Alan menatap lekat wajah istrinya yang tengah tertidur lelap. Biasanya setelah melayani Alan, Aline akan segera membersihkan diri dan baru tertidur.
Tapi kali ini dia langsung tertidur setelah melayani Alan. Aline sepertinya kelelahan karena Alan sangat bersemangat tadi. Lelaki ini menepikan anak rambut di telinga Aline agar wajah istrinya ini terlihat jelas. Tiba-tiba Alan merasa berdosa. Bisa-bisanya dia membayangkan wanita lain saat sedang berhubungan dengan istrinya. Alan menatap istrinya dengan sedih. Entah sampai kapan rasa cinta ini akan tumbuh. Sudah tujuh tahun berumah tangga, tapi Aline masih belum bisa membuka pintu hati Alan. Pagi ini, Aline mendapat kejutan dari mertuanya yang ternyata menginap di rumah. Pantas kalau Aline tidak tahu, karena Alan langsung menyerangnya semalam. Jadi dia tak mengecek keadaan di luar semalam. "Ibu menginap disini semalam?" Aline sungguh tak tahu. "Ya." Jawab Puri dingin. Aline segera ke dapur untuk memasak. Dia harus menyiapkan sarapan dan bekal untuk anaknya ke sekolah. Suara jeritan terdengar dari kamar hingga ke dapur karena Ervin dan Edwin yang sudah bangun. Edwin juga sudah siap menggunakan baju sekolahnya. "Eyang tidur disini, ya?" Tanya Edwin "Ya. Kenapa? Gak boleh eyang tidur disini?" Puri berbicara ketus. Aline hanya menggeleng. Padahal Edwin bertanya baik-baik tapi eyangnya malah menjawab dengan nada marah. Setelah sarapan, Puri akhirnya pulang ke rumahnya sendiri. Aline bisa bernafas lega. "Ibu.." panggil Ervin. "Kita pergi ke pasar hari ini." Aline tersenyum. Jika soal membeli mainan, Ervin tidak akan pernah lupa. "Iya. Sekalian kita beli susu adikmu." Sekitar pukul 10 pagi. Aline mengajak dua jagoannya pergi ke supermarket untuk membeli susu formula dan kebutuhan lainnya. Tak lupa mampir ke toko mainan mengabulkan keinginan Ervin. "Bu.. Ervin lapar.." Ervin mengelus-ngelus perutnya. Aline melirik jam. Benar juga sudah hampir jam 12 siang. "Ayo kita cari makan dulu. Baru ke sekolah menjemput kakakmu, ya.." Sambil menggendong Envier, Aline menuntun tangan Ervin ke restoran cepat saji. Aline memesan dan minta di bungkus saja, supaya tidak telat menjemput Edwin. "Bu.. mau main.." Ervin memelas menatap ibunya. Aline menghela nafas. Ervin ini tak bisa melihat playground sedikit pasti ingin bermain. "Mainlah sebentar.." Aline mengizinkan. Bermain 10 menit tak masalah sembari menunggu pesanan mereka selesai. Aline memilih duduk di luar saja sambil mengamati Ervin bermain di playground. Namun, mata Aline terpaku melihat mobil hitam yang dikenalnya tengah terparkir di restoran seberang. "Itu mobil Ayah, kan?" Aline berbicara pada Envier. "Ervin!! Tunggu sebentar disini. Jaga adikmu!" Titah Aline kepada Ervin karena Envier ikut bermain disana. Aline memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Mungkin suaminya sedang bertemu dengan koleganya disana. Yang Aline tahu, Alan memang sering rapat di luar sembari makan siang. "Betul mobil mas Alan.." Aline sampai dan melihat mobil hitam yang terparkir itu. Aline tersenyum. Dia masuk ke restoran. Jika memang suaminya disini maka dia akan memberi kejutan. Sekalian minta di antar pulang dan menjemput Edwin pulang sekolah. Namun apa yang dilihat Aline tak sesuai dengan harapannya. Bahu Aline merosot. Hampir saja tas jinjing ini lepas dari tangannya. Disana ada Alan beserta Mikha yang saling berpelukan dengan erat. Alan melepaskan pelukannya dari Mikha. "Jaga dirimu disana." Ucap Alan berat. Mikha mengangguk. "Jika kamu sempat, aku ingin kamu mengantarku ke bandara." "Aku lihat jadwalku dulu." Jawab Alan datar. "Aku harus kembali ke kantor." Alan berjalan melewati Mikha dan tertegun. Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang ia kenal menatapnya dengan sedih dari jauh. "Aline.." Alan begitu terkejut. Aline pergi setelah Alan sadar akan kehadirannya. Ia sedikit berlari menuju restoran cepat saji di tempat anaknya sudah menunggu. Alan yang panik segera mengejar Aline. Jelas, Alan takut istrinya ini salah paham. Sedangkan Mikha hanya melihat saja. "Aline!" Alan berhasil menahan lengan istrinya tapi berhasil ditepis. "Aku bisa jelaskan." "Jelaskan apa? Kalau kamu berselingkuh dengan mantan kekasihmu?" Aline menatap tajam. "Alinee..." Alan membujuk. "Kamu sudah salah paham." "Sudahlah, mas! Pergilah kesana. Kekasihmu menunggu!" "Aku tidak ingin kita bertengkar di tempat umum." Aline menatap suaminya sinis. "Tapi kamu tidak malu berpelukan dengan Mikha di tempat umum?" "Aline.. kita pulang dulu. Nanti aku jelaskan." Alan memboyong anak dan istrinya pulang dengan terlebih dahulu menjemput Edwin. Setelah pulang dan memastikan anak-anaknya aman, barulah Alan mengajak istrinya bicara. Dia menjelaskan awal pertemuannya dengan Mikha. Ayah Mikha yang sakit hingga Alan yang ingin dijodohkan pada Mikha. Tapi keduanya memutuskan untuk menolak perjodohan. Mikha tak ingin menjadi istri kedua dan Alan tak ingin menyakiti hati Aline. Sungguh adegan berpelukan tadi di luar dugaan. Mereka hanya terbawa suasana karena dalam beberapa hari kedepan Mikha akan pulang ke luar negeri. "Aku tidak berbohong padamu.." Alan menatap istrinya dengan penuh harap. Mata Aline memerah. Sebenarnya, ia sudah tahu jika suaminya ini dijodohkan dengan Mikha. Semalam ia mencuri dengar percakapan Puri dan Alan di balik dinding. Yang tadinya ia pikir itu karena ulah Puri. Ternyata karena ayahnya Mikha. "Kenapa kamu menolak perjodohan itu? Bukannya kamu masih mencintainya?" "Darimana asal dugaan itu?" "Kamu pikir aku tidak tahu, mas. Kamu masih menyimpan foto mantan kekasihmu itu di laptopmu. Setiap malam kamu memandanginya." Alan terkesiap. Dia kehabisan kata-kata. "Maafkan aku, Aline.. aku akan menghapusnya." "Kenapa kamu gak menerima saja tawaran itu? Mikha pasti masih mencintaimu." "Aline!!" Alan mengusap wajahnya dengan kasar. Dia ingin Aline berhenti bicara sekarang. Meladeni kecemburuan perempuan tidak akan pernah menang. "Aku tidak ingin menyakitimu. Kamu istriku!" "Apa kamu mencintaiku?" Alan terkejut. "Kenapa terkejut, mas? Tinggal jawab saja. Kamu cinta gak sama aku?" Desak Aline. "Aku sangat menghargaimu sebagai istriku." Aline membuang mukanya. "Bahkan sampai detik ini aku belum bisa mengetuk pintu hatimu." Aline bergetar mengucapkannya. "Aku sudah melakukan semuanya untukmu agar kamu bahagia. Supaya kamu juga bisa membalas cintaku.. nyatanya.. hanya aku yang cinta