Share

BAB 3: Kegalauan Dian

“Dian, besok kamu datang ke Kementerian Sosial. Coba cek kegiatan menteri sekarang apa saja? Berita tentang beliau tidak segencar awal menjabat belakangan ini,” titah Gatot, redaktur keceh Yohwa.com and Magazine.

“Untuk berita media cetak kamu bisa cari topik apa saja yang kontroversi. Kamu udah pintarlah cari hot topic tanpa perlu disuruh lagi,” tambah pria itu menepuk bahu Dian sebelum meninggalkan ruang rapat.

Gadis itu hanya bisa pasrah seraya membuang napas lesu. Pikirannya sekarang bercabang. Tidak hanya masalah pekerjaan, tapi juga teror jodoh yang dilayangkan oleh sang Ibu. Kasihan juga jika Citra tidak jadi menikah karena dirinya.

“Nggak pulang, Kak?” tanya wartawan satu bidang dengannya saat melihat Dian masih bergeming di tempat duduk.

Kepala Dian bergerak lesu ke kiri dan kanan. Dia mengambil laptop dan buku catatan sebelum berdiri.

“Lagi nggak mood pulang gue, Cong,” jawabnya dengan wajah malas.

“Kok gitu?” Perempuan berkerudung itu melihat Dian dengan kening mengernyit. Tampak kegalauan di paras bulat tersebut. Dia berjalan pelan menyusul senior yang sudah terlebih dahulu keluar ruang rapat.

“Lagi panas di rumah.”

Dian menarik napas pendek seraya meletakkan lagi laptop dan buku catatan di atas meja kubikel. Sedetik kemudian dia terduduk lesu di kursi kerjanya. Ruangan kerja di bagian berita politik memanjang. Setiap meja kerja wartawan hanya dibatasi kubikel berwarna hijau muda. Dian dan Syukria duduk bersebelahan, sehingga mereka menjadi dekat.

“Masalah jodoh lagi?” tebak perempuan yang berusia lima tahun di bawah Dian.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu mengangguk cepat. Tangan Dian mengambil sesuatu dari tas ransel, lalu mengeluarkan satu kotak brownies yang dibeli tadi siang.

“Nih camilan buat ganjel lapar, Syuk,” tawar gadis itu menyodorkan kotak brownies kepada Syukria.

“Makasih, Kak,” ucap Syukria mengambil satu potong brownies, kemudian menggigitnya sedikit.

“Emang kenapa sih Kak Dian nggak mau dijodohin?” sambung Syukria setelah menelan gigitan brownies.

Dian melihat brownies yang ada di tangan, lalu mencomotnya seperempat. Potongan brownies langsung masuk ke mulut.

“Males. Coba lo bayangin deh nikah sama orang yang nggak dikenal dan nggak dicintai. Gimana ceritanya tuh,” tanggap Dian bergidik ngeri.

“Sahabat kakak juga nikah tanpa cinta, tapi sekarang rumah tangganya langgeng tuh,” komentar Syukria membuat wajah Dian berkerut.

“Itu karena si Rara dapat laki baik banget.” Dian berdecak kagum membayangkan perubahan besar dalam diri sahabatnya, Raline, sekarang.

“Ya kali aja nanti dapat suami juga baik.” Syukria mengambil tumbler minuman yang ada di atas meja. Setelah meneguk dua kali air minum, ia kembali menghadap kepada Dian.

“Aku juga nikah dijodohkan loh, Kak. Awalnya nggak cinta, tapi alhamdulillah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu,” jelas wanita itu seraya menyeka ujung bibir dengan tisu.

“Lo dijodohkan juga?” Dian menatap tak percaya.

Syukria menganggukkan kepala. “Lewat taaruf sih sama teman kakakku.”

Bola mata hitam bulat Dian berputar malas. “Yeey, sama orang yang dikenal enak, Cong. Lha cowok yang mau dikenalin nyokap gue nggak ada yang kenal satupun.”

“Auah, pusing banget gue. Adik gue yang kepengin nikah, malah gue yang didesak nikah,” keluh Dian mengembuskan napas singkat.

Kening Syukria kembali berkerut mendengar ucapan Dian barusan. “Aku juga langkahin Kakak kok, Kak. Emang kenapa kakak yang disuruh nikah? ‘Kan nggak ada hubungannya.”

Dian langsung menegakkan tubuh. “Serius? Emang boleh langkahi Kakak?”

Wanita berkerudung itu mengangguk lagi. “Kak Raline juga duluan nikah dari kakaknya, ‘kan?”

Gadis itu menaikkan bola mata seraya mencibir dan melempar tisu yang sudah diremas ke wajah Syukria. “Kakak si Rara cowok, Cong. Lha gue ‘kan cewek.”

