Share

BAB 4: Si Ustaz Tampan

Dian tersenyum sendiri ketika ingat dengan bacaan ayat al-qur’an yang dilantunkan oleh ustaz tampan ketika salat subuh tadi. Suaranya begitu merdu, iramanya juga indah. Terdengar seperti bacaan imam salat Ied di televisi.

“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas,” kata wanita paruh baya bernama Jamilah, yang tadi duduk di sebelah Dian. Dialog itu tercipta ketika ia memuji kefasihan ustaz tampan bernama Fajar dalam membacakan ayat demi ayat al-qur’an.

Gadis itu langsung menelan ludah ketika ingat dengan nama Fajar. Seperti baru saja didengar dua hari terakhir, tapi di mana ya?

“Astaga!” serunya menepuk kening sendiri saat berdiri di depan cermin kamar.

“Namanya sama dengan cowok yang kemarin bikin dinding mobil kantor lecet. Mana gue lupa lagi telepon gara-gara kebanyakan pikiran,” sambung Dian segera mengambil ponsel dari atas nakas.

“Kartu nama!” Dian auto panik ketika ingat belum menyimpan nomor pria itu di daftar kontak. “Celana jeans gue mana?”

Kakinya langsung bergerak cepat keluar dari kamar menuju dapur, tempat mesin cuci berada. Pandangan Dian berhenti ketika melihat keranjang pakaian kotor telah kosong, berarti celana jeans sudah masuk ke mesin cuci.

No! No! Kambing.” Dian frustasi luar biasa ketika membayangkan celana jeans sudah berendam bersama dengan pakaian lain di dalam genangan air sabun. “Duh, kok gue jadi ikut-ikutan Rara sih ngumpat nyebut kambing?!”

Gadis itu langsung membungkukkan tubuh melihat kaca bulat bagian depan mesin cuci. Wajahnya pucat seketika melihat celana jeans sudah berputar ria di dalam sana. Dia tidak bisa mengeluarkan celana tersebut dari dalam mesin sampai proses cuci mencuci selesai. Alhasil Dian terduduk merana di lantai.

“Ngapain lu duduk di sono?” Suara Royati tiba-tiba membuat Dian terperanjat.

“Ya ampun, Nyak. Kayak jelangkung aja, nongol dadakan. Bikin jantung mau copot,” gerutu Dian dengan wajah mengerucut.

“Habis tumbenan elu duduk di sono kayak orang habis putus cinte.”

Bibir tipis miliknya melengkung ke bawah seiringan dengan raut menyedihkan. “Habisan Nyak cuci celana jeans aye kagak bilang-bilang.”

“Lha emang sebelumnya kagak pernah ngomong juga, pan. Emang ade ape sih?” tanya Royati kebingungan.

“Ada kartu nama di saku. Aye lupa keluarin kemarin.”

“Kartu nama apaan?”

Dian berdiri, lalu melangkah lunglai menuju kursi meja makan. “Kemarin mobil kantor keserempet motor.”

Astaghfirullah. Trus? Mobil kantor jadi lecet?” Royati jadi ikut-ikutan duduk berhadapan dengan putrinya.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu bergerak pelan ke atas dan bawah. Dalam hitungan detik sebuah tepukan langsung terasa di lengan Dian. Wajah gadis itu meringis kesakitan.

“Makanya kalau orang tua ngomong elu kudu dengerin, kagak kaburan kayak kemarin. Kualat pan jadinye,” omel Royati semangat.

“Dih, Nyak. Senang banget lihat anaknya menderita. Duit aye nih kagak bisa balik lagi, karena nggak bisa tagih ke yang nabrak,” sungut Dian nyaris menangis. Dia sudah berencana membeli handphone Samsung keluaran terbaru dengan gaji bulan ini.

“Syukurin. Lain kali jangan kabur kalau nyak lu lagi ngomong,” pungkas Royati berlalu meninggalkan putrinya yang menatap lesu mesin cuci.

“Apes banget dah gue,” keluhnya seraya merebahkan kepala di atas meja.

Satu-satunya pilihan sekarang adalah menunggu mesin cuci berhenti, kemudian mengeluarkan celana. Semoga saja kartu nama tersebut tidak lecet, sehingga nomor ponsel yang tertera di sana masih bisa dibaca.

