Alan mengetahui dari Sarah bahwa telah terjadi kesalahpahaman antara istri dan juga ibunya.
Tak ada kata lain yang diucapkan Alan selain,"Jangan ambil hati ucapan ibu. Kamu tahu sendiri ibu itu bagaimana."Aline menggigit bibirnya dan mengerjap beberapa kali untuk menahan air matanya. Bohong jika ia berkata tak tersinggung. Sungguh hatinya terasa teriris. Masalahnya kali ini, Puri malah membentak anak-anaknya yang tak lain adalah cucunya sendiri hanya karena hal sepele.Sementara itu, Alan mengerti perasaan istrinya. Dia tahu sikap Puri yang memang keterlaluan. Ingin menegur tapi pasti Puri merajuk dan akan mengoceh panjang lebar mengenai posisinya.Baru saja Alan mengeluarkan satu kata, maka Puri membalasnya dengan satu paragraf. Daripada bikin gendang telinga pecah lebih baik dia diam saja. Mudah-mudahan nanti sikap Puri akan melunak kepada istrinya. Walau tak tahu kapan.Satu bulan berlalu, keluarga kecil ini mBerapa besar Mikha meyakinkan Aline tapi wanita ini tetap pada keyakinannya. Apa yang dikatakan Mikha hanya sekedar untuk meluaskan hatinya saja.Bagi Aline, cinta Alan hanya bualan. Dia tak bisa mempercayai Alan soal perasaan. Mungkin rasa sakit ini begitu berbekas sehingga Aline selalu enggan jika bersinggungan dengan mantan suaminya.Hubungan mereka saat ini tak lebih dari orang tua anak-anak saja. Walau ketiga jagoannya belum mengerti apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Namun, Aline berjanji akan menjelaskan secara perlahan.Hari mulai malam. Aline sebenarnya bimbang. Pikirannya ingin menginap di hotel saja. Tapi hatinya ingin kembali ke rumah yang pernah ia tempati dulu. Sudah lama tidak berkunjung. Terlebih tiga bulan ini ditinggal pemiliknya.Aline jadi penasaran akan keadaan rumah yang sekarang tak berpenghuni itu.Sampai di rumah, hanya lampu teras saja yang hidup. Aline lalu membuka kunci pintu dan menghidupkan sake
Aline memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Itu karena acara peluncuran novel Mikha dilaksanakan esok lusa.Sungguh, Aline masih terkejut atas pertemuan mereka tadi. Tak menyangka jika penulis yang ia temui adalah pujaan hati mantan suaminya."Ibu!!" Seru Envier masuk ke kamar Aline."Ada apa Envier?""Telpon ayah, bu. Envier kangen!""Memang ayah nggak nelpon kamu hari ini?"Envier menggeleng. "Nggak."Aline menghela nafas. "Mungkin ayah sibuk, nak.""Envier kangen, bu." Envier cemberut."Sama nenek aja, ya.." ucap Aline. Dia sendiri tak mungkin menghubungi mantan suaminya. Selain karena telah menghapus nomor ponsel Alan. Aline juga tak ingin berhubungan lagi dengan mantan suaminya.Sambil menghentakkan kaki, Envier keluar dari kamar ibunya dan memburu sang nenek. Tak lama, Emma datang ke kamarnya."Aline! Anak-anakmu ini r
Hampir 3 bulan Alan pindah. Selama itu juga tak ada lagi komunikasi antar mereka. Alan hanya bisa menghubungi anak-anaknya melalui mertuanya saja. Itu karena Aline yang sepertinya tak ingin lagi berhubungan dengan mantan suaminya.Sebenarnya bukan tak ingin berhubungan. Lebih tepatnya menghindar.Aline tak menyangkal jika rasa sakit hati itu masih ada.Aline bagaikan pelarian bagi Alan saat pria itu ditinggalkan cinta pertamanya. Selama tujuh tahun hanya Aline yang cinta sendirian. Rasanya sudah seluruh bahasa cinta diberikannya tapi Alan tak bergeming.Ujungnya, Alan mengaku masih mencintai wanita lain. Apa tidak sakit hati Aline mendengarnya.Dicoba untuk ikhlas, merelakan Alan menikah dengan cintanya agar Aline bisa dianggap oleh keluarga Alan. Rupanya malah menjadi bumerang untuk dirinya. Keluarga Alan terutama Puri tetap mencemoohnya. Menghinanya. Mengganggap Aline sebagai benalu di hubungan Alan dan Mikha.Seringk
Untuk sesaat sepasang mata itu saling memandang. Rasa keterkejutan, rindu yang membuncah tersimpul dalam tatapan mata yang dalam memandang.Aline yang sudah satu tahun tak ditemuinya. Kini telah menjadi wanita matang yang mempesona. Tubuhnya lebih berisi. Kulit putihnya kontras dengan pipinya yang merah.Alan masih ingat dulu dia mempersunting Aline saat masih berusia 23 tahun. Kini wanita ini sudah masuk ke awal usia 30 tahunan yang membuatnya begitu menawan.Sedangkan Aline, ada percikan rasa penasaran dalam hatinya. Benarkah itu Alan mantan suaminya? Sepertinya dia kehilangan banyak berat badan. Tubuhnya layu dengan sorot mata yang sayu. Seperti ada beban berat yang dipikulnya.Emma perlahan menyingkir untuk memberi ruang kepada Alan dan Aline untuk berbincang sebentar.Tak lama ia muncul kembali dengan membawa dua buah cangkir teh ke teras. Kebetulan Aline tidak mengajak Alan masuk ke rumahnya. Hanya sebatas di teras rumah k
Aline menepuk pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sudah tiga jam dia duduk di depan canvas memainkan kuasnya. Lukisannya baru setengah jalan. Sesuai pesanan, pemesan ingin besok pagi lukisannya dikirim."Semangat, Aline!" Gumam Aline menyemangati dirinya sendiri.Pesanan dari anonim untuk ke empat kalinya.Awalnya Aline iseng memasukan hasil karyanya di situs penjualan online. Lukisan abstrak dan juga lukisan surealis. Butuh waktu dua bulan, lukisannya di notis. Akhirnya, ada yang memesan lukisannya.Namun yang memesan, memberi namanya sendiri "Anonim". Aline sempat ragu, takutnya ia ditipu. Tapi setelah si anonim membayar lukisannya. Aline jadi tak ragu lagi.Pembayaran juga melalui situs penjualan online tersebut. Jadi gaji Aline hasil menjual lukisan di transfer oleh situs tersebut. Jadi, ia tak tahu siapa nama asli si Anonim sebenarnya. Tugasnya hanya menerima pesanan dan menjual seperti request pembeli.