“Eh, lo kok tahu banyak sih tentang si Rara?” Dian menyipitkan mata ketika melihat Syukria.

“Aku ngefans sama Kak Raline. Dari dulu ngikutin beritanya. Ikutan sedih juga waktu dia ditinggal kabur pas nikah. Untung dapat suami cakep, bule lagi,” komentar Syukria dengan wajah berbinar.

Dian manggut-manggut membenarkan perkataan Syukria. Menurutnya Raline memang wanita yang beruntung. Apalagi pernikahan yang berawal tanpa cinta, bisa langgeng hingga sekarang.

“Tapi nih ya, Kak. Dalam Islam nggak ada larangan langkahi kakak loh. Justru jika sudah ada jodohnya ya dianjurkan untuk menikah, bahkan bisa jadi wajib.” Syukria mengubah posisi duduk menjadi tegak dan menatap serius Dian. “Kasih pengertian aja sama mama kakak. Dosa loh larang orang nikah kalau nggak ada syariatnya.”

“Gitu ya? Jadi nggak harus gue yang nikah dulu?” Dian dan pengetahuan agama yang minim.

“Beneran, Kak. Tapi Kakak juga harus ikhtiar cari jodoh. Jangan sampai nggak nikah loh. Menikah itu sunah, barang siapa yang nggak mengamalkan sunah Rasulullah, orang itu bukanlah bagian dari umatnya.” Syukria memberi penegasan ketika mengucapkan bagian terakhir.

Dian kembali bergidik sembari mengusap tengkuk yang terasa merinding. Mata hitam bulat itu terpejam sebentar ketika ingat dengan nasihat yang diucapkan Daffa beberapa tahun lalu.

Oke, besok subuh gue akan berikhtiar cari jodoh di masjid, batinnya tanpa ragu.

***

Besok hari menjelang waktu subuh

Bunyi alarm ponsel terdengar nyaring memekakkan telinga. Dengkusan keras keluar dari sela hidung berukuran sedang milik gadis yang masih berada di bawah selimut. Berkali-kali ia mematikan alarm, suara nada dering kembali terdengar. Dian sengaja memasang empat alarm dengan rentang waktu lima menit dari alarm sebelumnya.

“Gue ngapain sih?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Cari cowok baik-baik di masjid subuh-subuh, Dian. Dasar pe’a, gerutu hatinya.

Dalam hitungan detik selimut yang menutupi tubuh langsung turun ke bawah. Mata yang tadi enggan dibuka, kini membulat sempurna.

“Bener, gue mau ke masjid cari jodoh!” serunya yakin.

Sesaat kemudian wajah yang tadi cerah, tiba-tiba berubah mendung.

“Kalau isinya aki-aki semua gimana?” Dian menarik lagi selimut menutupi hingga kepala.

“Nggak ada salahnya lihat dulu daripada menduga-duga.” Penggalan percakapan dengan Keysa kemarin kembali terngiang.

“Bener juga sih. Nggak ada salahnya dicoba dulu,” ujar Dian langsung mengubah posisi menjadi duduk. Dengan tekad yang bulat, ia langsung beranjak ke kamar mandi. Pagi ini, gadis tersebut memutuskan mandi terlebih dahulu agar wangi.

Selang lima belas menit kemudian, Dian sudah kembali lagi ke kamar mengenakan pakaian rumah. Langkah kaki bergerak menuju lemari, berniat mencari mukena yang sering dikenakan ketika melakukan salat Ied. Kepala auto terkulai lesu ke kanan saat ingat mukena dan sajadah yang dikenakan pasti berbau apek, karena sudah lama menjadi penghuni tetap lemari.

Bibir tipis itu melebar ketika tilikan mata berpindah ke arah pewangi pakaian. “Ayo, Di. Bau apek mukena dan sajadah bisa hilang pakai pewangi,” bisiknya seraya menaik-naikkan alis.

Sreet!

Sreet!

Sreet!

Beberapa semprotan telah memenuhi bagian permukaan satu setel mukena dan selembar sajadah. “Untuk menjaga kebersihkan kening, jadi bawa sajadah sendiri.”

Gadis itu mengendap-endap keluar dari kamar, khawatir jika ada yang memergoki. Bisa jadi bahan tertawaan jika sampai sang Adik melihat dirinya pergi ke masjid subuh-subuh. Dian paling tidak suka diejek dan diolok-olok oleh Citra.

Aman. Sekarang tinggal ke sana, batinnya menatap sengit pintu keluar rumah.