***

Dian mengembuskan napas lesu ketika duduk di meja kerja. Kelopak mata berkedip pelan menatap kartu nama yang sudah lusuh, karena ikut tercuci oleh Royati tadi pagi. Alhasil nomor ponsel si pemilik kartu nama tidak bisa dibaca dengan jelas. Tepatnya tiga angka bagian terakhir.

“Kenapa dua hari ini nasib gue apes terus ya?” keluh Dian nyaris berbisik.

“Itu tandanya lo disuruh perbanyak ibadah, Di.” Terdengar suara entah dari arah mana.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu langsung tegak. Bulu tengkuk merinding ketika ingat tidak ada lagi orang di ruang kerja, karena sudah menyebar ke lapangan mencari berita. Pandangan Dian berhenti tepat di kubikel depan.

“Astaga, Mbak! Lo bikin gue kaget aja,” tutur Dian mengusap dada sendiri saat mendapati rekan kerjanya duduk di sana. Perempuan berambut panjang itu sedang menyantap mie ayam dengan lahap.

“Kapan baliknya?” sambung Dian setelahnya.

“Sejak lo lihatin itu kartu nama.”

Tilikan netra hitamnya berpindah ke kartu nama yang ada di tangan. “Batal deh beli handphone baru gara-gara benerin mobil kantor.”

“Emangnya kenapa sih?” tanya perempuan itu sesekali mengunyah mie yang masuk ke mulut.

“Kemarin waktu berangkat ke Senayan, ada motor nyerempet mobil kantor trus dinding belakang tergores. Nah, si pengendara cuma tinggalin kartu nama. Katanya sih dese (dia) lagi buru-buru, ada kuliah atau apa gitu lupa,” papar Dian mengenang kejadian kemarin.

“Trus lo yang bayar biaya perbaikan?” Perempuan tersebut menegakkan kepala, agar bisa melihat Dian.

“Terpaksa, daripada kena omel bos.”

Gadis itu kembali merebahkan kepala ke atas meja.

“Ya udah, telepon aja orangnya. Udah dikasih kartu nama ini,” saran senior yang sudah lama bekerja di Yohwa.com and Magazine.

Dian mengangkat tangan ke atas, lalu memperlihatkan kartu nama yang sudah tidak berbentuk. “Kalau udah begini, gimana bisa baca nomornya, Mbak?”

Terdengar suara cekikikan di balik kubikel depan. “Beneran deh, Di. Lo harus perbanyak ibadah. Teguran tuh kayaknya.”

Dian menegakkan lagi kepala, kemudian menatap sengit seniornya. “Apaan sih, Mbak? Orang lagi kena musibah malah diketawain.”

“Dian, sini!” Suara bas menyela percakapan dua orang wartawati tersebut.

“Ya, Pak?” sahut Dian menoleh ke arah pintu ruangan redaktur.

Gatot menggamit tangan pertanda menyuruh Dian ke ruangannya. Gadis itu langsung berdiri seraya merobek kartu nama yang sudah tidak berarti apa-apa lagi, lantas membuangnya di tempat sampah. Dia kemudian melangkah cepat ke ruangan redaktur.

“Besok, kamu pergi temui orang ini.” Gatot meletakkan map cokelat tepat di depan Dian duduk.

Kening gadis itu berkerut bingung ketika ingin membuka map tersebut.

“Nanti saja bukanya. Sekarang dengarkan pengarahan saya dulu.” Perkataan Gatot menyurutkan niat Dian membuka map dan memilih fokus dengan apa yang akan disampaikan.

“Orang itu pakar politik Islam. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi sekarang, ‘kan? Ada sensitivitas terhadap ulama yang memberikan ceramah berkaitan dengan politik.” Gatot menyandarkan punggung di sofa.

“Kamu tahu ‘kan sekarang ceramah di masjid-masjid mulai dibatasi. Nah, kita harus muat berita tentang Islam dan politik. Sejauh mana keduanya berkaitan.” Pria itu melirik map yang ada di tangan. “Dia orang yang tepat untuk kamu tanyai. Jangan lupa siapkan pertanyaan yang bagus, agar bisa mengulik hal ini.”

