Seperti pagi sebelumnya, Dian kembali melakukan salat Subuh ke masjid. Tentu saja berharap bisa berjumpa lagi dengan ustaz tampan bernama Fajar yang telah mencuri perhatiannya. Ah, hatinya juga.
Jangan pernah berpikir gadis itu telah menunaikan salat lima waktu, seperti yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Tidak! Dian hanya menunaikan salat Subuh saja, itupun dengan niat yang salah. Apalagi jika bukan mencari jodoh dan pagi tadi untuk bertemu dengan Fajar.
Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pria yang diidamkan ternyata tidak menunjukkan batang hidung di masjid tersebut. Dian kecewa luar biasa sampai berkali-kali ingin bertanya kepada ibu kemarin. Untuk menjaga wibawa, akhirnya ia menelan mentah-mentah pertanyaan tersebut.
“Cari ape sih, Mpok?” tanya Citra ketika melihat Dian krasak-krusuk mencari sesuatu di lemarinya.
Dian menoleh malas sebentar ke sela pintu, kemudian fokus lagi mengacak bagian dalam lemari.
“Ditanyain kagak dijawab. Heuh!” desah Citra kesal, kemudian berlalu dari sela pintu.
Bola mata hitam bulat milik Dian bergerak ke atas, sebelum melihat ke luar kamar. “Cit, lo punya gamis nggak?” teriaknya.
“Gamis?” sahut gadis berambut panjang dan berpenampilan lebih feminin dari kakaknya.
Dian segera berdiri, lalu beranjak ke luar kamar. “Iya gamis. Atau apa kek yang lengan panjang. Kemeja longgar juga boleh.”
Kepala Dian bergerak cepat ke kiri dan kanan. “Kalau bisa gamis sih. Long dress oke juga.”
Citra mengangkat bahu singkat dengan bibir melengkung ke bawah. “Kagak ada tuh.”
“Huuu,” cibir Dian dengan kepala terkulai lesu ke bawah.
“Tanya sama Nyak aja deh, Mpok. Nyak ‘kan sering pegi ke pengajian,” saran Citra kemudian.
Mata hitam kecil Citra menatap curiga sang Kakak. “Emang kenapa sih pagi-pagi cari gamis? Ada acara pengajian di kantor?”
Dian menggeleng. “Ada interview.”
Pandangan Citra semakin curiga kepada Dian, sehingga matanya tambah menyipit. “Interview siape?”
Dian tidak menggubris pertanyaan yang diajukan adiknya barusan. Kakinya bergerak menuju kamar Royati.
“Nyak,” panggilnya seraya mengetuk pintu.
Selang satu menit kemudian terdengar kunci pintu dibuka dari dalam. “Nape?” Kedua alis Royati naik ke atas.
Manik hitam Dian bergerak ke atas kepala hingga ujung kaki ibunya. Perlahan kepala menggeleng saat tahu ukuran pakaian Royati tidak akan cukup di tubuhnya. Sang Ibu memiliki tubuh sedikit gemuk dan lebih pendek dari Dian.
“Kagak jadi deh, Nyak,” sahutnya melangkah gontai ke ruang tamu.
“Mau interview siape sih, Mpok? Sampai-sampai pakai gamis segala? Anggota DPR dari parpol Islam?”
Citra masih kepo dengan keanehan sikap kakaknya pagi ini. Biasanya Dian tidak pernah uring-uringan seperti ini dalam memilih pakaian sebelum bekerja. Mau wawancara siapapun, ia tetap mengenakan pakaian yang menjadi ciri khasnya, kemeja lengan pendek dipadu dengan celana katun atau celana jeans.
“Harus banget pakai dress code?” Citra masih belum menyerah ternyata pemirsa.
Bibir Dian terbuka sedikit ketika ingin menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh adiknya. Namun akhirnya tertutup lagi. Percuma bercerita kepada gadis itu, jika pada akhirnya ia hanya akan mendapatkan cemoohan. Di saat seperti ini, ia jadi rindu dengan Rempongers yang akan selalu mendengarkan semua curhatannya.
Hanya embusan napas lesu yang terdengar ketika keinginan Dian untuk mengenakan pakaian menutup aurat harus pupus. Sudah tahu apa alasan yang membuat gadis tersebut pusing mencari gamis pagi ini, bukan?
***
Perlahan motor matic yang selalu menemani hari-hari Dian selama tiga tahun belakangan, berhenti di pelataran parkir gedung pascasarjana Universitas Islam yang berada di daerah Cempaka Putih. Berdasarkan data yang diberikan oleh Gatot kemarin, Fajar mengajar mahasiswa pascasarjana di universitas Islam.
