Share

BAB 5: Pertemuan Kedua atau Ketiga?

Seperti pagi sebelumnya, Dian kembali melakukan salat Subuh ke masjid. Tentu saja berharap bisa berjumpa lagi dengan ustaz tampan bernama Fajar yang telah mencuri perhatiannya. Ah, hatinya juga.

Jangan pernah berpikir gadis itu telah menunaikan salat lima waktu, seperti yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Tidak! Dian hanya menunaikan salat Subuh saja, itupun dengan niat yang salah. Apalagi jika bukan mencari jodoh dan pagi tadi untuk bertemu dengan Fajar.

Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pria yang diidamkan ternyata tidak menunjukkan batang hidung di masjid tersebut. Dian kecewa luar biasa sampai berkali-kali ingin bertanya kepada ibu kemarin. Untuk menjaga wibawa, akhirnya ia menelan mentah-mentah pertanyaan tersebut.

“Cari ape sih, Mpok?” tanya Citra ketika melihat Dian krasak-krusuk mencari sesuatu di lemarinya.

Dian menoleh malas sebentar ke sela pintu, kemudian fokus lagi mengacak bagian dalam lemari.

“Ditanyain kagak dijawab. Heuh!” desah Citra kesal, kemudian berlalu dari sela pintu.

Bola mata hitam bulat milik Dian bergerak ke atas, sebelum melihat ke luar kamar. “Cit, lo punya gamis nggak?” teriaknya.

“Gamis?” sahut gadis berambut panjang dan berpenampilan lebih feminin dari kakaknya.

Dian segera berdiri, lalu beranjak ke luar kamar. “Iya gamis. Atau apa kek yang lengan panjang. Kemeja longgar juga boleh.”

Kepala Dian bergerak cepat ke kiri dan kanan. “Kalau bisa gamis sih. Long dress oke juga.”

Citra mengangkat bahu singkat dengan bibir melengkung ke bawah. “Kagak ada tuh.”

“Huuu,” cibir Dian dengan kepala terkulai lesu ke bawah.

“Tanya sama Nyak aja deh, Mpok. Nyak ‘kan sering pegi ke pengajian,” saran Citra kemudian.

Mata hitam kecil Citra menatap curiga sang Kakak. “Emang kenapa sih pagi-pagi cari gamis? Ada acara pengajian di kantor?”

Dian menggeleng. “Ada interview.”

Pandangan Citra semakin curiga kepada Dian, sehingga matanya tambah menyipit. “Interview siape?”

Dian tidak menggubris pertanyaan yang diajukan adiknya barusan. Kakinya bergerak menuju kamar Royati.

“Nyak,” panggilnya seraya mengetuk pintu.

Selang satu menit kemudian terdengar kunci pintu dibuka dari dalam. “Nape?” Kedua alis Royati naik ke atas.

Manik hitam Dian bergerak ke atas kepala hingga ujung kaki ibunya. Perlahan kepala menggeleng saat tahu ukuran pakaian Royati tidak akan cukup di tubuhnya. Sang Ibu memiliki tubuh sedikit gemuk dan lebih pendek dari Dian.

“Kagak jadi deh, Nyak,” sahutnya melangkah gontai ke ruang tamu.

“Mau interview siape sih, Mpok? Sampai-sampai pakai gamis segala? Anggota DPR dari parpol Islam?”

Citra masih kepo dengan keanehan sikap kakaknya pagi ini. Biasanya Dian tidak pernah uring-uringan seperti ini dalam memilih pakaian sebelum bekerja. Mau wawancara siapapun, ia tetap mengenakan pakaian yang menjadi ciri khasnya, kemeja lengan pendek dipadu dengan celana katun atau celana jeans.

“Harus banget pakai dress code?” Citra masih belum menyerah ternyata pemirsa.

Bibir Dian terbuka sedikit ketika ingin menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh adiknya. Namun akhirnya tertutup lagi. Percuma bercerita kepada gadis itu, jika pada akhirnya ia hanya akan mendapatkan cemoohan. Di saat seperti ini, ia jadi rindu dengan Rempongers yang akan selalu mendengarkan semua curhatannya.

Hanya embusan napas lesu yang terdengar ketika keinginan Dian untuk mengenakan pakaian menutup aurat harus pupus. Sudah tahu apa alasan yang membuat gadis tersebut pusing mencari gamis pagi ini, bukan?

***

Perlahan motor matic yang selalu menemani hari-hari Dian selama tiga tahun belakangan, berhenti di pelataran parkir gedung pascasarjana Universitas Islam yang berada di daerah Cempaka Putih. Berdasarkan data yang diberikan oleh Gatot kemarin, Fajar mengajar mahasiswa pascasarjana di universitas Islam.

Setelah memasukkan jaket ke bagasi motor, kemudian menggantungkan helm di kaca spion, Dian mengedarkan pandangan ke area koridor mencari keberadaan gedung tempat bagian administrasi berada. Perlahan senyum mengambang di wajah ketika melihat mahasiswa pascasarjana lalu lalang di sana.

“Ah, jadi kangen masa-masa kuliah dulu deh,” gumamnya tersenyum lebar.

Dian mengeluarkan ponsel dari saku celana, lantas mengabadikan pemandangan ini dengan kamera. Tak lama kemudian, dia mengirimkan foto tersebut ke ruang chat bernama Remponger5.

