuat bodoh seperti itu apa bisa disebut cinta?" "Tentu tidak, Kim! Kanaya adalah wanita kaya yang bodoh. Rela mengakhiri hidupnya hanya demi laki-laki yang jelas tak mencintainya." Pernyataan Nayla sekejap mengingatkan cintanya dengan Borne. Sebesar apapun ga
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d