I'm Sorry Laras

I'm Sorry Laras

last update最終更新日 : 2025-05-27
作家:  mangpurnaたった今更新されました
言語: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
評価が足りません
84チャプター
529ビュー
読む
本棚に追加

共有:  

報告
あらすじ
カタログ
コードをスキャンしてアプリで読む

Damar Wirawan hidup dalam penyesalan mendalam setelah bertahun-tahun silam memutuskan mencampakkan istri dan anaknya. Dulu, ia mudah termakan fitnah dan hasutan ibunya, Ratna, serta saudara-saudara tirinya, yang memandang rendah Laras Sasmita. Bagi Ibu Ratna, Laras yang berasal dari kalangan sederhana adalah ancaman besar yang bisa menggagalkan ambisinya untuk menguasai harta warisan suaminya. Dalam kebenciannya, Ibu Ratna bahkan tega melakukan sesuatu yang tak termaafkan—membuang anak Laras yang masih berusia 7 tahun ke tengah hutan, tanpa sepengetahuan siapa pun, semata mata hanya untuk menghancurkan hati Laras. Bertahun-tahun, Laras hidup dalam keterpurukan, bertahan di bawah tekanan Ratna yang kejam dan anak-anak tirinya yang tak kenal belas kasih. Namun, kehidupan Laras berubah ketika ia menemukan harapan baru: anak yang dulu dibuang di tengah hutan ternyata selamat dan kini telah tumbuh dewasa. Bersama anaknya, Laras merencanakan untuk membalas segala kejahatan yang dilakukan keluarga Damar terhadap mereka. Sementara itu, Damar, yang selama bertahun-tahun mengabaikan Laras, akhirnya menyadari kebenaran di balik semua fitnah yang ditanamkan oleh keluarganya. Menyadari kesalahannya, ia kembali ke Laras dengan penuh penyesalan dan permohonan maaf, berharap bisa menghapus luka yang terlanjur dalam. Namun, hati Laras tak lagi sama. Akankah dia menerima kembali Damar yang telah melukainya? Ataukah dendam yang kini menyala akan menghapus semua rasa cinta yang dulu pernah ada?

もっと見る

第1話

Terjebak

Cahaya lampu tua di ruang tamu berkedip pelan, memantulkan bayangan samar di dinding kayu yang sudah mulai mengelupas. Bau kopi dingin dari cangkir yang ditinggalkan di meja kecil masih tercium samar, bercampur dengan aroma tanah basah yang menyelinap dari jendela terbuka. Di sudut ruangan, Ratna Kartika berdiri dengan tangan gemetar, jari-jarinya mencengkeram lengan Damar erat-erat seolah takut kehilangan pegangan.

 

“Damar, syukurlah kamu sudah datang,” suaranya mendesak, penuh getaran yang sulit disembunyikan, matanya berkilat tajam di bawah alis yang mengerut. “Kamu harus lihat bagaimana kelakuan istrimu saat kamu tidak ada di rumah.”

 

Damar mengerutkan kening, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang dari luar kota. Ia menarik lengannya perlahan dari genggaman ibunya, gerakannya kaku namun tegas. Jaket lusuhnya masih menempel di pundak, membawa aroma debu jalanan yang melekat. “Ada apa sih, Bu? Aku ini baru saja pulang, dan masih capek…” Ia menghela napas panjang, suaranya lelah namun ada nada keras yang tak bisa disembunyikan. “Tolong, jangan mulai drama yang nggak penting seperti ini. Aku tahu Ibu belum sepenuhnya menerima Laras sebagai menantu di rumah ini, tapi bukan berarti Ibu harus terus menyudutkannya.”

 

Ratna terdiam sejenak, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah putranya, mata cokelatnya yang dulu penuh kehangatan kini dipenuhi garis-garis kekesalan. “Kenapa kamu ngomong seperti itu, Damar?” ucapnya, nada kecewa merayap di setiap kata. Ia menegakkan pundak, meski tangannya masih bergetar halus. “Memang, Ibu tidak pernah merestui Laras sebagai istrimu. Tapi itu bukan alasan Ibu untuk berbuat jahat kepadanya. Justru, Ibu narik kamu masuk ke sini agar kamu sendiri bisa melihat kebenaran yang selama ini ditutup-tutupi oleh istrimu.”

 

“Kebenaran apa lagi sih, Bu?” Damar menggumam, setengah tak percaya. Ia menggosok pelipisnya dengan jari, mencoba menahan rasa pening yang mulai menjalar. Sepatu botnya masih meninggalkan jejak tanah kering di lantai, dan ia melirik pintu kamar di ujung lorong, tempat Laras biasanya menunggunya dengan senyum kecil.

