Percuma jika Aline menahan. Perasaan Alan tetap tidak akan condong padanya. Ibarat kapal, mau bagaimanapun ia terombang-ambing maka ia akan kembali berlabuh untuk bersandar.
Seperti itulah kisah Alan dan Mikha. Bagaimanapun mereka menghindar, cinta mereka selalu menemukan cara untuk kembali.Akhirnya, Aline hanya bisa ikhlas. Jika Mikha bisa membuat suaminya bahagia, maka Aline rela. Dia tak ingin menjadi wanita yang egois."Nggak usah kamu pikirkan ucapan papa." Ucap Mikha saat ia berbicara dengan Alan berdua saja.Hari ini baru saja selesai dilaksanakan takziah hari ketiga sepeninggal Robby."Aku merasa bersalah.." Alan berkata jujur. "Apa yang menimpa kamu, ada kaitannya juga denganku..""Mas.. apa maksudmu?" Tanya Mikha bingung."Kalau saja aku tidak menolak perjodohan denganmu, maka kamu nggak akan kembali pada mantan suamimu." Ucap Alan menyesal.Mikha mendengkus sembari memalingkaPuri bukan main senangnya saat Mikha bertandang ke rumahnya. Apalagi berita yang disampaikan adalah keinginan Puri yang akhirnya terwujud.Mikha kembali menerima Alan. Bersedia bersatu kembali tanpa keberatan akan statusnya sebagai istri kedua."Kalau begitu kita harus mempersiapkan pernikahan kalian." Puri begitu bersemangat."Kita harus memilih dekorasi, undangan, pakaian.. duh banyak juga ya.." Puri tertawa bahagia."Kayaknya sederhana aja bu nikahannya.""Loh, kenapa begitu?""Ini pernikahan kedua mas Alan dan pernikahan ketiga untukku. Nggak usah dirayakan besar-besaran. Cukup dihadiri kerabat dekat dan hanya akad." Jelas Mikha. Sebenarnya dia malu juga. Apalagi ini pernikahan ketiganya. Walau ini berbeda karena akhirnya dia menikah dengan lelaki yang dia cintai."Oh.." Puri sedikit kecewa. "Ya sudah nggak apa-apa. Kalian bersatu aja sudah membuat ibu bahagia."Keduanya pun sepakat
"Itu istrimu aja yang sensitif. Wong ibu gak ngomong apa-apa.""Ibu yakin?" Tanya Alan curiga."Kamu ini kenapa sih?" Puri memandang Alan dengan wajah kesal. "Kamu tahu gimana ibu ini orangnya. Suka ceplas ceplos. Harusnya istri kamu nggak perlu mengambil hati ucapan ibu!""Ibu juga tahu bagaimana Aline orangnya. Dia itu begitu peka terhadap sesuatu." Kilah Alan tak mau kalah. "Aku nggak mau dapet laporan lagi kalau Aline menangis karena ibu.""Kenapa? Istrimu yang ngomong?" Puri menatap sinis."Edwin yang ngadu. Ibu tahu kalau anak-anak sudah besar dan mulai mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.""Menurutmu sikap ibumu ini buruk begitu?" Puri jadi marah."Membuat orang menangis apa itu baik? Anggap aja ini kayak cerita ibu yang dimarah sama bapak dulu sampai aku ikut marahin bapak."Puri mencibir. Tapi yang dikatakan anaknya ini benar juga. Seorang anak lelaki tak
Aline menangis tersedu-sedu dalam do'anya. Ia tak memiliki satupun orang disisinya. Hanya untuk sekedar membela atau menguatkan hatinya.Tuhan lah tempat ia mengadu dan bersimpuh. Di luapkannya seluruh perasaannya selama ini.Apa salahnya? Apakah diri ini begitu hina sehingga Puri begitu membencinya? Mencemoohnya di depan keluarga besar.Apa diri ini begitu buruk sehingga Alan tak bisa mencintainya?Padahal Aline sudah sekuat tenaga menjadi istri yang baik. Tapi rupanya, ia masih tak sempurna juga.Puas menangis. Aline menyeka air matanya dan menoleh ke belakang. Pintu kamar tertutup.Tadi, dia mendengar suara pintu yang dibuka. Mungkin saja anak-anak. Ervin terutama. Tapi ternyata tidak ada mereka.Acara dilanjutkan besok pagi. Semua keluarga dan tamu berkumpul. Sesekali Puri yang tengah bergabung dengan keluarganya melirik Aline. Menantunya ini memilih duduk di dekat meja makan dan menjauh dari keluarga yang
