“Dian, besok kamu datang ke Kementerian Sosial. Coba cek kegiatan menteri sekarang apa saja? Berita tentang beliau tidak segencar awal menjabat belakangan ini,” titah Gatot, redaktur keceh Yohwa.com and Magazine.
“Untuk berita media cetak kamu bisa cari topik apa saja yang kontroversi. Kamu udah pintarlah cari hot topic tanpa perlu disuruh lagi,” tambah pria itu menepuk bahu Dian sebelum meninggalkan ruang rapat.
Gadis itu hanya bisa pasrah seraya membuang napas lesu. Pikirannya sekarang bercabang. Tidak hanya masalah pekerjaan, tapi juga teror jodoh yang dilayangkan oleh sang Ibu. Kasihan juga jika Citra tidak jadi menikah karena dirinya.
“Nggak pulang, Kak?” tanya wartawan satu bidang dengannya saat melihat Dian masih bergeming di tempat duduk.
Kepala Dian bergerak lesu ke kiri dan kanan. Dia mengambil laptop dan buku catatan sebelum berdiri.
“Lagi nggak mood pulang gue, Cong,” jawabnya dengan wajah malas.
“Kok gitu?” Perempuan berkerudung itu melihat Dian dengan kening mengernyit. Tampak kegalauan di paras bulat tersebut. Dia berjalan pelan menyusul senior yang sudah terlebih dahulu keluar ruang rapat.
“Lagi panas di rumah.”
Dian menarik napas pendek seraya meletakkan lagi laptop dan buku catatan di atas meja kubikel. Sedetik kemudian dia terduduk lesu di kursi kerjanya. Ruangan kerja di bagian berita politik memanjang. Setiap meja kerja wartawan hanya dibatasi kubikel berwarna hijau muda. Dian dan Syukria duduk bersebelahan, sehingga mereka menjadi dekat.
“Masalah jodoh lagi?” tebak perempuan yang berusia lima tahun di bawah Dian.
Kepala yang dihiasi rambut model bob itu mengangguk cepat. Tangan Dian mengambil sesuatu dari tas ransel, lalu mengeluarkan satu kotak brownies yang dibeli tadi siang.
“Nih camilan buat ganjel lapar, Syuk,” tawar gadis itu menyodorkan kotak brownies kepada Syukria.
“Makasih, Kak,” ucap Syukria mengambil satu potong brownies, kemudian menggigitnya sedikit.
“Emang kenapa sih Kak Dian nggak mau dijodohin?” sambung Syukria setelah menelan gigitan brownies.
Dian melihat brownies yang ada di tangan, lalu mencomotnya seperempat. Potongan brownies langsung masuk ke mulut.
“Males. Coba lo bayangin deh nikah sama orang yang nggak dikenal dan nggak dicintai. Gimana ceritanya tuh,” tanggap Dian bergidik ngeri.
“Sahabat kakak juga nikah tanpa cinta, tapi sekarang rumah tangganya langgeng tuh,” komentar Syukria membuat wajah Dian berkerut.
“Itu karena si Rara dapat laki baik banget.” Dian berdecak kagum membayangkan perubahan besar dalam diri sahabatnya, Raline, sekarang.
“Ya kali aja nanti dapat suami juga baik.” Syukria mengambil tumbler minuman yang ada di atas meja. Setelah meneguk dua kali air minum, ia kembali menghadap kepada Dian.
“Aku juga nikah dijodohkan loh, Kak. Awalnya nggak cinta, tapi alhamdulillah cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu,” jelas wanita itu seraya menyeka ujung bibir dengan tisu.
“Lo dijodohkan juga?” Dian menatap tak percaya.
Syukria menganggukkan kepala. “Lewat taaruf sih sama teman kakakku.”
Bola mata hitam bulat Dian berputar malas. “Yeey, sama orang yang dikenal enak, Cong. Lha cowok yang mau dikenalin nyokap gue nggak ada yang kenal satupun.”
“Auah, pusing banget gue. Adik gue yang kepengin nikah, malah gue yang didesak nikah,” keluh Dian mengembuskan napas singkat.
Kening Syukria kembali berkerut mendengar ucapan Dian barusan. “Aku juga langkahin Kakak kok, Kak. Emang kenapa kakak yang disuruh nikah? ‘Kan nggak ada hubungannya.”
Dian langsung menegakkan tubuh. “Serius? Emang boleh langkahi Kakak?”