Dian manggut-manggut paham dengan pengarahan dari redaktur. Meski tidak pernah datang ke masjid sebelumnya, tapi ia mendengar bagaimana pemerintah mulai sensitif dengan ceramah sekarang. Bahkan tak jarang ada intel yang disuruh mengawasi ceramah agama di beberapa masjid besar.

“Sekarang kamu bisa persiapkan materi yang akan ditanyakan untuk wawancara besok.” Gatot mengangkat jari telunjuk ke atas ketika menatap serius Dian. “Ingat! Jangan melakukan kesalahan. Jangan pernah menyudutkan Islam dan ulama juga. Kamu harus berada di posisi netral. Paham?!”

Terdengar tarikan napas dari sela hidung Dian sebelum menganggukkan kepala. “Paham, Pak. Ada lagi yang ingin disampaikan?”

Kepala yang dihiasi rambut model layered undercut itu menggeleng tegas. “Saya beri kamu waktu yang lama untuk menyelesaikan artikel itu, karena sangat sensitif. Buat semenarik mungkin.”

“Oke, Pak. Laksanakan.” Dian berdiri seraya menenteng map yang ada di tangan. “Kalau gitu saya permisi dulu, Pak. Mau persiapkan materi buat besok.”

Gatot mengangguk singkat sebelum mempersilakan Dian kembali ke kubikelnya.

Kaki Dian terasa berat ketika melangkah ke meja kerja. Beban di sana semakin berat mengingat berita yang akan ia buat benar-benar sensitif. Apalagi saat ini banyak perdebatan baik di media sosial dan nyata terjadi, karena tidak sepemahaman dalam agama. Politik dan Islam, jauh lebih sensitif lagi di zaman sekarang.

Dian terduduk lesu ketika mematut map cokelat yang ada di atas meja. Tarikan napas panjang terdengar di sela hidung yang tidak mancung dan berukuran sedang itu. Seperti yang dilakukan sebelum mewawancarai narasumber, dia selalu membaca profilnya terlebih dahulu, agar bisa menentukan pertanyaan yang akan diajukan nanti.

Dalam hitungan detik, biodata seorang pria sudah terpampang jelas di depan mata. Manik hitamnya bergerak terlebih dahulu ke atas, melihat foto berukuran 3x4 berada di sudut kiri atas kertas. Kelopaknya mengecil saat berusaha mengenali sosok yang ada di foto tersebut.

“Kayak nggak asing lagi. Pernah lihat di mana ya?” gumam Dian berusaha mengingat wajah yang mirip dengan pria yang ada di foto.

Pergerakan netranya berpindah ke tulisan nama yang ada di bagian bawah, Fajar Faizan MSc., Ph.D. Kelopak mata auto membulat sempurna ketika membaca latar pendidikan pria itu.

“S1 Islamic University of Madinah. S2 SOAS University of London (Politic and International Studies - Politics of Conflict, Rights and Justice). S3 SOAS University of London (Politic and International Studies - Islam and Politics),” gumam Dian nyaris histeris.

“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas.” Perkataan yang pernah dilontarkan oleh Jamilah tadi pagi terngiang di telinga.

Dian menepuk bagian atas pembatas kubikel. “Mbak,” panggilnya.

“Kenapa?” sahut wartawati senior tadi.

“Ada berapa nama Fajar yang Mbak kenal?”

“Banyak.”

“Ada berapa persentase seorang Fajar yang lulusan S1 di Madinah?” tanya Dian lagi memastikan.

“Kayaknya sih satu atau dua orang, kalau lo omongin orang Indo ya. Kenapa emang?” Perempuan itu kembali mendongakkan kepala sehingga bisa melihat binar di wajah Dian.

Gadis itu tersenyum lebar ketika ingat dengan Fajar yang ditemui saat subuh tadi, bukan Fajar yang telah membuat dinding mobil kantor lecet. Jantungnya kembali berdebar ketika melihat paras mirip dengan ustaz tampan yang mampu menghadirkan getar di hati.

“Tuhan permudah urusan gue bertemu dengannya, Mbak!” seru Dian girang.

“Maksudnya apaan?” Wanita berambut panjang itu menatap bingung.

“Gue … bisa dekat dengan si ustaz tampan,” cetus Dian tersenyum lebar dengan penuh suka cita.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status