Tubuh Alan bak disambar petir setelah mendengar tiga kata keramat yang baru saja keluar dari mulut istrinya."Tolong ceraikan aku."Begitu lirih namun tegas saat Aline mengucapkannya. "Aline..." Alan kesulitan berbicara. Dia berharap istrinya ini hanya bercanda."Aku nggak pernah minta apapun padamu sepanjang pernikahan kita, mas. Sekarang aku mohon.. tolong ceraikan aku.." Aline mengerjap.Mata Aline mulai memerah. Dari tatapannya ia begitu memohon agar permintaannya dikabulkan."Kenapa Aline?" Tanya Alan sedih. Jika memang ada kesalahan dalam hubungan ini, jelas dia ingin memperbaikinya."Aku lelah, mas." Aline menjawab jujur dengan wajah tertunduk."Aku tidak merasakan kebahagiaan dengan pernikahan ini.. aku mohon ceraikan aku..""Kamu.. tidak bahagia?" Alan terbata. Matanya mulai berkaca-kaca.Aline mengangguk sedih. Air mata akhirnya luruh juga. Den
Alan mengejar istrinya yang baru saja keluar. Tanpa sepatah katapun Aline keluar dari kamar rawat ibunya. Sampai Alan jadi tak enak hati.Mungkinkah Aline marah dengannya karena kehadiran Mikha? Ah, Alan harus mengejar istrinya itu. Tiba-tiba saja hatinya merasa nyeri jika melihat Aline. Walau bibirnya berkata baik-baik saja tapi tatapan matanya berdusta.Apalagi sikap Aline yang Alan rasa berubah. Dia lebih banyak diam dan tak ceria seperti biasa.Hari Minggu ini, rumah sakit tampak sepi dari pengunjung. Dan Alan menemukan istrinya tengah terduduk di kursi tunggu di pendaftaran poliklinik. Kepalanya tampak tersandar di kursi sambil memejamkan mata."Aline.." panggil Alan lembut.Dia ikut duduk di samping istrinya.Mata Aline terbuka. Lalu terlihatlah matanya yang merah."Kamu sakit?"Aline menggeleng. "Nggak, mas."Baru sadar juga Aline kalau dia ketiduran disini. Tadinya dia m
Aline menangis tersedu-sedu dalam do'anya. Ia tak memiliki satupun orang disisinya. Hanya untuk sekedar membela atau menguatkan hatinya.Tuhan lah tempat ia mengadu dan bersimpuh. Di luapkannya seluruh perasaannya selama ini.Apa salahnya? Apakah diri ini begitu hina sehingga Puri begitu membencinya? Mencemoohnya di depan keluarga besar.Apa diri ini begitu buruk sehingga Alan tak bisa mencintainya?Padahal Aline sudah sekuat tenaga menjadi istri yang baik. Tapi rupanya, ia masih tak sempurna juga.Puas menangis. Aline menyeka air matanya dan menoleh ke belakang. Pintu kamar tertutup.Tadi, dia mendengar suara pintu yang dibuka. Mungkin saja anak-anak. Ervin terutama. Tapi ternyata tidak ada mereka.Acara dilanjutkan besok pagi. Semua keluarga dan tamu berkumpul. Sesekali Puri yang tengah bergabung dengan keluarganya melirik Aline. Menantunya ini memilih duduk di dekat meja makan dan menjauh dari keluarga yang
"Itu istrimu aja yang sensitif. Wong ibu gak ngomong apa-apa.""Ibu yakin?" Tanya Alan curiga."Kamu ini kenapa sih?" Puri memandang Alan dengan wajah kesal. "Kamu tahu gimana ibu ini orangnya. Suka ceplas ceplos. Harusnya istri kamu nggak perlu mengambil hati ucapan ibu!""Ibu juga tahu bagaimana Aline orangnya. Dia itu begitu peka terhadap sesuatu." Kilah Alan tak mau kalah. "Aku nggak mau dapet laporan lagi kalau Aline menangis karena ibu.""Kenapa? Istrimu yang ngomong?" Puri menatap sinis."Edwin yang ngadu. Ibu tahu kalau anak-anak sudah besar dan mulai mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.""Menurutmu sikap ibumu ini buruk begitu?" Puri jadi marah."Membuat orang menangis apa itu baik? Anggap aja ini kayak cerita ibu yang dimarah sama bapak dulu sampai aku ikut marahin bapak."Puri mencibir. Tapi yang dikatakan anaknya ini benar juga. Seorang anak lelaki tak