Wanita berkerudung itu mengangguk lagi. “Kak Raline juga duluan nikah dari kakaknya, ‘kan?”
Gadis itu menaikkan bola mata seraya mencibir dan melempar tisu yang sudah diremas ke wajah Syukria. “Kakak si Rara cowok, Cong. Lha gue ‘kan cewek.”
“Eh, lo kok tahu banyak sih tentang si Rara?” Dian menyipitkan mata ketika melihat Syukria.
“Aku ngefans sama Kak Raline. Dari dulu ngikutin beritanya. Ikutan sedih juga waktu dia ditinggal kabur pas nikah. Untung dapat suami cakep, bule lagi,” komentar Syukria dengan wajah berbinar.
Dian manggut-manggut membenarkan perkataan Syukria. Menurutnya Raline memang wanita yang beruntung. Apalagi pernikahan yang berawal tanpa cinta, bisa langgeng hingga sekarang.
“Tapi nih ya, Kak. Dalam Islam nggak ada larangan langkahi kakak loh. Justru jika sudah ada jodohnya ya dianjurkan untuk menikah, bahkan bisa jadi wajib.” Syukria mengubah posisi duduk menjadi tegak dan menatap serius Dian. “Kasih pengertian aja sama mama kakak. Dosa loh larang orang nikah kalau nggak ada syariatnya.”
“Gitu ya? Jadi nggak harus gue yang nikah dulu?” Dian dan pengetahuan agama yang minim.
“Beneran, Kak. Tapi Kakak juga harus ikhtiar cari jodoh. Jangan sampai nggak nikah loh. Menikah itu sunah, barang siapa yang nggak mengamalkan sunah Rasulullah, orang itu bukanlah bagian dari umatnya.” Syukria memberi penegasan ketika mengucapkan bagian terakhir.
Dian kembali bergidik sembari mengusap tengkuk yang terasa merinding. Mata hitam bulat itu terpejam sebentar ketika ingat dengan nasihat yang diucapkan Daffa beberapa tahun lalu.
Oke, besok subuh gue akan berikhtiar cari jodoh di masjid, batinnya tanpa ragu.
***
Besok hari menjelang waktu subuh
Bunyi alarm ponsel terdengar nyaring memekakkan telinga. Dengkusan keras keluar dari sela hidung berukuran sedang milik gadis yang masih berada di bawah selimut. Berkali-kali ia mematikan alarm, suara nada dering kembali terdengar. Dian sengaja memasang empat alarm dengan rentang waktu lima menit dari alarm sebelumnya.
“Gue ngapain sih?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Cari cowok baik-baik di masjid subuh-subuh, Dian. Dasar pe’a, gerutu hatinya.
Dalam hitungan detik selimut yang menutupi tubuh langsung turun ke bawah. Mata yang tadi enggan dibuka, kini membulat sempurna.
“Bener, gue mau ke masjid cari jodoh!” serunya yakin.
Sesaat kemudian wajah yang tadi cerah, tiba-tiba berubah mendung.
“Kalau isinya aki-aki semua gimana?” Dian menarik lagi selimut menutupi hingga kepala.
“Nggak ada salahnya lihat dulu daripada menduga-duga.” Penggalan percakapan dengan Keysa kemarin kembali terngiang.
“Bener juga sih. Nggak ada salahnya dicoba dulu,” ujar Dian langsung mengubah posisi menjadi duduk. Dengan tekad yang bulat, ia langsung beranjak ke kamar mandi. Pagi ini, gadis tersebut memutuskan mandi terlebih dahulu agar wangi.
Selang lima belas menit kemudian, Dian sudah kembali lagi ke kamar mengenakan pakaian rumah. Langkah kaki bergerak menuju lemari, berniat mencari mukena yang sering dikenakan ketika melakukan salat Ied. Kepala auto terkulai lesu ke kanan saat ingat mukena dan sajadah yang dikenakan pasti berbau apek, karena sudah lama menjadi penghuni tetap lemari.
Bibir tipis itu melebar ketika tilikan mata berpindah ke arah pewangi pakaian. “Ayo, Di. Bau apek mukena dan sajadah bisa hilang pakai pewangi,” bisiknya seraya menaik-naikkan alis.
Sreet!
Sreet!
Sreet!
