Kisah seorang kupu-kupu malam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak? kliennya adalah para miliuner serta orang berpengaruh di berbagai negeri. Perangainya yang cerdas tidak hanya mengandalkan kemolekan serta kecantikan paripurna sekelas bintang film papan atas, menjadi nilai plus untuknya hingga mampu membuat setiap pria memujanya. Namun, hidupnya tidak semulus yang terlihat. Trauma masa lalu membuatnya membenci para pria, yg di matanya hanya ingin mengambil keuntungan serta tidak setia. Makhluk paling keji yg dibencinya itu dimanfaatkan balik olehnya dengan manipulasi dan intrik jeratan bagai laba-laba betina. Ingin tahu perjalanannya? Seperti apakah trauma masa lalunya? Kisah berlatar belakang di negeri paman Sam Mohon bijak dalam membaca.
Lihat lebih banyakBelltown, Seattle
Drap
Drap
Drap
Suara langkah kaki yang menyatu dengan genangan air terdengar nyaring di sepanjang lorong jalan tikus yang tampak sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya seorang pria yang sibuk berlari bak sedang marathon di sebuah olimpiade. Cepat, tapi tidak beraturan. Beberapa kali ia menubruk apa pun yang ada di depannya.
Hosh
Hosh
Deru nafas memburu disertai peluh keringat membasahi kening hingga tubuhnya yang seharusnya kedinginan, karena baru saja selesai turun hujan.
“Sedikit lagi,” gumamnya dengan nada penuh harap.
Pria itu terus berlari hingga hampir menggapai sebuah pintu dan ….
DOOORR!!!
Sebutir timah panas tampak menembus dada hingga menyeruakkan percikan darah di mana-mana. Sosok itu tumbang dengan tatapan tertuju pada pintu yang akhirnya terbuka, menampakkan seorang wanita yang terpaku pucat.
“TIDAAAKKK!!!”
Eva bangkit dari tidurnya, mimpi buruk itu selalu menghantui sejak 5 tahun yang lalu. Ia menyugar kasar rambut hitam legam miliknya. Meremas selimut menahan sesak, tidak lama bulir airmata menetes membasahi pipinya.
“Lucas ….”
Memori kelam itu tidak akan pernah hilang dalam ingatannya,sebagaimana semua mengubah hidupnya yang dulu bahagia menjadi merana. Tidak ada yang tersisa, semuanya tergerus oleh arogansi dan ketamakan orang-orang berkuasa, tidak tersentuh bagai dewa. Kini hanya amarah dan kebencian yang dia miliki. Hanya itu yang membuatnya bertahan hingga saat ini.
***
The Fairmont Olympic Hotel.
“Eva, malam ini kamu ada dinner di Wild Ginger,” ucap seorang wanita paruh baya. Tampilannya sangat nyentrik dengan rambutnya yang berwarna-warni menyerupai permen lollipop.
“The shops at Braven?” Eva menoleh sambil mengunyah sarapannya.
Wanita yang diperkirakan berumur 55 tahun tersebut mengusap dagunya seraya memandang majalah forbes. “Ya, tapi … jika kamu keberatan aku akan mencari penggantimu. Klien kali ini terkenal tempramennya yang sangat buruk. Sungguh penampilan yang menipu.”
“Oh ya? Kau lebih tau, Madam. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik yang aku bisa,” sahut Eva santai, ia menyesap anggur putih.
“Itu yang membuatku sangat menyayangimu,” seru Madam Lucy senang. Ia mengecup pipi Eva setelah melempar majalah yang barusan dilihatnya.
Eva tersenyum tipis lalu berjalan menuju walk in closet. Tanpa sengaja netranya menyapu majalah yang Madam Lucy lempar. Seketika Eva memungut majalah tersebut, ia menatapnya dengan seksama.
“Apa dia … klien yang Madam maksud?” tanya Eva ingin tahu. Diam-diam ia meremas pinggiran majalah.
Madam Lucy yang sedang menonton TV pun melihat ke arah Eva. “Benar, dia memintaku untuk diberikan golden service. Tentu saja kau yang terbaik Eva. Kamulah primadonaku, tapi … tenang saja. Aku sedang mencari cara dan memilah yang lain yang meski tidak sebaik kamu. Dia tidak akan rugi.”
Eva terdiam sejenak sebelum kembali berkata. “Tidak perlu pengganti, biarkan aku datang nanti malam!”
Madam Lucy beranjak dari duduknya, kemudian mendekati Eva. “A-apa? Eva, kau serius?”
“Beritahu aku, apa konsekuensinya jika aku digantikan dengan yang lain?”