Alan mengejar istrinya yang baru saja keluar. Tanpa sepatah katapun Aline keluar dari kamar rawat ibunya. Sampai Alan jadi tak enak hati.Mungkinkah Aline marah dengannya karena kehadiran Mikha? Ah, Alan harus mengejar istrinya itu. Tiba-tiba saja hatinya merasa nyeri jika melihat Aline. Walau bibirnya berkata baik-baik saja tapi tatapan matanya berdusta.Apalagi sikap Aline yang Alan rasa berubah. Dia lebih banyak diam dan tak ceria seperti biasa.Hari Minggu ini, rumah sakit tampak sepi dari pengunjung. Dan Alan menemukan istrinya tengah terduduk di kursi tunggu di pendaftaran poliklinik. Kepalanya tampak tersandar di kursi sambil memejamkan mata."Aline.." panggil Alan lembut.Dia ikut duduk di samping istrinya.Mata Aline terbuka. Lalu terlihatlah matanya yang merah."Kamu sakit?"Aline menggeleng. "Nggak, mas."Baru sadar juga Aline kalau dia ketiduran disini. Tadinya dia m
Tubuh Alan bak disambar petir setelah mendengar tiga kata keramat yang baru saja keluar dari mulut istrinya."Tolong ceraikan aku."Begitu lirih namun tegas saat Aline mengucapkannya. "Aline..." Alan kesulitan berbicara. Dia berharap istrinya ini hanya bercanda."Aku nggak pernah minta apapun padamu sepanjang pernikahan kita, mas. Sekarang aku mohon.. tolong ceraikan aku.." Aline mengerjap.Mata Aline mulai memerah. Dari tatapannya ia begitu memohon agar permintaannya dikabulkan."Kenapa Aline?" Tanya Alan sedih. Jika memang ada kesalahan dalam hubungan ini, jelas dia ingin memperbaikinya."Aku lelah, mas." Aline menjawab jujur dengan wajah tertunduk."Aku tidak merasakan kebahagiaan dengan pernikahan ini.. aku mohon ceraikan aku..""Kamu.. tidak bahagia?" Alan terbata. Matanya mulai berkaca-kaca.Aline mengangguk sedih. Air mata akhirnya luruh juga. Den
Aline menepuk pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sudah tiga jam dia duduk di depan canvas memainkan kuasnya. Lukisannya baru setengah jalan. Sesuai pesanan, pemesan ingin besok pagi lukisannya dikirim."Semangat, Aline!" Gumam Aline menyemangati dirinya sendiri.Pesanan dari anonim untuk ke empat kalinya.Awalnya Aline iseng memasukan hasil karyanya di situs penjualan online. Lukisan abstrak dan juga lukisan surealis. Butuh waktu dua bulan, lukisannya di notis. Akhirnya, ada yang memesan lukisannya.Namun yang memesan, memberi namanya sendiri "Anonim". Aline sempat ragu, takutnya ia ditipu. Tapi setelah si anonim membayar lukisannya. Aline jadi tak ragu lagi.Pembayaran juga melalui situs penjualan online tersebut. Jadi gaji Aline hasil menjual lukisan di transfer oleh situs tersebut. Jadi, ia tak tahu siapa nama asli si Anonim sebenarnya. Tugasnya hanya menerima pesanan dan menjual seperti request pembeli.