 

Ratna menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat. Matanya menatap dalam ke mata Damar, penuh intensitas yang membuat udara terasa berat. “Istrimu… dia sedang tidur dengan pria lain di kamar kalian.”

 

Damar tersentak, seperti ada palu yang menghantam dadanya. Tubuhnya membeku, dan matanya membelalak menatap ibunya. “Itu nggak mungkin, Bu,” balasnya, suaranya bergetar, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai naik. “Laras nggak akan pernah melakukan hal sehina itu.” Ia menggeleng, tangannya mengepal, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari ibunya.

 

Ratna mendesah, lalu melangkah menuju lorong sempit yang mengarah ke kamar Damar. “Kalau kamu nggak percaya, lihat saja dengan mata kepala kamu sendiri,” katanya, suaranya dingin namun ada kepuasan terselip di dalamnya. Langkahnya pelan tapi pasti, seperti membimbing putranya menuju sesuatu yang sudah ia rencanakan.

 

Damar mengikuti dengan langkah berat, napasnya memburu. Setiap derit lantai kayu di bawah kakinya terasa seperti dentuman di telinga. Jantungnya berdetak kencang, bercampur antara keraguan dan ketakutan yang perlahan mencuat. Ia berhenti di depan pintu kamar, tangannya ragu menyentuh gagang pintu yang dingin. Dengan satu tarikan napas dalam, ia mendorong pintu itu terbuka.

 

Pandangannya langsung jatuh ke ranjang. Di sana, Laras terbaring, rambutnya terurai di bantal dengan helai-helai yang menempel di pipi pucatnya. Dan di sampingnya, Faris—sahabatnya sejak kecil, orang yang pernah berbagi cerita di bawah pohon mangga tua—berbaring dengan lengan terentang, memeluk tubuh Laras dalam tidur pulas. Cahaya lampu kecil di meja samping ranjang menyelinap ke wajah mereka, memperlihatkan kedamaian yang bertolak belakang dengan badai di dada Damar.

 

Saat itu juga, darah Damar terasa mendidih, mengalir deras ke kepalanya hingga pandangannya sedikit buram. Jantungnya serasa berhenti, lalu berdetak kembali dengan keras, menyakitkan. “Laras, apa yang sudah kamu lakukan?!” teriaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu, memecah keheningan seperti kaca yang pecah berkeping-keping.

 

Laras tersentak bangun, matanya membelalak penuh kebingungan. Ia menarik selimut ke dada, napasnya tersengal. “M-Mas Damar… apa yang terjadi?” Suaranya panik, matanya bergerak cepat dari Damar ke Faris, yang juga terbangun dengan ekspresi terkejut. “Kenapa Mas Faris bisa ada di kamar kita?” Ia menoleh ke Faris, wajahnya pucat seperti kertas kosong, mencari jawaban yang tak kunjung datang.

 

Damar melangkah maju, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aku yang seharusnya nanya sama kamu, Laras!” bentaknya, suaranya rendah namun penuh amarah yang membakar. “Kenapa kalian bisa tidur seranjang di sini? Apa yang udah kalian lakukan?!” Matanya beralih ke Faris, tajam dan penuh kebencian. “Dan kamu… apa maksudnya ini semua?”

 

Laras menggeleng cepat, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku nggak tahu, Mas,” katanya, suaranya lemah, gemetar seperti daun yang diterpa angin. “Sungguh, aku nggak inget apa-apa tentang kejadian ini…” Ia menarik napas, mencoba menahan tangis yang sudah di ujung mata.

 

Ratna, yang berdiri di ambang pintu, menyeringai kecil. Langkahnya pelan mendekati ranjang, tatapannya tajam menusuk Laras. “Jangan pura-pura nggak tahu, Laras,” ucapnya, nada suaranya meremehkan, memotong udara seperti pisau. “Bukannya kamu yang manfaatin kesempatan ini? Kamu sengaja, kan, bawa pria lain ke sini saat Damar nggak ada dan rumah sepi?” Ia melipat tangan di dada, kepalanya miring dengan senyum yang penuh kemenangan.

 

Laras tersentak, menoleh ke Ratna dengan mata penuh ketakutan. “Mas… demi Tuhan, aku nggak melakukan itu,” balasnya, suaranya bergetar hebat. “Aku berani sumpah…” Ia menatap Damar, memohon dengan seluruh raut wajahnya yang hancur.