Madam Lucy meneguk salivanya kasar, sejauh ini dia tidak terlalu memikirkannya. Baru saja Eva memperingatkan akan bahaya yang mungkin wanita paruh baya itu dapatkan. Eva sangat mengenal pria yang menggunakan jasanya kali ini, sangat baik hingga ia tidak sabar untuk segera bertemu. Setelah sekian lama mengarungi dunia malam, kesempatan itu pun datang. Penantian untuk menuai pembalasan.
***
Sebuah limosin berhenti tepat di depan lobi hotel yang sedang Eva inapi. Wanita itu baru saja selesai bersiap untuk acara dinner yang sudah terjadwal. Eva mengangkat sudut bibirnya mengacungi ketepatan waktu panjemput itu.
“On time sekali, benar-benar tidak mau rugi,” decihnya mengejek.
Tidak lama sang sopir turun dan menyapa Eva. Penampilan Eva memang sangat menawan, bukan karena riasannya yang berlebihan. Tapi karena kesan yang ia berikan sangatlah menarik perhatian. Padahal ia mengenakan sebuah topeng di wajahnya, tapi setiap orang yang berlalu lalang seolah terhipnotis untuk menatapnya. Kecantikan itu tidak tertutupi bahkan oleh sebuah topeng sekalipun.
“Dengan nona Eva?”
“Benar, saya sendiri.”
“Tuan Steve meminta saya untuk menjemput Anda, mari Nona,” Sopir itu tersenyum ramah seraya membuka pintu mobil mempersilahkan Eva untuk menaikinya.
Mendengar nama itu disebutkan sejenak membuat Eva tersentak, dia meremas tas yang sedang dipegangnya sesaat sebelum membalas sang sopir dengan senyuman. “Terima kasih.”
Steve Arnault, seorang pengusaha investasi multinasional Amerika yang berbasis di New York City. Nama perusahaannya sendiri adalah BlackRiver. BlackRiver merupakan salah satu perusahaan paling berpengaruh di seluruh dunia. Karena telah menanam saham dalam jumlah besar pada hampir seluruh perusahaan “besar” di seluruh dunia. Tentu saja itu tidak diraih oleh Steve Arnault seorang diri, ia merupakan generasi ke-3 penerus perusahaan tersebut. Hingga usianya kini menginjak 30 tahun, banyak perkembangan positif yang berhasil diraihnya, setidaknya itu yang public tahu akan kehebatan dan ketenaran Black River di bawah naungannya.
Eva termenung sepanjang jalan menuju Wild Ginger, hingga dering ponsel menyadarkannya. Wanita itu menghembuskan napas pelan kemudian menerima panggilan.
“Eva, apa kau sudah sampai tempat tujuan?” Tanya Madam Lucy di seberang sana. Dari suaranya tersirat perasaan khawatir.
“Belum, sepertinya sebentar lagi,” Eva menoleh pada pemandangan jalanan. “kurang lebih 10 menit.”
“Uhm, jika dia melakukan hal yang diluar nalar. Kamu sebaiknya melarikan diri.”
“Madam, tenang saja. Aku akan mengatasinya.”
“Eva, aku berhutang banyak padamu.”
“Semua sesuai dengan perjanjian kita. Aku harap Madam tidak lupa.”
“Tentu saja, semua akan sesuai dengan yang sudah kita sepakati, meski mungkin aku akan merasa kehilangan.”
Eva tersenyum mendengar jawaban Madam Lucy, perjanjian mereka adalah Eva akan segera pensiun saat ia memutuskan untuk berhenti dari profesinya saat ini. Tidak mudah mendapatkan kesepakatan itu, malah terdengar mustahil. Namun, Eva berhasil memenuhi persyaratan yang Madam Lucy berikan. Yaitu menghasilkan uang setara gaji artis Hollywood papan atas setiap bulannya.
Sejak pertama Eva menginjak dunia malam, ia langsung menjadi yang terbaik dan selalu menjadi incaran para taipan berpengaruh. Karena selain cantik, Eva memiliki pengetahuan yang luas serta kelihaian dalam mengimbangi kliennya. Bahkan ada yang menyewanya hanya untuk meminta pendapat dalam mengambil keputusan. Tidak ada yang bisa Madam Lucy lakukan selain mengabulkan permintaan Eva.
“Kita sudah sampai, Nona,” ucap Sang Sopir memberitahu.
Eva mengangguk lalu memutuskan panggilan dengan Madam Lucy. “Madam, aku akan menelponmu lagi, sekarang aku harus menemui Tuan Steve.”
