"Jadi, kalian benar-benar tidak ingin bersama lagi?" Puri sampai mendengkus.
Alan memalingkan wajah sampai menghela nafas kasar. Pagi minggunya ternodai karena kedatangan Puri yang mengomel. "Apa sih kurangnya Mikha itu? Dia cantik, lembut terus pintar cari uang. Kamu menyia-nyiakan permata, Alan!" "Ibu sudah cukup." Tegur Alan masih sabar. "Lagi pula apa yang terjadi pada kalian waktu itu juga bukan salah kalian. Itu salah papanya Mikha!" Sambung Puri mencoba menyadarkan Alan. Alan sampai mengelus dada karena ucapan ibunya. Untung saja anak-anak sedang bermain di kamarnya. Atau mungkin, Edwin yang sudah sekolah akan mengerti sedikit apa yang orang dewasa ini katakan. "Aku sudah menikah, bu. Bagiku pernikahan cukup satu kali. Aku gak mau mendua.." Puri sampai berdecih mendengar ucapan Alan. "Kamu pikir ibu gak tahu kalau kamu masih cinta sama Mikha?" "Ibu.." tegur Alan tidak suka. "Pernikahan kamu sama Aline juga cuma kompensasi karena kamu tidak mendapatkan Mikha, kan? Lagian apa sih yang kamu lihat dari Aline? Dia bisanya cuma mencetak anak lelaki saja!" Alan sampai melotot mendengar ucapan kasar ibunya. Tepat sekali Aline yang baru masuk melewati ruang keluarga dimana Alan dan Puri tengah berbincang. Aline sendiri baru saja selesai berbelanja sayuran. "Baru pulang, sayang?" Tanya Alan menutupi kegugupannya. Jangan sampai Aline mendengar apa yang mereka bicarakan. Aline hanya berdeham. Puri terkesiap. Wajah menantunya ini terlihat masam. Dia melewati kedua orang ini menuju dapur. Biasanya dia akan ikut mengganggu dan bergabung jika Puri sedang mengajak Alan mengobrol. "Kenapa muka istrimu itu? Masam sekali!" Ketus Puri. Alan hanya menghela nafas. Dia dan Aline belum berbaikan. Masih perang dingin. Itu semua karena Aline salam paham mengenai hubungan Alan dan Mikha. Ah, bukan salah paham. Tepatnya memergoki keduanya sedang berpelukan. "Lagi gak enak badan." Alan menjawab asal. Namun Puri tak percaya. Dia yakin sekali Aline mendengar ucapannya. Apalagi tadi Puri mengatakannya dengan intonasi yang tinggi. Tak mau melanjutkan, Alan menuju kamar tempat anaknya bermain. Sedangkan Puri ke dapur dan menemukan Aline sedang menyusun belanjaannya di meja dapur. "Lagi sakit kamu?" Tanya Puri tanpa basa basi. Aline mendongak. "Nggak, bu." "Kenapa mukamu masam begitu?" "Cuma kecapekan aja." "Bertengkar kamu dengan suamimu?" "Nggak, bu." Aline berusaha menjawab pertanyaan mertuanya dengan nada yang lembut. "Tadi, kamu pasti dengar apa yang ibu bilang sama Alan, kan? Jadi kamu harus tahu. Alan dijodohkan oleh Mikha. Mikha itu...." "Cinta pertama mas Alan." Potong Aline. "Dan papanya mbak Mikha mau menjodohkan mas Alan dengannya. Aku sudah tahu, bu.." "Syukurlah kalau kamu sudah tahu. Jadi kamu paham maksudnya.." Aline menatap mertuanya dengan sedih. "Bu.." panggil Aline sampai Puri memutus pandangan mereka. Ada rasa tak enak menatap mata penuh kesakitan itu. "Coba ibu bayangkan jika ibu ada di posisi Aline.. apa ibu sanggup melihat suami ibu menikah lagi dengan wanita lain?" Tanya Aline dengan suara bergetar. "Tentu saja sanggup." Jawab Puri tegas sampai membuat Aline terperangah. "Karena ibu tidak egois. Apa yang menjadi kebahagiaan suami itu juga kebahagiaan istri. Dan ibu tidak mau menghalanginya. Apalagi jika suami itu tidak mencintai