"Awasi dan jaga keponakanku. Aku tak mau terjadi sesuatu seperti bulan lalu. Jika ada yang berusaha menyakitinya, kau boleh bertindak, Mike."
Alan memberi titah pada seorang anak buahnya untuk menjaga Kimberly."Baik, Tuan. Apa.. Anda mengijinkan nona Kim untuk kembali bekerja di Cafe itu?" tanya Mike, pria bertubuh tinggi besar dengan bulu menghiasi sebagian rahangnya."Aku tak bisa melarangnya. Kimberly adalah gadis keras kepala. Orang tuanya saja tak bisa membuatnya jadi gadis penurut," sahut Alan seraya membuang napas panjang."Tapi Anda bisa membuatnya menjadi gadis yang penurut, Tuan. Setidaknya mengikuti semua kata-kata Anda."Ucapan dan senyum tipis Mike membuat Alan mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud perkataan anak buahnya itu."Apa maksudmu? Aaah.. sudahlah! Ikuti saja perintahku Mike. Aku tak mau mendengar Kim terluka. Kau tahu itu, kan?"Mike kembali menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Meski baru satu tahun bekerja pada Alan, namun pria itu cukup memahami tuannya. Alan tak pernah seperhatian itu pada seorang perempuan, bahkan pada Kanaya yang berstatus sebagai tunangannya. Meski Kimberly adalah keponakan sang bos, namun mata pria itu tak bisa dibohongi. Binar yang tampak saat Alan menatap Kimberly bukanlah binar mata seorang paman terhadap keponakan, namun sorot mata itu lebih tampak seperti seorang pria dewasa yang tertarik pada wanita."Baik, Tuan. Saya permisi dulu." Mike segera keluar dari ruang CEO.*"Kim, aku kembali mempekerjakanmu disini karena kau gadis yang ulet dan cekatan. Tapi kau tahu, kan, aku tak mau lagi ada keributan di Cafe."Kimberly berada di ruang manager Cafe tempatnya kembali bekerja. Sudah beberapa hari sejak ia keluar dari mansion Alan, Kim kembali bekerja di Town Cafe. Naina, sang sahabat berhasil membujuk managernya untuk kembali menerima Kimberly disana. Meski dengan pertimbangan yang berat, mengingat terakhir kali kegaduhan yang terjadi akibat kedatangan Rea dan Alan ke Cafe itu, akhirnya sang Manager mau memberi Kimberly kesempatan lagi untuk bekerja disana.Sebenarnya kegaduhan yang disebabkan oleh Rea bulan lalu tak membuat Cafe merugi. Alan yang memberi pelajaran pada ajudan Rea mengganti semua sarana yang rusak akibat perkelahian mereka. Sempat masuk ke ranah media sosial karena ada seorang pelanggan Cafe yang merekamnya, membuat Town Cafe justeru kebanjiran pelanggan. Mereka yang penasaran dengan video yang beredar berbondong-bondong datang ke Cafe tersebut."Iya, Pak James. Saya tidak akan membuat keributan lagi disini. Trimakasih karena bapak mau menerima saya kembali disini."Kimberly menguar senyum tulus dari bibirnya. Gadis itu merasa senang karena tak harus capek-capek mencari pekerjaan lagi. Ia hanya memiliki ijazah SMA. Jaman sekarang, seorang sarjana saja kesulitan mencari pekerjaan, apalagi gadis sepertinya yang hanya lulusan SMA dan tak memiliki pengalaman."He em. Kembalilah ke bawah," titah James."Kimberly sedikit merunduk kemudian keluar dari ruangan James yang berada di lantai dua Town Cafe."Gadis yang malang," gumam James sesaat setelah Kimberly tak tampak lagi.Tak ada yang tak mengenali Kimberly disana. Wajahnya dua tahun lalu wara wiri di televisi dan sosial media. Bukan karena ia seorang aktris ataupun model. Tapi karena kasus suap yang menjerat Daniel Batara, sang ayah.Daniel terkena pasal penyuapan pada petinggi negeri ini untuk memuluskan proyeknya. Seorang pengusaha di negeri yang penuh dengan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme memang bisa dikatakan tak akan bisa berbisnis dengan bersih. Jegalan akan datang di setiap langkah mereka jika mencoba bermain bersih dan lurus. Sulitnya keluar surat ijin adalah salah satu kendala seorang pengusaha hingga mereka memutuskan untuk bermain di belakang. Itulah yang terjadi pada ayah Kimberly. Terbukti menyuap seorang petinggi negeri hingga diputuskan bersalah, pada akhirnya Daniel Batara harus meregang nyawa di meja operasi karena serangan jantung. Dan yang lebih memilukan adalah sang ibu yang tak bisa menerima kejatuhan dan cemoohan teman-temannya memilih jalan pintas dengan cara gantung diri di rumah sakit jiwa.