“Oh, baiklah! Selamat bersenang-senang, sayang.”
Eva menuruni limosin dengan bantuan Sang sopir. Attitude yang diberikan pasti membuat setiap wanita terkagum-kagum dengan Tuan Steve. Memperlakukan wanita bak ratu. Tapi, itu hanya sebagai topeng. Nyatanya, pria itu terkenal dengan sikapnya yang kasar dan suka merendahkan, khususnya untuk wanita yang berprofesi sepeti Eva. Entah … mungkin semua hanya untuk menjaga citranya tetap baik dimata orang banyak.
Wanita itu masuk ke dalam sebuah restorant ternama yang kabarnya butuh waktu lama untuk sekedar mereservasi saja. Eva tidak mengindahkan, hal seoperti ini sudah menjadi kebiasaan para pria berkuasa yang uangnya tidak berseri. Hal semacam ini merupakan hal lumrah yang tidak terlalu spasial di mata Eva.
Langkah anggun Eva semakin dekat menuju meja yang telah diduduki oleh seorang pria hingga ia tepat di belakang kursinya.
“Ck, aku menunggu 10 menit hanya untuk bertemu dengan wanita penghibur.”
“Maafkan saya telah membuat Tuan menunggu,” sahut Eva setelah mendengar keluhan Kliennya yang tidak sadar jika dirinya telah sampai.
Pria dengan surai coklat keemasan itu menoleh, tatapan manik birunya memindai Eva dari rambut hingga kaki seolah menelanjangi.
“Topeng?” seringainya mengejek.
“Tentu hal yang membuat penasaran menjadi lebih menantang.”
Pria bernama Steve itu beranjak dari duduknya, meraih tangan Eva untuk dikecup. Di sela itu ia berbisik.
“Buka sekarang, aku tidak mau tertipu saat membawamu ke kamarku.”
Tanpa menunggu lama, Eva pun menuruti permintaan sarkas Tuan Steve. Sejak pertama bertemu kesan buruk telah ia dapatkan. Tapi, Eva berusaha tenang.
“Semoga Tuan tidak menyesal membawa saya,” ucap Eva seraya melepas topengnya.
Tbc.
Sebuah ruangan sunyi dan luas, dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding berwarna kuning keemasan. Tirai beludru gelap ditutup rapat, menutupi panorama kota New York dari lantai atas apartemen mewah itu. Di tengah ranjang king size berseprai satin abu-abu gelap, Eva terbaring dengan napas teratur, tubuhnya masih telanjang di balik selimut tipis yang nyaris tidak menutupi apapun.Ia terbangun perlahan. Kelopak matanya terasa berat, dan otot-otot tubuhnya nyeri setelah pergelutan hasrat yang begitu panjang, hari yang penuh permainan, penaklukan, dan gairah yang melelahkan.Namun yang paling mengejutkan bukan rasa lelah itu. Melainkan... tempat ini.Eva menyipitkan mata, mengamati ruangan asing ini. Ini bukan ruangan khusus di kantor Steve. Ini jauh lebih personal. Lebih... intim.“Ini apartemen?” gumamnya pelan.Rasa panik seketika menjalari tubuhnya. Kabarnya selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menembus tempat ini, tempat paling privat milik Steve Arnault. Semua intera
Hari sudah siang saat Eva bersiap untuk pulang. Ia berdiri di depan cermin di kamar Bryan, mengikat rambutnya, lalu merapikan kemeja pria yang ia pinjam. Bryan, yang bersandar di pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kau benar-benar cantik, bahkan dalam bajuku,” gumam Bryan dengan suara rendah.Eva meliriknya melalui pantulan cermin, lalu tersenyum tipis. “Dan kau benar-benar klise.”Bryan tertawa pelan, melangkah mendekat dan menyentuh pinggang Eva dengan lembut.“Aku serius. Aku rasa… aku mulai menyukaimu lebih dari yang seharusnya.” Diam-diam membaui aroma khas Eva yang memabukkan.Eva membalikkan badan, menatap Bryan sejenak. “Itu bukan ide yang bagus.”Bryan menghela napas, lalu mengangguk. “Ya, aku tahu. Tapi perasaan tidak bisa selalu dikendalikan, bukan?”Eva tidak menjawab. Ia hanya menyentuh wajah Bryan sekilas, lalu beranjak pergi.***Sementara itu…Steve duduk di dalam mobilnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir dengan gelisah. Setelah menerima pe