Pintu rumah diketuk dengan tidak sabarnya. Aline sudah tahu siapa yang dari tadi mengetuk. Wanita ini masih bergelut mengurusi kedua anaknya dan satu lagi anak mertua yang sedang menyantap sarapan. Sepertinya suara ketukan keras itu tak membuatnya bergeming. "Ervin! Jangan diambil seperti itu!" Aline segera mengambil tangan mungil anaknya yang berusia 3 tahun itu. Ervin mulai lagi mengacak-ngacak sarapan. Saat tangannya diambil, maka Ervin memprotes. Belum lagi Edwin yang tak sabar untuk berangkat ke sekolah. Mana makanan dalam kotak bekal yang sudah disusun oleh Aline malah tumpah berceceran karena ulah Ervin. Aline menghela nafas. Ia berusaha tetap tenang. Ia tidak boleh menjadi gila hanya karena hal seperti ini. Segera ia memisahkan kedua anaknya dan menyusun kembali isian di kotak bekal Edwin sambil sesekali melayani suaminya di meja makan. Pintu diketuk lagi.
"Aku dengar Mikha kembali ke Jakarta." Bisikan itu terdengar meskipun diselimuti oleh suara anak-anak yang bergema sedang asyik bercengkrama. Alan tak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar saja. Meskipun informasi yang baru saja didapatkan ini mengenai mantan terindahnya. "Dia baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata suaminya itu suka memukulnya." Sambung Sarah lagi. Puri mendekatkan tubuhnya lagi untuk mendengarkan cerita lengkapnya. "Kasihan sekali Mikha.." "Akibat perjodohan orang tua." Sahut Sarah. "Andai saja waktu itu Papanya Mikha mau merestui hubungan anaknya dengan Alan. Sudah bisa dipastikan mereka hidup bahagia sekarang." Mata Sarah melotot kepada ibunya. Bisa-bisanya Puri malah mengungkit masa lalu. Alan berdeham. "Yang lalu biarlah berlalu, bu. Sekarang hidupku sudah bersama Aline."
Aline menepuk pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sudah tiga jam dia duduk di depan canvas memainkan kuasnya. Lukisannya baru setengah jalan. Sesuai pesanan, pemesan ingin besok pagi lukisannya dikirim."Semangat, Aline!" Gumam Aline menyemangati dirinya sendiri.Pesanan dari anonim untuk ke empat kalinya.Awalnya Aline iseng memasukan hasil karyanya di situs penjualan online. Lukisan abstrak dan juga lukisan surealis. Butuh waktu dua bulan, lukisannya di notis. Akhirnya, ada yang memesan lukisannya.Namun yang memesan, memberi namanya sendiri "Anonim". Aline sempat ragu, takutnya ia ditipu. Tapi setelah si anonim membayar lukisannya. Aline jadi tak ragu lagi.Pembayaran juga melalui situs penjualan online tersebut. Jadi gaji Aline hasil menjual lukisan di transfer oleh situs tersebut. Jadi, ia tak tahu siapa nama asli si Anonim sebenarnya. Tugasnya hanya menerima pesanan dan menjual seperti request pembeli.