Kepala yang dihiasi rambut pendek itu bergerak ke kiri dan kanan dengan awas. Setelah memastikan belum ada pergerakan apa-apa di ruang tamu dan dapur, Dian segera melangkah cepat menuju pintu. Embusan napas lega meluncur begitu saja ketika berhasil melewati pintu rumah.

“Misi pertama selesai!” serunya mengantongi kunci rumah yang dipegangnya. Beruntung masing-masing penghuni memiliki kunci pintu masuk.

Dian menarik napas dalam terlebih dahulu, sebelum melangkah keluar pekarangan rumah. Jari tangan bergerak ke arah kepala, memastikan rambutnya sudah rapi. Pandangan turun ke bawah melihat pakaiannya telah layak dikenakan ke majid.

“Waktunya menjalankan misi berikut.”

Gadis itu melangkah maju tak gentar menuju masjid yang sebenarnya tidak jauh dari rumah. Hanya memakan waktu lima menit berjalan kaki. Namun selalu saja berat untuk dikunjungi.

Tiba di halaman masjid, netra hitam miliknya bergerak awas ke arah pintu masuk jamaah laki-laki. Seperti dugaan, mayoritas jamaah berusia lima puluh tahun ke atas. Sebentar! Kelopak mata Dian berkedip pelan, ketika melihat keberadaan anak berusia sekitar sepuluh tahun sedang melepaskan sandal sebelum memasuki masjid.

“Ada anak-anak juga ternyata.” Dian kembali bermonolog pelan. Paling tidak, kehadiran anak berusia sepuluh tahun, perlahan mengikis pikiran tentang usia jamaah masjid.

Suara adzan menyela monolog yang dilakukannya. Gadis itu segera melangkah menuju tempat mengambil air wudu. Begitu selesai mengambil wudu, Dian langsung dduduk di saf paling belakang. Pandangannya beredar melihat jamaah yang menunaikan salat sunah dua rakaat.

“Duduk depanan, Neng,” sapa seorang ibu-ibu berusia enam puluh tahunan seraya menepuk ruang kosong yang ada di samping, setelah melakukan salat sunnah.

Dian menganggukkan kepala seraya nyengir. “Di sini aja, Bu.”

Ibu itu mengibaskan tangan, lalu menepuk lagi ruang kosong yang di depan. “Jamaah wanita subuh-subuh tidak ramai. Biasanya satu saf,” jelasnya membuat Dian menelan ludah.

Yang ada di pikiran gadis itu sekarang adalah masjid yang didatangi jamaah ketika salat Ied dilaksanakan. Masjid yang ramai hingga penuh sampai bagian luar.

“Ya, Bu. Saya ke sana,” sahut Dian merasakan pipi yang memanas karena malu.

“Nah begitu. Habis salat subuh, katanya ada kultum dari ustaz lulusan Inggris.” Ibu tadi kembali mengajak Dian berbicara.

“Oya?” tanggap Dian kikuk.

“Ustaznya masih muda, tapi sudah punya gelar doktor,” balas perempuan paruh baya tersebut.

Wajah Dian langsung semringah mendengar perkataan wanita yang entah siapa ini. Pandangannya beralih ke arah saf laki-laki, meski terhalang tirai pembatas. Paling tidak, ada secercah harapan di hati dengan kehadiran pria yang katanya masih muda ini.

Suara ikamah menyela harapan yang mulai terpupuk di hati Dian. Saatnya menunaikan ibadah salat subuh. Tiba-tiba terasa colekan dari samping kanan, tempat ibu tadi berdiri.

“Ternyata ustaz itu yang jadi imam,” bisik perempuan paruh baya itu mengerling ke arah tempat imam berdiri.

Lirikan mata Dian beranjak ke tempat yang dimaksud oleh ibu tadi. Meski hanya melihat bagian belakang kepala hingga bahu, ia bisa memperkirakan usia pria yang kini bersiap untuk memimpin salat Subuh. Tubuh tinggi dan tegap, terlihat dari bahu. Rambut ditutupi peci berwarna putih.

Kayaknya masih muda banget tuh, duganya dalam hati.

Jantung Dian tiba-tiba menjadi gaduh ketika pria yang berdiri di tempat imam menoleh ke belakang. Mata hitam bulat itu tidak berkedip sedikitpun melihat sosok tampan nan rupawan sedang mengecek saf, sebelum salat dimulai. Hidung mancung itu terlihat begitu elok dari samping, ditambah lagi wajah sawo matang yang teduh karena sering terkena air wudu.

“Saf lurus dan dirapatkan,” ucap suara bariton membuat Dian merinding disko.

Abang Daffa bener. Gue ketemu malaikat pagi-pagi di masjid, bisik Dian di dalam hati dengan tatapan masih berbinar melihat sosok pria berparas tampan.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status