 

“Jangan bawa-bawa nama Tuhan dalam urusan ini, Laras,” potong Ratna tajam, suaranya meninggi. “Buktinya udah jelas. Kamu tertangkap basah berselingkuh sama Faris.” Ia melirik Damar, menunggu reaksi putranya dengan tatapan penuh harap.

 

Laras menoleh ke Damar, air matanya kini mulai menetes ke pipi. “Mas Damar, aku mohon… percaya sama aku,” katanya, suaranya pecah di antara isakan kecil. “Aku nggak akan pernah menghianati kamu, apalagi sama sahabatmu sendiri.” Tangannya terulur, mencoba meraih tangan Damar, tapi hanya menyentuh udara kosong.

 

Damar terdiam, matanya bergantian menatap Laras dan Faris. Di satu sisi, ia mengenal Laras—istrinya yang lembut, yang selalu menyambutnya dengan secangkir teh hangat dan cerita kecil tentang hari mereka. Tapi di sisi lain, bukti di depan matanya tak bisa ia abaikan—Faris, sahabat yang ia percaya, berbaring di ranjang yang sama dengan istrinya. “Entahlah, Laras,” desahnya akhirnya, suaranya pelan namun penuh beban. “Aku bingung… tapi semua bukti memberatkanmu. Sulit buat aku percaya sama kamu.”

 

Laras menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang kini mengalir deras. Ia tahu ini bukan waktunya diam. Dengan napas tersengal, ia berbalik ke Faris, mencengkeram kerah bajunya dengan kedua tangan. “Mas Faris… kenapa kamu diam aja?!” bentaknya, matanya penuh harap dan keputusasaan. “Katakan sesuatu! Bilang ke Mas Damar kalau ini semua salah paham, kalau kita nggak ada hubungan apa-apa!”

 

Faris menunduk sejenak, napasnya panjang dan berat. Lalu, ia mengangkat wajahnya, menatap Damar dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara penyesalan dan ketenangan yang aneh. “Maaf, Laras,” katanya pelan, suaranya tegas meski ada getar halus. “Sebaiknya kita jujur aja sama Damar… bahwa memang ada sesuatu di antara kita.”

 

Damar tersentak, seperti ada petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. Laras ternganga, matanya membelalak tak percaya. “Mas… apa maksudmu bicara begitu?!” suaranya meninggi, penuh kebingungan dan amarah. “Kenapa kamu bohong?!” Ia menatap Faris, wajahnya penuh air mata, seperti melihat orang asing yang tak pernah ia kenal.

 

Faris mengalihkan pandangan, rahangnya mengeras. “Laras, udah cukup,” ucapnya, suaranya datar. “Kita nggak perlu bersandiwara lagi. Damar udah nangkap basah kita. Mungkin ini saatnya kita jujur padanya.”

Laras menggeleng keras, tubuhnya mundur hingga punggungnya membentur dinding. “Tidak… ini semua bohong!” jeritnya, suaranya memenuhi ruangan. Ia berlari ke Damar, menggenggam tangannya erat-erat, jari-jarinya dingin dan gemetar. “Mas Damar… aku mohon, jangan percaya omongan Mas Faris. Dia… dia bohong. Dia sengaja mau merusak pernikahan kita!”

 

Damar berdiri membatu, tangannya terasa kaku dalam genggaman Laras. Matanya menatap wajah istrinya yang basah air mata, lalu beralih ke Faris yang kini diam dengan tatapan kosong. Di sudut ruangan, Ratna tersenyum sinis, kepalanya miring menikmati kekacauan yang ia saksikan. “Semuanya udah jelas, kan, Damar?” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan beracun. “Sekarang kamu bisa lihat sendiri sifat asli istrimu. Bagaimana kelakuannya saat kamu nggak ada di rumah. Dia nggak sepolos yang kamu kira.”

 

Udara di kamar terasa semakin pengap, penuh dengan aroma teh samar yang entah dari mana asalnya, bercampur dengan bau keringat dan ketegangan. Damar menarik napas dalam, matanya tertutup sejenak, mencoba meredam badai yang berkecamuk di dadanya. Ketika ia membukanya lagi, sorot matanya dingin, penuh luka yang tak bisa disembunyikan. “Aku nggak tahu harus percaya apa lagi,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Tapi yang pasti… aku nggak akan bisa melihat kamu sama seperti dulu, Laras.”

 

 

もっと見る
次へ
ダウンロード

最新チャプター

続きを読む

読者の皆様へ

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

コメント

コメントはありません
84 チャプター
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status