Tubuh Alan bak disambar petir setelah mendengar tiga kata keramat yang baru saja keluar dari mulut istrinya."Tolong ceraikan aku."Begitu lirih namun tegas saat Aline mengucapkannya. "Aline..." Alan kesulitan berbicara. Dia berharap istrinya ini hanya bercanda."Aku nggak pernah minta apapun padamu sepanjang pernikahan kita, mas. Sekarang aku mohon.. tolong ceraikan aku.." Aline mengerjap.Mata Aline mulai memerah. Dari tatapannya ia begitu memohon agar permintaannya dikabulkan."Kenapa Aline?" Tanya Alan sedih. Jika memang ada kesalahan dalam hubungan ini, jelas dia ingin memperbaikinya."Aku lelah, mas." Aline menjawab jujur dengan wajah tertunduk."Aku tidak merasakan kebahagiaan dengan pernikahan ini.. aku mohon ceraikan aku..""Kamu.. tidak bahagia?" Alan terbata. Matanya mulai berkaca-kaca.Aline mengangguk sedih. Air mata akhirnya luruh juga. Den
Alan mengejar istrinya yang baru saja keluar. Tanpa sepatah katapun Aline keluar dari kamar rawat ibunya. Sampai Alan jadi tak enak hati.Mungkinkah Aline marah dengannya karena kehadiran Mikha? Ah, Alan harus mengejar istrinya itu. Tiba-tiba saja hatinya merasa nyeri jika melihat Aline. Walau bibirnya berkata baik-baik saja tapi tatapan matanya berdusta.Apalagi sikap Aline yang Alan rasa berubah. Dia lebih banyak diam dan tak ceria seperti biasa.Hari Minggu ini, rumah sakit tampak sepi dari pengunjung. Dan Alan menemukan istrinya tengah terduduk di kursi tunggu di pendaftaran poliklinik. Kepalanya tampak tersandar di kursi sambil memejamkan mata."Aline.." panggil Alan lembut.Dia ikut duduk di samping istrinya.Mata Aline terbuka. Lalu terlihatlah matanya yang merah."Kamu sakit?"Aline menggeleng. "Nggak, mas."Baru sadar juga Aline kalau dia ketiduran disini. Tadinya dia m
Aline menangis tersedu-sedu dalam do'anya. Ia tak memiliki satupun orang disisinya. Hanya untuk sekedar membela atau menguatkan hatinya.Tuhan lah tempat ia mengadu dan bersimpuh. Di luapkannya seluruh perasaannya selama ini.Apa salahnya? Apakah diri ini begitu hina sehingga Puri begitu membencinya? Mencemoohnya di depan keluarga besar.Apa diri ini begitu buruk sehingga Alan tak bisa mencintainya?Padahal Aline sudah sekuat tenaga menjadi istri yang baik. Tapi rupanya, ia masih tak sempurna juga.Puas menangis. Aline menyeka air matanya dan menoleh ke belakang. Pintu kamar tertutup.Tadi, dia mendengar suara pintu yang dibuka. Mungkin saja anak-anak. Ervin terutama. Tapi ternyata tidak ada mereka.Acara dilanjutkan besok pagi. Semua keluarga dan tamu berkumpul. Sesekali Puri yang tengah bergabung dengan keluarganya melirik Aline. Menantunya ini memilih duduk di dekat meja makan dan menjauh dari keluarga yang
"Itu istrimu aja yang sensitif. Wong ibu gak ngomong apa-apa.""Ibu yakin?" Tanya Alan curiga."Kamu ini kenapa sih?" Puri memandang Alan dengan wajah kesal. "Kamu tahu gimana ibu ini orangnya. Suka ceplas ceplos. Harusnya istri kamu nggak perlu mengambil hati ucapan ibu!""Ibu juga tahu bagaimana Aline orangnya. Dia itu begitu peka terhadap sesuatu." Kilah Alan tak mau kalah. "Aku nggak mau dapet laporan lagi kalau Aline menangis karena ibu.""Kenapa? Istrimu yang ngomong?" Puri menatap sinis."Edwin yang ngadu. Ibu tahu kalau anak-anak sudah besar dan mulai mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.""Menurutmu sikap ibumu ini buruk begitu?" Puri jadi marah."Membuat orang menangis apa itu baik? Anggap aja ini kayak cerita ibu yang dimarah sama bapak dulu sampai aku ikut marahin bapak."Puri mencibir. Tapi yang dikatakan anaknya ini benar juga. Seorang anak lelaki tak