Beberapa semprotan telah memenuhi bagian permukaan satu setel mukena dan selembar sajadah. “Untuk menjaga kebersihkan kening, jadi bawa sajadah sendiri.”
Gadis itu mengendap-endap keluar dari kamar, khawatir jika ada yang memergoki. Bisa jadi bahan tertawaan jika sampai sang Adik melihat dirinya pergi ke masjid subuh-subuh. Dian paling tidak suka diejek dan diolok-olok oleh Citra.
Aman. Sekarang tinggal ke sana, batinnya menatap sengit pintu keluar rumah.
Kepala yang dihiasi rambut pendek itu bergerak ke kiri dan kanan dengan awas. Setelah memastikan belum ada pergerakan apa-apa di ruang tamu dan dapur, Dian segera melangkah cepat menuju pintu. Embusan napas lega meluncur begitu saja ketika berhasil melewati pintu rumah.
“Misi pertama selesai!” serunya mengantongi kunci rumah yang dipegangnya. Beruntung masing-masing penghuni memiliki kunci pintu masuk.
Dian menarik napas dalam terlebih dahulu, sebelum melangkah keluar pekarangan rumah. Jari tangan bergerak ke arah kepala, memastikan rambutnya sudah rapi. Pandangan turun ke bawah melihat pakaiannya telah layak dikenakan ke majid.
“Waktunya menjalankan misi berikut.”
Gadis itu melangkah maju tak gentar menuju masjid yang sebenarnya tidak jauh dari rumah. Hanya memakan waktu lima menit berjalan kaki. Namun selalu saja berat untuk dikunjungi.
Tiba di halaman masjid, netra hitam miliknya bergerak awas ke arah pintu masuk jamaah laki-laki. Seperti dugaan, mayoritas jamaah berusia lima puluh tahun ke atas. Sebentar! Kelopak mata Dian berkedip pelan, ketika melihat keberadaan anak berusia sekitar sepuluh tahun sedang melepaskan sandal sebelum memasuki masjid.
“Ada anak-anak juga ternyata.” Dian kembali bermonolog pelan. Paling tidak, kehadiran anak berusia sepuluh tahun, perlahan mengikis pikiran tentang usia jamaah masjid.
Suara adzan menyela monolog yang dilakukannya. Gadis itu segera melangkah menuju tempat mengambil air wudu. Begitu selesai mengambil wudu, Dian langsung dduduk di saf paling belakang. Pandangannya beredar melihat jamaah yang menunaikan salat sunah dua rakaat.
“Duduk depanan, Neng,” sapa seorang ibu-ibu berusia enam puluh tahunan seraya menepuk ruang kosong yang ada di samping, setelah melakukan salat sunnah.
Dian menganggukkan kepala seraya nyengir. “Di sini aja, Bu.”
Ibu itu mengibaskan tangan, lalu menepuk lagi ruang kosong yang di depan. “Jamaah wanita subuh-subuh tidak ramai. Biasanya satu saf,” jelasnya membuat Dian menelan ludah.
Yang ada di pikiran gadis itu sekarang adalah masjid yang didatangi jamaah ketika salat Ied dilaksanakan. Masjid yang ramai hingga penuh sampai bagian luar.
“Ya, Bu. Saya ke sana,” sahut Dian merasakan pipi yang memanas karena malu.
“Nah begitu. Habis salat subuh, katanya ada kultum dari ustaz lulusan Inggris.” Ibu tadi kembali mengajak Dian berbicara.
“Oya?” tanggap Dian kikuk.
“Ustaznya masih muda, tapi sudah punya gelar doktor,” balas perempuan paruh baya tersebut.
Wajah Dian langsung semringah mendengar perkataan wanita yang entah siapa ini. Pandangannya beralih ke arah saf laki-laki, meski terhalang tirai pembatas. Paling tidak, ada secercah harapan di hati dengan kehadiran pria yang katanya masih muda ini.
Suara ikamah menyela harapan yang mulai terpupuk di hati Dian. Saatnya menunaikan ibadah salat subuh. Tiba-tiba terasa colekan dari samping kanan, tempat ibu tadi berdiri.
“Ternyata ustaz itu yang jadi imam,” bisik perempuan paruh baya itu mengerling ke arah tempat imam berdiri.
Lirikan mata Dian beranjak ke tempat yang dimaksud oleh ibu tadi. Meski hanya melihat bagian belakang kepala hingga bahu, ia bisa memperkirakan usia pria yang kini bersiap untuk memimpin salat Subuh. Tubuh tinggi dan tegap, terlihat dari bahu. Rambut ditutupi peci berwarna putih.