*"Selamat datang--Kimberly yang hari ini bertugas menyambut pelanggan di pintu Cafe harus termangu setelah melihat satu pelanggan yang datang. Perempuan berambut blonde yang memakai dress bergaya klasik. Tea length dress, jenis gaun yang memiliki siluet full circle di bagian tengah betis yang terinspirasi dengan gaya vintage."Apa kabar, Kim?" sapa perempuan yang memiliki senyum mempesona itu."He em. Aku baik. Silakan masuk, Mba."Kimberly kembali menyapa pelanggan lain. Wajahnya kembali diisi dengan senyum ramah meski hatinya sedikit mencelos karena kedatangan Kanaya. Sekilas bayangan percumbuan antara pamannya dan Kanaya seakan menari di pelupuk mata gadis itu. Meski ia sudah berusaha untuk melupakannya, namun perisitiwa memuakkan itu terus saja mengganggunya."Aku-- ingin bicara denganmu, Kim..""Aku sedang bekerja, Mba. Jam kerjaku masih lama. Silakan mba pulang saja, lagipula tak ada yang penting untuk kita bicarakan."Kimberly menampakkan wajah tak senangnya. Gadis itu memang tak pernah bisa berbasa basi. Ia lebih memilih menghindari orang yang membuatnya tak nyaman daripada harus berpura-pura tersenyum menyambutnya namun hati teriris perih."Sebentar saja, Kim, sepuluh menit."Kanaya masih berusaha meminta waktu Kimberly. Entah apa yang ingin perempuan itu bicarakan, namun sepertinya apa yang ingin disampaikan oleh Kanaya adalah sesuatu yang menurutnya sangat penting."Hhh... masuklah! Aku cuma bisa meninggalkan pekerjaanku selama sepuluh menit, jadi sampaikan dengan jelas apa yang mau kau bicarakan," ucap Kimberly yang tak sadar kini sudah menggunakan bahasa non formal pada Kanaya.Kanaya tersenyum senang. Baginya tak masalah jika Kimberly hanya memberi waktu sepuluh menit padanya. Ia hanya harus mengatakan inti dari apa yang ingin ia sampaikan."Bicaralah, Mba. Apa yang membuat mba Kanaya datang kesini mencariku?" tanya Kimberly dengan wajah tak bersahabat."Aku-- ingin minta maaf atas kejadian kemarin. Aku tak tahu kalau kau biasa masuk ke ruangan Alan seperti itu, Kim."Permintaan maaf Kanaya justeru membuat Kimberly semakin muak. Perempuan itu tampak sengaja membuat Kim terpaksa mengingat saat-saat Alan menyesap bibir Kanaya dengan buasnya."Hhh, mengapa harus minta maaf? Bukankah aku yang harus meminta maaf karena mengganggu waktu mesum kalian?" Kalimat sarkas diucapkan Kimberly dengan sebuah seringai tipis dari bibirnya.Gadis itu tak mau menampakkan kecemburuannya meskipun Kanaya sudah lebih dulu bisa menangkap kecemburuan di mata Kimberly saat dirinya bersama Alan."Menyerahlah, Kim! Alan adalah tunanganku. Kami sebentar lagi akan menikah. Mencintai pamanmu sendiri adalah sesuatu yang mustahil dan tentu saja memalukan."Pada akhirnya Kanaya meluapkan keterusterangannya pada Kimberly. Kedatangan perempuan itu hanya untuk memprovokasi Kimberly agar menyerah terhadap cintanya pada Alan. Sejak kedatangan gadis itu di mansion Alan, dan dengan sikap Kimberly yang tak seperti seorang keponakan terhadap pamannya membuat Kanaya sadar, jika antara Kim dan Alan terselip perasaan cinta seorang pria dan wanita. Apalagi melihat perhatian Alan terhadap keponakannya yang membuat Kanaya merasa tersaingi. Meski kini Kimberly tak lagi tinggal bersama tunangannya, namun melihat Alan masih begitu perhatian pada gadis itu dengan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk menjaga Kimberly, membuat Kanaya cukup paham dengan perasaan yang juga dirasakan sang tunangan terhadap keponakannya."Jangan bangga jika baru berstatus sebagai tunangan, Mba! Yang sudah menikah saja bisa berpisah apalagi hanya sekedar bertukar cincin. Dan jangan pernah menyuruhku untuk berhenti mencintai seseorang, karena ini adalah hidupku! Aku berhak mencintai siapapun termasuk pamanku sendiri."Kanaya tak mengira Kimberly akan memberi jawaban menohok padanya, namun wanita itu yang memang datang dari keluarga kelas atas tetap bisa bersikap tenang dan mengendalikan emosinya. Kanaya masih berwajah santai meski dalam hatinya ingin sekali memaki gadis yang usianya terpaut cukup