Puri bukan main senangnya saat Mikha bertandang ke rumahnya. Apalagi berita yang disampaikan adalah keinginan Puri yang akhirnya terwujud.Mikha kembali menerima Alan. Bersedia bersatu kembali tanpa keberatan akan statusnya sebagai istri kedua."Kalau begitu kita harus mempersiapkan pernikahan kalian." Puri begitu bersemangat."Kita harus memilih dekorasi, undangan, pakaian.. duh banyak juga ya.." Puri tertawa bahagia."Kayaknya sederhana aja bu nikahannya.""Loh, kenapa begitu?""Ini pernikahan kedua mas Alan dan pernikahan ketiga untukku. Nggak usah dirayakan besar-besaran. Cukup dihadiri kerabat dekat dan hanya akad." Jelas Mikha. Sebenarnya dia malu juga. Apalagi ini pernikahan ketiganya. Walau ini berbeda karena akhirnya dia menikah dengan lelaki yang dia cintai."Oh.." Puri sedikit kecewa. "Ya sudah nggak apa-apa. Kalian bersatu aja sudah membuat ibu bahagia."Keduanya pun sepakat
Percuma jika Aline menahan. Perasaan Alan tetap tidak akan condong padanya. Ibarat kapal, mau bagaimanapun ia terombang-ambing maka ia akan kembali berlabuh untuk bersandar.Seperti itulah kisah Alan dan Mikha. Bagaimanapun mereka menghindar, cinta mereka selalu menemukan cara untuk kembali.Akhirnya, Aline hanya bisa ikhlas. Jika Mikha bisa membuat suaminya bahagia, maka Aline rela. Dia tak ingin menjadi wanita yang egois."Nggak usah kamu pikirkan ucapan papa." Ucap Mikha saat ia berbicara dengan Alan berdua saja.Hari ini baru saja selesai dilaksanakan takziah hari ketiga sepeninggal Robby."Aku merasa bersalah.." Alan berkata jujur. "Apa yang menimpa kamu, ada kaitannya juga denganku..""Mas.. apa maksudmu?" Tanya Mikha bingung."Kalau saja aku tidak menolak perjodohan denganmu, maka kamu nggak akan kembali pada mantan suamimu." Ucap Alan menyesal.Mikha mendengkus sembari memalingka
Alan mengetahui dari Sarah bahwa telah terjadi kesalahpahaman antara istri dan juga ibunya.Tak ada kata lain yang diucapkan Alan selain,"Jangan ambil hati ucapan ibu. Kamu tahu sendiri ibu itu bagaimana."Aline menggigit bibirnya dan mengerjap beberapa kali untuk menahan air matanya. Bohong jika ia berkata tak tersinggung. Sungguh hatinya terasa teriris. Masalahnya kali ini, Puri malah membentak anak-anaknya yang tak lain adalah cucunya sendiri hanya karena hal sepele.Sementara itu, Alan mengerti perasaan istrinya. Dia tahu sikap Puri yang memang keterlaluan. Ingin menegur tapi pasti Puri merajuk dan akan mengoceh panjang lebar mengenai posisinya.Baru saja Alan mengeluarkan satu kata, maka Puri membalasnya dengan satu paragraf. Daripada bikin gendang telinga pecah lebih baik dia diam saja. Mudah-mudahan nanti sikap Puri akan melunak kepada istrinya. Walau tak tahu kapan.Satu bulan berlalu, keluarga kecil ini m
Mau tapi enggan. Begitulah Puri.Dia mau ditemani tapi risih jika dekat-dekat menantunya yang satu ini. Tak ada pilihan lain. Anaknya hanya dua dan sama-sama sibuk bekerja. Yang tidak bekerja ya hanya menantunya ini.Aline sendiri jika bisa memilih, lebih suka mengurus anak daripada mertuanya. Tapi, ia tak ada pilihan.Alan harus kembali bekerja setelah cuti karena harus mengurus Aline di rumah sakit kemarin. Sarah juga tak bisa sembarangan cuti karena pekerjaannya sebagai pegawai bank. Anggap saja, ini sebagai balas budi Aline karena mertuanya menjaga ketiga anaknya saat dia sakit kemarin.Walau ia harus menebalkan telinga karena setiap tindakan yang ia lakukan selalu salah. Bahkan hati Aline menjadi jengkel karena Puri mengatakan penyebab sakit maagnya kumat karena stress mengasuh ketiga cucunya yang super aktif. Itu semua karena Aline harus dirawat saat itu."Teman-teman arisan ibu mau datang ngebesuk sore ini." Uca