Kayaknya masih muda banget tuh, duganya dalam hati.
Jantung Dian tiba-tiba menjadi gaduh ketika pria yang berdiri di tempat imam menoleh ke belakang. Mata hitam bulat itu tidak berkedip sedikitpun melihat sosok tampan nan rupawan sedang mengecek saf, sebelum salat dimulai. Hidung mancung itu terlihat begitu elok dari samping, ditambah lagi wajah sawo matang yang teduh karena sering terkena air wudu.
“Saf lurus dan dirapatkan,” ucap suara bariton membuat Dian merinding disko.
Abang Daffa bener. Gue ketemu malaikat pagi-pagi di masjid, bisik Dian di dalam hati dengan tatapan masih berbinar melihat sosok pria berparas tampan.
Bersambung....
Dian tersenyum sendiri ketika ingat dengan bacaan ayat al-qur’an yang dilantunkan oleh ustaz tampan ketika salat subuh tadi. Suaranya begitu merdu, iramanya juga indah. Terdengar seperti bacaan imam salat Ied di televisi.“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas,” kata wanita paruh baya bernama Jamilah, yang tadi duduk di sebelah Dian. Dialog itu tercipta ketika ia memuji kefasihan ustaz tampan bernama Fajar dalam membacakan ayat demi ayat al-qur’an.Gadis itu langsung menelan ludah ketika ingat dengan nama Fajar. Seperti baru saja didengar dua hari terakhir, tapi di mana ya?“Astaga!” serunya menepuk kening sendiri saat berdiri di depan cermin kamar.“Namanya sama dengan cowok yang kemarin bikin dinding mobil kantor lecet. Mana gue lupa lagi telepon gara-gara kebanyakan pikiran,” sambung Dian segera mengambil ponsel dari atas nakas.“Kartu nama!&
Seperti pagi sebelumnya, Dian kembali melakukan salat Subuh ke masjid. Tentu saja berharap bisa berjumpa lagi dengan ustaz tampan bernama Fajar yang telah mencuri perhatiannya. Ah, hatinya juga.Jangan pernah berpikir gadis itu telah menunaikan salat lima waktu, seperti yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Tidak! Dian hanya menunaikan salat Subuh saja, itupun dengan niat yang salah. Apalagi jika bukan mencari jodoh dan pagi tadi untuk bertemu dengan Fajar.Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pria yang diidamkan ternyata tidak menunjukkan batang hidung di masjid tersebut. Dian kecewa luar biasa sampai berkali-kali ingin bertanya kepada ibu kemarin. Untuk menjaga wibawa, akhirnya ia menelan mentah-mentah pertanyaan tersebut.“Cari ape sih, Mpok?” tanya Citra ketika melihat Dian krasak-krusuk mencari sesuatu di lemarinya.Dian menoleh malas sebentar ke sela pintu, kemudian fokus lagi mengacak bagian dalam lemari.“Ditany
“Bapak lagi nggak bercanda, ‘kan?” Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.“Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak.” Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.Dia ingat wajah gue? Jan
Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang dis
Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya
Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh
Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,
Dian mematut lama pantulan diri sendiri di cermin. Sebuah kerudung persegi empat yang dibentuk segi tiga warna abu-abu polos, kini telah membungkus rapi bagian kepala. Style sederhana yang dipelajarinya dari youtube. Tentunya masih menutupi bagian dada.“Kerudung yang benar itu menutupi dada ya, Kak.” Kalimat yang dilontarkan oleh Syukria kemarin menjadi acuan mencari style kerudung.Turun ke bawah blus berwarna abu-abu gelap dipadu dengan rok celana berwarna hitam, menutupi tubuh yang tidak tinggi dan tidak terlalu kurus.Terdengar tarikan napas dari sela hidung berukuran sedang milik Dian, ketika mempersiapkan diri menghadapi berbagai tanggapan yang akan diberikan oleh Royati dan Citra. Mereka berdua pasti syok melihat perubahan pertama dari gadis itu. Apalagi ia tidak pernah bercerita tentang keinginan mengenakan jilbab kepada mereka.“Lo udah biasa dengerin ledekan dari mereka, Di. Sekarang nggak perlu dihiraukan lagi.” Dian me