Me: Kangen masa kita kuliah dulu. :(

Mata hitam Dian terpejam sebentar ketika memanggil kembali memori pertemuan pertama dengan kelima sahabatnya. Waktu itu mereka masih sama-sama mahasiswa baru Fakultas Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Dian dan tiga orang sahabat yang lain mengambil jurusan yang sama, kecuali Raline.

Fokus Dian kembali beralih ke arah pintu gedung. Dia harus ke sana dulu, agar bisa mendapatkan informasi mengenai narasumber yang akan ditemui. Paling tidak mengetahui jadwal mengajar terlebih dahulu.

“Mudah-mudahan sih orangnya ada.” Dian kembali bermonolog ketika kaki terus melangkah menuju lobi.

Tiba di bagian administrasi, Dian menanyakan jadwal dosen politik Islam bernama Fajar Faizan. Petugas administrasi menginformasikan dosen tersebut memiliki jadwal mengajar pagi pukul 10.00. Berarti gadis itu harus menunggu dua jam, sebelum bisa berjumpa dengannya.

Sembari menunggu, Dian memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di koridor. Untuk mengisi waktu, ia kembali merogoh ponsel dari dalam saku dan melihat ruang chat Remponger5. Ternyata ruang obrolan sudah ramai. Gadis itu melepaskan tas ransel, kemudian diletakkan di atas paha. Dia membaca pesan balasan dari sahabat-sahabatnya.

Gigit: Kau sedang apa di sana, Di?

Keykey: Wah, mau cari jodoh ke kampus lo, Di? Gimana ikhtiar subuh lo kemarin?

In-In: Dian jadi ikutin saran Bang Daffa?

Keykey: Katanya sih gitu, nggak tahu jadi apa nggak.

Gigit: Macam mana ceritanya, Di? Kasih tahu kami semua.

Rara Kambing: Gue udah di Jakarta, Guys. Besok kita ketemu di tempat nongki biasa!

Senyum mengembang lagi di paras Dian ketika membaca pesan dari Raline. Akhirnya mereka bisa membentuk formasi lengkap setelah satu tahun.

Me: Besok gue cerita deh. Kita lengkap tuh semua.

Gigit: Serius kau?

Me: Serius gue, Git. Sekalian nih tanya pendapat lo semua.

In-in: Penasaran gue.

Keykey: Penasaran gue-1

Gigit: Penasaran gue-2

Rara Kambing: Penasaran gue-3

Dian tergelak menyadari tidak ada yang berubah dari keempat sahabatnya. Semua masih sama. Bahkan pola mengirim pesan juga sama. Sesaat kemudian perhatiannya tersita oleh sosok pria yang mengenakan kemeja berwarna biru laut dipadu dengan celana dasar berwarna hitam, melangkah di koridor. Jantung Dian kembali gaduh ketika melihat orang itu dengan saksama.

“Itu dia bukan sih?” bisiknya pelan.

Tatapan netra hitam bulat itu tidak beranjak dari pria tersebut. Penampilannya sangat berbeda dengan yang dilihat kemarin. Tidak ada peci menutup kepala, sehingga rambut model ivy league tersebut terlihat begitu saja. Tampak rapi menggunakan pomade, sehingga kening yang berukuran lebar terekspos dengan jelas.

“Ya ampun, lebih cakep lagi,” celetuk Dian tanpa sadar. Beruntung tidak ada mahasiswa di dekatnya.

Dian kembali mengantongi ponsel, lantas mencantolkan tas di pundak. Kedua tangan mengepal erat di samping tubuh, sebelum tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung. Dengan tekad yang bulat, ia akhirnya bergerak mendekati orang yang ditunggu.

“Pak Fajar,” panggilnya nyaris tercekat. Ternyata rasa gugup membuat Dian menjadi sosok berbeda.

Pria bertubuh lebih tinggi 20 centimeter dari Dian, langsung menoleh. Kening berkerut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Sesaat kemudian, pandangan netra berbentuk almond itu menatap ke bawah.

“Maaf, ganggu Pak Fajar. Perkenalkan saya Dian, wartawan Yohwa.com and Magazine. Boleh minta waktunya sebentar?” kata Dian memperkenalkan diri seraya mendongakkan sedikit kepala, karena jarak tinggi yang jauh di antara mereka.

Pandangan Fajar kembali naik sebentar ke arah Dian. Tak lama turun lagi ke bawah. Pria itu diam beberapa saat seperti mengingat sesuatu.

“Saya minta maaf masalah dua hari yang lalu, Mbak,” ucapnya masih menundukkan pandangan.

Kening Dian berkerut bingung. “Kemarin? Emang kita pernah ketemu sebelumnya? Bapak kayaknya salah orang deh,” sahutnya mengibaskan tangan.

Kepala pria itu bergerak ke kiri dan kanan. “Saya tidak salah orang. Mbak pengemudi mobil yang tidak sengaja diserempet motor saya, ‘kan?”

Mata hitam kecil Dian membulat sempurna mendengar perkataan Fajar. Perlahan kelopaknya berkedip. Bibir tipisnya sedikit terbuka ketika menyadari satu hal.

“Ba-bapak ….”

“Saya yang menyerempet mobil Mbak dua hari lalu.” Fajar membenarkan dugaan Dian.

Rasa kesal terhadap si pengendara motor yang mengendap di hati beberapa hari terakhir, kini menghilang. Senyum lebar tercetak di paras bulat Dian ketika berpikir, Tuhan sudah merancang pertemuan mereka sedemikian rupa. Apalagi jika bukan berpikir mereka berjodoh.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status