istrinya." Deg! Aline ingin menangis saja rasanya. Tapi dikerjapkannya mata indah itu beberapa kali supaya air mata ini tak runtuh. Puri meninggalkan Aline yang masih tertegun akan ucapannya. Terserah jika perkataannya tadi membuat Aline tersinggung. Yang penting, apa yang menjadi unek-unek di hatinya sudah tersampaikan. *** Langkah kaki Alan begitu pelan melangkah saat ia menemukan istrinya tengah berada di teras belakang. Hari sudah malam, tapi Aline masih belum tertidur. Alan memandang punggung istrinya yang sedang membelakanginya. Di hadapan Aline terdapat canvas. Ia kembali melukis hari ini. Aline memang pandai menggambar, jika bakatnya diasah dia pasti menjadi pelukis handal. Tapi sayang ia meninggalkan hobinya itu untuk menikah dan mengabdi pada suaminya. Biasanya, Aline akan melukis jika hatinya sedang senang atau sedang bersedih. Seperti saat ini. Lukisan abstrak yang dibuat Aline seakan menggambar kondisi hatinya. Begitu kelabu dan sedih. Aline menggambar awan hitam dipadukan dengan payung yang melebar. Alan tak mau mengganggu. Dia kembali ke kamar saja. Menunggu istrinya disana. Tapi, saat ia memejamkan matanya dan ingin berlayar ke pulau mimpi, istrinya belum kunjung datang. Sampai ia sadar jika istrinya tidak tidur di kamarnya semalaman. Pagi ini seperti biasa Aline membuat sarapan. Hari senin, Edwin walaupun masih TK tapi harus upacara. Jadi sekalian dia membuat bekal untuk anak sulungnya itu. Alan menatap wajah istrinya yang sendu itu. Sejak kemarin mereka tidak berbicara. Ingin sekali ia bertanya kenapa semalam Aline tidak masuk ke kamarnya. Tapi melihat wajah sembab istrinya, Alan tak jadi bersuara. "Aku berangkat." Ucap Alan mengulurkan tangan yang disambut oleh Aline. "Hati-hati." "Nanti malam kita makan diluar." Alan memandang istrinya lekat. "Kita berdua saja. Anak-anak kita titip sama ibu." Alan mendekat dan mengelus pucuk kepala istrinya. Aline hanya mengangguk sambil menerbitkan sedikit senyum di bibirnya. Entah kenapa dia skeptis. Alan ingin mengajak makan malam berdua saja. Jelas suaminya ini ingin berdamai dengan kemarahannya. Tapi anak-anak yang akan dititipkan kepada ibu. Aline tak yakin jika itu akan mudah. Sementara Alan sudah memesan tempat di sebuah restoran untuk makan malam hari ini. Dia harus meredakan perang dingin ini. Alan akan belajar menjadi suami romantis. Sesungguhnya, Alan sangat menghargai istrinya hingga ia begitu takut menyakiti Aline. Baru saja selesai mereservasi melalui ponselnya, sebuah notif masuk. Pesan dari Mikha. Alan terkejut. Dia tak lupa jika Mikha hari ini akan terbang ke luar negeri dan tak tahu kapan kembali. Tapi.. ah. Alan bingung dengan perasaannya. Di kepalanya menolak tapi hatinya ingin. Alan terpaksa mengikuti kata hatinya. Dia pergi ke bandara menemui Mikha untuk terakhir kalinya. Sekitar 45 menit, Alan tiba di bandara. Rupanya Mikha masih berada disana karena ada keterlambatan penerbangan. Melihat Alan, mata Mikha kembali berbinar. "Aku pikir mas gak datang.." "Sekalian aku ada kerjaan di luar," ucap Alan berbohong. Padahal ia sengaja datang untuk menemui mantan kekasihnya. Sesaat keduanya hanya bisa saling memandang tanpa bisa mengucapkan satu kata apapun. "Lupakan soal perjodohan kita. Anggaplah saja itu sebagai omong kosong dari orang tua," kata Mikha pelan. Alan