sendirian." "Aline!" Tegur Alan tak suka. Sekarang pembicaraan ini malah kemana-mana. "Sudah, cukup! Aku sudah menjelaskan semuanya. Terserah padamu mau percaya atau tidak." Alan bangkit dari duduknya meninggalkan Aline sendirian. Air mata lolos mengalir di wajah Aline. Ia lalu mengingat semua perjalanannya selama berumah tangga bersama Alan. Aline bahkan rela meninggalkan profesi yang selama ini digelutinya untuk mengasuh ketiga anaknya. Aline bahkan rela tidak memakai pengasuh atau asisten rumah tangga untuk tidak memberatkan pengeluaran. Ia juga rela dikucilkan hingga diremehkan oleh keluarga besar suaminya. Asalkan badai tak datang menimpa rumah tangganya yang harmonis. Tapi, nyatanya Aline salah.. ia terlalu percaya diri soal perasaan Alan padanya.. Rupanya Alan masih terkungkung dalam kisah lamanya. Pernikahan ini hanyalah kompensasi baginya.Tidak ada jalan untuk kembali. Aline sudah memantapkan diri melangkah maju ke depan. Meninggalkan semua rasa sakit hati yang diterimanya.Ucapan Mikha dan Puri memang terngiang-ngiang di kepalanya. Namun, tetap membuat hatinya tetap tak bergeming. Aline teguh pada pendiriannya.Cukup satu kali Aline merasakan pahitnya pernikahan. Ia tak mau mengulanginya lagi. Apalagi jika itu bersama orang yang sama.Fokus Aline sekarang untuk anak-anaknya saja.Aline masih terpekur disana. Di tempat yang sama ketika Puri menangis dan memohon tadi.Sambil menghela nafas, Aline bangkit dari duduknya. Dia harus bersiap karena pagi ini juga dia pulang ke kampung tempat dia berasal.Setelah mengemasi barang-barangnya. Aline memandang sekeliling. Ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Di pojok sana ada dapur dan teras belakang. Aline seperti menonton film dimana ada adegannya bersama anak-anak. Seharian dihabiskan mengasu
Berapa besar Mikha meyakinkan Aline tapi wanita ini tetap pada keyakinannya. Apa yang dikatakan Mikha hanya sekedar untuk meluaskan hatinya saja.Bagi Aline, cinta Alan hanya bualan. Dia tak bisa mempercayai Alan soal perasaan. Mungkin rasa sakit ini begitu berbekas sehingga Aline selalu enggan jika bersinggungan dengan mantan suaminya.Hubungan mereka saat ini tak lebih dari orang tua anak-anak saja. Walau ketiga jagoannya belum mengerti apa yang terjadi pada ayah dan ibunya. Namun, Aline berjanji akan menjelaskan secara perlahan.Hari mulai malam. Aline sebenarnya bimbang. Pikirannya ingin menginap di hotel saja. Tapi hatinya ingin kembali ke rumah yang pernah ia tempati dulu. Sudah lama tidak berkunjung. Terlebih tiga bulan ini ditinggal pemiliknya.Aline jadi penasaran akan keadaan rumah yang sekarang tak berpenghuni itu.Sampai di rumah, hanya lampu teras saja yang hidup. Aline lalu membuka kunci pintu dan menghidupkan sake
Aline memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Itu karena acara peluncuran novel Mikha dilaksanakan esok lusa.Sungguh, Aline masih terkejut atas pertemuan mereka tadi. Tak menyangka jika penulis yang ia temui adalah pujaan hati mantan suaminya."Ibu!!" Seru Envier masuk ke kamar Aline."Ada apa Envier?""Telpon ayah, bu. Envier kangen!""Memang ayah nggak nelpon kamu hari ini?"Envier menggeleng. "Nggak."Aline menghela nafas. "Mungkin ayah sibuk, nak.""Envier kangen, bu." Envier cemberut."Sama nenek aja, ya.." ucap Aline. Dia sendiri tak mungkin menghubungi mantan suaminya. Selain karena telah menghapus nomor ponsel Alan. Aline juga tak ingin berhubungan lagi dengan mantan suaminya.Sambil menghentakkan kaki, Envier keluar dari kamar ibunya dan memburu sang nenek. Tak lama, Emma datang ke kamarnya."Aline! Anak-anakmu ini r