jauh dengannya."Aku hanya tak mau kau terluka dengan perasaanmu sendiri, Kim. Kau adalah keponakan tunanganku, yang artinya akan menjadi keponakanku juga nantinya. Cobalah menjalin cinta dengan pemuda seusiamu, atau setidaknya tak jauh dengan usiamu, Kim.""Waktu sepuluh menit yang kau minta sudah habis. Silakan pergi dari sini karena aku harus kembali bekerja."Kimberly sudah malas meladeni ocehan Kanaya yang mampu membuatnya panas. Meski wajahnya pun tak menampakkan kegusaran, namun Kim merasa harus segera menyudahi perbincangan yang memuakkan itu."Aku berharap kau bisa bertemu dengan pemuda yang baik, Kim. Aku tulus mengatakannya."Kanaya mengangkat bokongnya dari kursi hendak pergi dari sana, namun ucapan Kimberly yang tiba-tiba membuat wanita itu terpaku di atas kakinya."Kau takut aku bisa membuat om Alan mencintaiku, kan? Kau takut aku merebut om Alan darimu, kan?"Seringai itu kini tampak jelas, tak lagi berusaha disembunyikan oleh Kimberly. Dan semua itu cukup membuat Kanaya terkesiap dengan kalimat yang diucapkan gadis itu. Kanaya tak menyangka jika Kimberly berani mengatakan kalimat sefrontal itu padanya."Kau terlalu banyak bermimpi, Kim!""Tenang saja, Mba! Sejak keluar dari rumah itu aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti mencintai tunanganmu. Kau tak perlu khawatir aku akan merebutnya darimu. Sekarang aku hanya ingin fokus pada diriku sendiri, dan tak berusaha membagi cintaku untuk siapapun!"Lagi, Kanaya kembali dibuat menelan salivanya dengan kasar setelah mendengar perkataan Kimberly. Meski harusnya senang dengan ungkapan gadis itu, namun entah mengapa hatinya justeri merasa panas seolah Kimberly mengasihaninya.Kanaya pergi tanpa bicara apapun. Langkahnya terlihat pasti, mungkin sudah sangat marah dengan sikap angkuh keponakan tunangannya itu.'Mencintai seseorang hanya menimbulkan rasa kecewa padaku. Beberapa kali aku dikecewakan oleh rasa cinta itu sendiri. Papa, mama, dan Alan. Mereka memaksaku mematikan rasa dengan begitu kejamnya.'"Kimberly, ada yang mencarimu!"***"Apa-apaan ini? Kim--" Naina menoleh pada sahabatnya. Kimberly mengambil gawai Feby dari tangan Naina. Terbaca dengan jelas berita pernikahan antara Alan dan Kanaya yang akan dilangsungkan di San Fransisco Meski tanggal tetapnya tidak diumumkan, namun foto yang ditengarai adalah foto prewedding antara Alan dan Kanaya juga dilampirkan disana. "Ini." Kimberly menyerahkan ponsel Feby dan berlalu tanpa kata. Tak ada respon mengejutkan dari gadis itu, ia hanya menampakkan wajah datar dan dingin. "Pergilah," pinta Naina pada Feby "Kim.." "Itu tidak benar, Nai. Alan tidak mungkin menikahi Kanaya begitu saja. Aku tahu dia sedang marah padaku.. tapi dia bukan laki-laki pengecut yang akan meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apa-apa." Kimberly menghentikan sejenak pekerjaannya di wastafel dan tersenyum yakin pada Naina. Meskipun di hatinya tetap saja ada rasa mencelos saat melihat berita tadi. ** "Haha.. bener, kan gue bilang. Alan Satou cuma mau mainin gadis muda yan
"Kim, kau baik-baik saja?" "Hm? Heem.." Gadis berkulit kecoklatan itu tahu kalau sahabatnya tengah berbohong. "Kau bohong! Wajahmu mengatakan yang lain." "Aku baik-baik saja, Nai. Sungguh!" "Apa Alan belum mau bertemu denganmu?" Kimberly menggeleng lemah, "sepertinya dia masih marah padaku. Apalagi kudengar kondisi Kanaya masih mengkhawatirkan. Alan pasti merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi." "Hhh! Mengapa dia harus bertanggung jawab? Wanita itu yang melakukan hal bodoh! Ku kira gadis kaya akan lebih bertindak realistis, ternyata Kanaya hanya wanita melankolis yang bodoh!" Nayla bicara dengan ekspresi berapi-api. "Entahlah, Nai.. kadang aku merasa cintaku pada Alan tak sebesar cinta Kanaya padanya. Tapi berbuat bodoh seperti itu apa bisa disebut cinta?" "Tentu tidak, Kim! Kanaya adalah wanita kaya yang bodoh. Rela mengakhiri hidupnya hanya demi laki-laki yang jelas tak mencintainya." Pernyataan Nayla sekejap mengingatkan cintanya dengan Borne. Sebesar apapun ga
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d