mengangguk. "Aku sudah melupakannya." "Salam untuk istri dan anak-anakmu. Semoga kamu bahagia selalu." Mikha memaksakan senyum terbit di wajahnya. "Semoga kamu juga segera mendapatkan seorang lelaki yang mencintaimu," ucap Alan berat. "Aku tidak yakin." Sedihnya suara Mikha membuat hati Alan menjadi pilu. Apalagi mata yang berkaca-kaca itu membuatnya semakin rapuh. Jika tidak memiliki istri, mungkin Alan ingin sekali merengkuh tubuh itu dan memeluknya dengan erat. Memberinya kehangatan sembari menghujaninya dengan cinta yang dalam. Suara panggilan lalu terdengar melalui speaker bahwa penumpang dengan penerbangan ke kota tujuan Mikha harus segera masuk. "Aku pamit, mas." "Jaga dirimu." Keduanya saling memandang lagi dengan rasa sedih yang sama-sama tak bisa diungkapkan. Sampai akhirnya, Mikha memundurkan langkahnya dan berbalik. Alan hanya menatap punggung itu dari jauh. Andai saja waktu bisa di putar. Ya.. andai saja Robby menerima Alan sebagai menantunya. Maka, Alan dan Mikha tak akan berpisah. Keduanya pasti menjalani kehidupan yang bahagia selamanya.Tidak ada jalan untuk kembali. Aline sudah memantapkan diri melangkah maju ke depan. Meninggalkan semua rasa sakit hati yang diterimanya.Ucapan Mikha dan Puri memang terngiang-ngiang di kepalanya. Namun, tetap membuat hatinya tetap tak bergeming. Aline teguh pada pendiriannya.Cukup satu kali Aline merasakan pahitnya pernikahan. Ia tak mau mengulanginya lagi. Apalagi jika itu bersama orang yang sama.Fokus Aline sekarang untuk anak-anaknya saja.Aline masih terpekur disana. Di tempat yang sama ketika Puri menangis dan memohon tadi.Sambil menghela nafas, Aline bangkit dari duduknya. Dia harus bersiap karena pagi ini juga dia pulang ke kampung tempat dia berasal.Setelah mengemasi barang-barangnya. Aline memandang sekeliling. Ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Di pojok sana ada dapur dan teras belakang. Aline seperti menonton film dimana ada adegannya bersama anak-anak. Seharian dihabiskan mengasu
Berapa besar Mikha meyakinkan Aline tapi wanita ini tetap pada keyakinannya. Apa yang dikatakan Mikha hanya sekedar untuk meluaskan hatinya saja.Bagi Aline, cinta Alan hanya bualan. Dia tak bisa mempercayai Alan soal perasaan. Mungkin rasa sakit ini begitu berbekas sehingga Aline selalu enggan jika bersinggungan dengan mantan suaminya.Hubungan mereka saat ini tak lebih dari orang tua anak-anak saja. Walau ketiga jagoannya belum mengerti apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Namun, Aline berjanji akan menjelaskan secara perlahan.Hari mulai malam. Aline sebenarnya bimbang. Pikirannya ingin menginap di hotel saja. Tapi hatinya ingin kembali ke rumah yang pernah ia tempati dulu. Sudah lama tidak berkunjung. Terlebih tiga bulan ini ditinggal pemiliknya.Aline jadi penasaran akan keadaan rumah yang sekarang tak berpenghuni itu.Sampai di rumah, hanya lampu teras saja yang hidup. Aline lalu membuka kunci pintu dan menghidupkan sake