Setelah memasukkan jaket ke bagasi motor, kemudian menggantungkan helm di kaca spion, Dian mengedarkan pandangan ke area koridor mencari keberadaan gedung tempat bagian administrasi berada. Perlahan senyum mengambang di wajah ketika melihat mahasiswa pascasarjana lalu lalang di sana.
“Ah, jadi kangen masa-masa kuliah dulu deh,” gumamnya tersenyum lebar.
Dian mengeluarkan ponsel dari saku celana, lantas mengabadikan pemandangan ini dengan kamera. Tak lama kemudian, dia mengirimkan foto tersebut ke ruang chat bernama Remponger5.
Me: Kangen masa kita kuliah dulu. :(
Mata hitam Dian terpejam sebentar ketika memanggil kembali memori pertemuan pertama dengan kelima sahabatnya. Waktu itu mereka masih sama-sama mahasiswa baru Fakultas Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Dian dan tiga orang sahabat yang lain mengambil jurusan yang sama, kecuali Raline.
Fokus Dian kembali beralih ke arah pintu gedung. Dia harus ke sana dulu, agar bisa mendapatkan informasi mengenai narasumber yang akan ditemui. Paling tidak mengetahui jadwal mengajar terlebih dahulu.
“Mudah-mudahan sih orangnya ada.” Dian kembali bermonolog ketika kaki terus melangkah menuju lobi.
Tiba di bagian administrasi, Dian menanyakan jadwal dosen politik Islam bernama Fajar Faizan. Petugas administrasi menginformasikan dosen tersebut memiliki jadwal mengajar pagi pukul 10.00. Berarti gadis itu harus menunggu dua jam, sebelum bisa berjumpa dengannya.
Sembari menunggu, Dian memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di koridor. Untuk mengisi waktu, ia kembali merogoh ponsel dari dalam saku dan melihat ruang chat Remponger5. Ternyata ruang obrolan sudah ramai. Gadis itu melepaskan tas ransel, kemudian diletakkan di atas paha. Dia membaca pesan balasan dari sahabat-sahabatnya.
Gigit: Kau sedang apa di sana, Di?
Keykey: Wah, mau cari jodoh ke kampus lo, Di? Gimana ikhtiar subuh lo kemarin?
In-In: Dian jadi ikutin saran Bang Daffa?
Keykey: Katanya sih gitu, nggak tahu jadi apa nggak.
Gigit: Macam mana ceritanya, Di? Kasih tahu kami semua.
Rara Kambing: Gue udah di Jakarta, Guys. Besok kita ketemu di tempat nongki biasa!
Senyum mengembang lagi di paras Dian ketika membaca pesan dari Raline. Akhirnya mereka bisa membentuk formasi lengkap setelah satu tahun.
Me: Besok gue cerita deh. Kita lengkap tuh semua.
Gigit: Serius kau?
Me: Serius gue, Git. Sekalian nih tanya pendapat lo semua.
In-in: Penasaran gue.
Keykey: Penasaran gue-1
Gigit: Penasaran gue-2
Rara Kambing: Penasaran gue-3
Dian tergelak menyadari tidak ada yang berubah dari keempat sahabatnya. Semua masih sama. Bahkan pola mengirim pesan juga sama. Sesaat kemudian perhatiannya tersita oleh sosok pria yang mengenakan kemeja berwarna biru laut dipadu dengan celana dasar berwarna hitam, melangkah di koridor. Jantung Dian kembali gaduh ketika melihat orang itu dengan saksama.
“Itu dia bukan sih?” bisiknya pelan.
Tatapan netra hitam bulat itu tidak beranjak dari pria tersebut. Penampilannya sangat berbeda dengan yang dilihat kemarin. Tidak ada peci menutup kepala, sehingga rambut model ivy league tersebut terlihat begitu saja. Tampak rapi menggunakan pomade, sehingga kening yang berukuran lebar terekspos dengan jelas.
“Ya ampun, lebih cakep lagi,” celetuk Dian tanpa sadar. Beruntung tidak ada mahasiswa di dekatnya.
Dian kembali mengantongi ponsel, lantas mencantolkan tas di pundak. Kedua tangan mengepal erat di samping tubuh, sebelum tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung. Dengan tekad yang bulat, ia akhirnya bergerak mendekati orang yang ditunggu.
“Pak Fajar,” panggilnya nyaris tercekat. Ternyata rasa gugup membuat Dian menjadi sosok berbeda.
Pria bertubuh lebih tinggi 20 centimeter dari Dian, langsung menoleh. Kening berkerut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Sesaat kemudian, pandangan netra berbentuk almond itu menatap ke bawah.
“Maaf, ganggu Pak Fajar. Perkenalkan saya Dian, wartawan Yohwa.com and Magazine. Boleh minta waktunya sebentar?” kata Dian memperkenalkan diri seraya mendongakkan sedikit kepala, karena jarak tinggi yang jauh di antara mereka.