Hampir 3 bulan Alan pindah. Selama itu juga tak ada lagi komunikasi antar mereka. Alan hanya bisa menghubungi anak-anaknya melalui mertuanya saja. Itu karena Aline yang sepertinya tak ingin lagi berhubungan dengan mantan suaminya.Sebenarnya bukan tak ingin berhubungan. Lebih tepatnya menghindar.Aline tak menyangkal jika rasa sakit hati itu masih ada.Aline bagaikan pelarian bagi Alan saat pria itu ditinggalkan cinta pertamanya. Selama tujuh tahun hanya Aline yang cinta sendirian. Rasanya sudah seluruh bahasa cinta diberikannya tapi Alan tak bergeming.Ujungnya, Alan mengaku masih mencintai wanita lain. Apa tidak sakit hati Aline mendengarnya.Dicoba untuk ikhlas, merelakan Alan menikah dengan cintanya agar Aline bisa dianggap oleh keluarga Alan. Rupanya malah menjadi bumerang untuk dirinya. Keluarga Alan terutama Puri tetap mencemoohnya. Menghinanya. Mengganggap Aline sebagai benalu di hubungan Alan dan Mikha.Seringk
Untuk sesaat sepasang mata itu saling memandang. Rasa keterkejutan, rindu yang membuncah tersimpul dalam tatapan mata yang dalam memandang.Aline yang sudah satu tahun tak ditemuinya. Kini telah menjadi wanita matang yang mempesona. Tubuhnya lebih berisi. Kulit putihnya kontras dengan pipinya yang merah.Alan masih ingat dulu dia mempersunting Aline saat masih berusia 23 tahun. Kini wanita ini sudah masuk ke awal usia 30 tahunan yang membuatnya begitu menawan.Sedangkan Aline, ada percikan rasa penasaran dalam hatinya. Benarkah itu Alan mantan suaminya? Sepertinya dia kehilangan banyak berat badan. Tubuhnya layu dengan sorot mata yang sayu. Seperti ada beban berat yang dipikulnya.Emma perlahan menyingkir untuk memberi ruang kepada Alan dan Aline untuk berbincang sebentar.Tak lama ia muncul kembali dengan membawa dua buah cangkir teh ke teras. Kebetulan Aline tidak mengajak Alan masuk ke rumahnya. Hanya sebatas di teras rumah k
Aline menepuk pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sudah tiga jam dia duduk di depan canvas memainkan kuasnya. Lukisannya baru setengah jalan. Sesuai pesanan, pemesan ingin besok pagi lukisannya dikirim."Semangat, Aline!" Gumam Aline menyemangati dirinya sendiri.Pesanan dari anonim untuk ke empat kalinya.Awalnya Aline iseng memasukan hasil karyanya di situs penjualan online. Lukisan abstrak dan juga lukisan surealis. Butuh waktu dua bulan, lukisannya di notis. Akhirnya, ada yang memesan lukisannya.Namun yang memesan, memberi namanya sendiri "Anonim". Aline sempat ragu, takutnya ia ditipu. Tapi setelah si anonim membayar lukisannya. Aline jadi tak ragu lagi.Pembayaran juga melalui situs penjualan online tersebut. Jadi gaji Aline hasil menjual lukisan di transfer oleh situs tersebut. Jadi, ia tak tahu siapa nama asli si Anonim sebenarnya. Tugasnya hanya menerima pesanan dan menjual seperti request pembeli.