Aline memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Itu karena acara peluncuran novel Mikha dilaksanakan esok lusa.Sungguh, Aline masih terkejut atas pertemuan mereka tadi. Tak menyangka jika penulis yang ia temui adalah pujaan hati mantan suaminya."Ibu!!" Seru Envier masuk ke kamar Aline."Ada apa Envier?""Telpon ayah, bu. Envier kangen!""Memang ayah nggak nelpon kamu hari ini?"Envier menggeleng. "Nggak."Aline menghela nafas. "Mungkin ayah sibuk, nak.""Envier kangen, bu." Envier cemberut."Sama nenek aja, ya.." ucap Aline. Dia sendiri tak mungkin menghubungi mantan suaminya. Selain karena telah menghapus nomor ponsel Alan. Aline juga tak ingin berhubungan lagi dengan mantan suaminya.Sambil menghentakkan kaki, Envier keluar dari kamar ibunya dan memburu sang nenek. Tak lama, Emma datang ke kamarnya."Aline! Anak-anakmu ini r
Hampir 3 bulan Alan pindah. Selama itu juga tak ada lagi komunikasi antar mereka. Alan hanya bisa menghubungi anak-anaknya melalui mertuanya saja. Itu karena Aline yang sepertinya tak ingin lagi berhubungan dengan mantan suaminya.Sebenarnya bukan tak ingin berhubungan. Lebih tepatnya menghindar.Aline tak menyangkal jika rasa sakit hati itu masih ada.Aline bagaikan pelarian bagi Alan saat pria itu ditinggalkan cinta pertamanya. Selama tujuh tahun hanya Aline yang cinta sendirian. Rasanya sudah seluruh bahasa cinta diberikannya tapi Alan tak bergeming.Ujungnya, Alan mengaku masih mencintai wanita lain. Apa tidak sakit hati Aline mendengarnya.Dicoba untuk ikhlas, merelakan Alan menikah dengan cintanya agar Aline bisa dianggap oleh keluarga Alan. Rupanya malah menjadi bumerang untuk dirinya. Keluarga Alan terutama Puri tetap mencemoohnya. Menghinanya. Mengganggap Aline sebagai benalu di hubungan Alan dan Mikha.Seringk
Untuk sesaat sepasang mata itu saling memandang. Rasa keterkejutan, rindu yang membuncah tersimpul dalam tatapan mata yang dalam memandang.Aline yang sudah satu tahun tak ditemuinya. Kini telah menjadi wanita matang yang mempesona. Tubuhnya lebih berisi. Kulit putihnya kontras dengan pipinya yang merah.Alan masih ingat dulu dia mempersunting Aline saat masih berusia 23 tahun. Kini wanita ini sudah masuk ke awal usia 30 tahunan yang membuatnya begitu menawan.Sedangkan Aline, ada percikan rasa penasaran dalam hatinya. Benarkah itu Alan mantan suaminya? Sepertinya dia kehilangan banyak berat badan. Tubuhnya layu dengan sorot mata yang sayu. Seperti ada beban berat yang dipikulnya.Emma perlahan menyingkir untuk memberi ruang kepada Alan dan Aline untuk berbincang sebentar.Tak lama ia muncul kembali dengan membawa dua buah cangkir teh ke teras. Kebetulan Aline tidak mengajak Alan masuk ke rumahnya. Hanya sebatas di teras rumah k
Aline menepuk pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sudah tiga jam dia duduk di depan canvas memainkan kuasnya. Lukisannya baru setengah jalan. Sesuai pesanan, pemesan ingin besok pagi lukisannya dikirim."Semangat, Aline!" Gumam Aline menyemangati dirinya sendiri.Pesanan dari anonim untuk ke empat kalinya.Awalnya Aline iseng memasukan hasil karyanya di situs penjualan online. Lukisan abstrak dan juga lukisan surealis. Butuh waktu dua bulan, lukisannya di notis. Akhirnya, ada yang memesan lukisannya.Namun yang memesan, memberi namanya sendiri "Anonim". Aline sempat ragu, takutnya ia ditipu. Tapi setelah si anonim membayar lukisannya. Aline jadi tak ragu lagi.Pembayaran juga melalui situs penjualan online tersebut. Jadi gaji Aline hasil menjual lukisan di transfer oleh situs tersebut. Jadi, ia tak tahu siapa nama asli si Anonim sebenarnya. Tugasnya hanya menerima pesanan dan menjual seperti request pembeli.