Pandangan Fajar kembali naik sebentar ke arah Dian. Tak lama turun lagi ke bawah. Pria itu diam beberapa saat seperti mengingat sesuatu.
“Saya minta maaf masalah dua hari yang lalu, Mbak,” ucapnya masih menundukkan pandangan.
Kening Dian berkerut bingung. “Kemarin? Emang kita pernah ketemu sebelumnya? Bapak kayaknya salah orang deh,” sahutnya mengibaskan tangan.
Kepala pria itu bergerak ke kiri dan kanan. “Saya tidak salah orang. Mbak pengemudi mobil yang tidak sengaja diserempet motor saya, ‘kan?”
Mata hitam kecil Dian membulat sempurna mendengar perkataan Fajar. Perlahan kelopaknya berkedip. Bibir tipisnya sedikit terbuka ketika menyadari satu hal.
“Ba-bapak ….”
“Saya yang menyerempet mobil Mbak dua hari lalu.” Fajar membenarkan dugaan Dian.
Rasa kesal terhadap si pengendara motor yang mengendap di hati beberapa hari terakhir, kini menghilang. Senyum lebar tercetak di paras bulat Dian ketika berpikir, Tuhan sudah merancang pertemuan mereka sedemikian rupa. Apalagi jika bukan berpikir mereka berjodoh.
Bersambung....
“Bapak lagi nggak bercanda, ‘kan?” Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.“Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak.” Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.Dia ingat wajah gue? Jan
Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang dis
Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya
Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh
Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,
Dian mematut lama pantulan diri sendiri di cermin. Sebuah kerudung persegi empat yang dibentuk segi tiga warna abu-abu polos, kini telah membungkus rapi bagian kepala. Style sederhana yang dipelajarinya dari youtube. Tentunya masih menutupi bagian dada.“Kerudung yang benar itu menutupi dada ya, Kak.” Kalimat yang dilontarkan oleh Syukria kemarin menjadi acuan mencari style kerudung.Turun ke bawah blus berwarna abu-abu gelap dipadu dengan rok celana berwarna hitam, menutupi tubuh yang tidak tinggi dan tidak terlalu kurus.Terdengar tarikan napas dari sela hidung berukuran sedang milik Dian, ketika mempersiapkan diri menghadapi berbagai tanggapan yang akan diberikan oleh Royati dan Citra. Mereka berdua pasti syok melihat perubahan pertama dari gadis itu. Apalagi ia tidak pernah bercerita tentang keinginan mengenakan jilbab kepada mereka.“Lo udah biasa dengerin ledekan dari mereka, Di. Sekarang nggak perlu dihiraukan lagi.” Dian me
Entah berapa pasang mata yang menatap tak percaya ketika Dian menginjakkan kaki di gedung milik Yohwa Entertainment ini. Banyak yang tidak menyangka seorang perempuan tomboi dan berbicara sering tidak pakai filter, tiba-tiba berubah menjadi sosok wanita muslimah yang menutup aurat.Sebagian di antara mereka nyaris tidak mengenali Dian yang benar-benar tampak berbeda. Tidak tanggung-tanggung, ia mengenakan pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Kerudung bagian depan kanan juga terulur menutupi dada, meski bagian sisi kiri disematkan di bagian belakang kepala.“Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Mau cari siapa, Bu?”Beragam respons didapati oleh gadis itu sepanjang perjalanan menuju lantai lima, tempat Yohwa.com and Magazine berada. Hingga pada akhirnya Dian tiba di ruang kerja.“Hari ini ada anak baru ya?” tanya salah satu wartawan di bidang entertainment ketika melihat Dian memasuki area resepsionis lantai li
Dian duduk di ruang tunggu bengkel mobil di daerah Gunung Sahari. Gadis itu sedang menanti kedatangan Fajar yang akan membayar seluruh tagihan perbaikan. Untuk mengisi waktu, ia bermain ponsel mengirimkan pesan di ruang chat Remponger5.Me: @Rara Kambing Habis ini gue ke Gading ya. Masih kangen sama lo.Gadis itu ingin memberi kejutan kepada sahabatnya dengan penampilan sekarang. Dia butuh pendapat Raline tentang perubahannya, sekaligus mau berdiskusi juga dengan Daffa, kakak Raline.Keykey: Jam berapa tuh? Pas gue pulang kerja nggak? Mau ikut dong.Rara Kambing: Aman, gue hari ini nggak ke mana-mana kok, Di.Rara Kambing: Ayo, siapa lagi yang mau ke sini? Biar rame kita ngumpul-ngumpul. Minggu depan gue udah balik lagi ke London. :(Dian langsung antusias membalas pesan grup Remponger5.Me: Kira-kira satu jam lagi deh. Gue lagi di bengkel sekarang, t