Seperti biasa, Eva bersiap untuk pulang setelah menyelesaikan tugas. Ia memilih t-shirt dengan celana joger sebagai pakaian ganti. Sementara Steve sedang merokok di balkon kamar hotel. Eva mendekat hendak pamit. "Terima kasih, Eva," kata Steve dengan nada sombong sambil menghembuskan asap rokok. Maniknya menelisik penampilan Eva yang selalu tampak memukau dengan berbagai busana, bahkan dengan pakaian santai sekalipun. "Kau selalu bisa diandalkan untuk membuat malamku lebih menyenangkan."Eva tersenyum tipis. "Ya, tentu saja, Tuan Steve. Ini tugas saya." Sebuah kata biasa yang seharusnya tidak mengganggu untuk Steve yang notabene memandang rendah para wanita penghibur, namun entah mengapa kali ini sedikit menyentil sanubarinya.Steve mengangguk menutupi perasaannya itu, lalu Eva menambahkan, “Saya harus pulang sekarang, sampai jumpa.”Wanita itu memutar tubuhnya berniat untuk segera pergi hingga ucapan Steve menghentikan langkah Eva. "Apa kau punya rencana untuk besok?"Eva menoleh
Terlahir sebagai pemegang sendok emas serta dikarunia wajah bagai pahatan patung yunani membuat Steve selalu dikelilingi oleh wanita cantik. Hal itu pun membuat standarnya menjadi setinggi langit. Dari model, aktris hollywod hingga anak pejabat sudah sering menghangatkan ranjangnya. Tidak sedikit yang terus mengejar Steve agar bisa mengulang malam panas mereka. Sayangnya, Steve kurang antusias jika melakukan kembali dengan 1 orang yg sama. Tapi entah mengapa Eva menjadi pengecualian. Sejak pertemuan pertama, wanita itu berhasil mengambil perhatian Steve hingga ia tidak rela jika Eva melayani pria hidung belang lain. Mungkin ada sisi manusiawi yang mengakui jika pria sejenis dirinya adalah makhluk brengsek. Jadi, cukup dia yang brengsek serta Bryan sebagai anteknya. Manik biru itu menyusuri penampakan sosok yang tertidur pulas di atas sofa. Penampilannya sangat sederhana, hanya dengan kemeja kebesaran tanpa bawahan. Justru itu membuat Eva semakin menggoda. "Wanita ini, bukankah aku
Terdengar suara pintu terbuka, bersamaan dengan itu tampak sesosok manusia yang berjalan gontai memasuki ruangan. Seolah tidak bertenaga ia ambruk begitu saja ke atas ranjang. Matanya terpejam menikmati lembutnya sprai yang baru diganti dengan harum lavender. Tidak lama tubuhnya bergetar pelan, samar kemudian terhenti. Seraya menghirup udara dalam lalu membuka mata, menatap langit-langit kamar. Entah apa yang ada dipikirannya, tersirat rautnya yang penuh beban.“Bertahanlah sedikit lagi, Eva,” gumamnya menguatkan diri. Sosok itu tidak lain adalah Eva yang baru saja pulang dari hotel tempatnya menghabiskan malam bersama Steve dan Bryan. Perjanjian sialan itu telah mengikatnya, tapi dengan perjanjian itu pula tujuannya mulai berjalan. Ia akan membuat 2 bajingan itu mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.Flashback OnMalam itu di bulan Januari salju turun menutupi setiap jalan di Seattle. Terlihat seorang wanita baru selesai bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat
Sejenak Steve terdiam dengan paras Eva yang bisa dibilang unik. Cantik, tapi tidak pasaran. Cantik yang tidak membosankan. Tidak hanya itu, warna kulit Eva yang kuning langsat memberikan nilai plus untuknya. Eva menjadi semakin stunning dan menjadi pusat perhatian.Steve memindai sambil mencari celah cacat pada Eva, tapi tidak kunjung ditemukan. Sialnya, Eva malah terlihat eksotik di mata Steve. Pria itu lalu berkata, “Campuran Asia?”“Indonesia, lebih tepatnya.”“Di mana itu?” tanya Steve mulai tertarik. Samar-samar terhirup wangi yang cukup asing untuknya. Harum yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Dan aroma itu menguar dari tubuh Eva.“Masih di belahan bumi, tentunya Anda pasti menaruh saham di sana,” jawabnya santai.Eva tidak memungkiri banyak penduduk USA yang tidak mengenal tanah kelahiran Ibunya. Eva pun hanya 1 kali menginjakkan kakinya ke tanah itu saat usianya 5 tahun. Ketika sang Ibu menghembuskan napas terakhir dan meminta untuk dikuburkan di sana sebagai pesan terakh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen