Tok… Tok
Maura mengetuk dua kali pintu kamar Dave, namun tak ada jawaban dari dalam. Maura teringat pesan Dave tadi malam bahwa ia diizinkan masuk ke kamar Dave untuk membangunkannya di pagi hari. Maura membuka pintu dengan perlahan. Dilihatnya dari cermin yang dipasang di depan pintu kamar mandi, Dave masih tidur. Separuh badannya masih terbenam dalam selimut. Maura sejenak berpikir, apa yang harus dilakukannya lebih dulu, membuka tirai jendela atau langsung membangunkan Dave. Maura berjalan menuju jendela yang masih tertutup tirai. Sedikit disibaknya tirai untuk melihat keluar jendela. Matahari belum terbit karena ini masih pukul enam. Pandnagan Maura beralih ke Dave yang tidur telentang. Sebenarnya Maura tidak tega membangunkan Dave, tapi Dave memintanya untuk membangunkannya pukul enam karena ia ingin ke kantor lebih awal. Perlahan, Maura melepaskan tirai yang disibaknya sehingga membuat tirai i
Deru mobil terdengar memasuki halaman. Maura dan Bibi Tilda yang berada di dapur mencoba mencari tahu dengan melongok lewat jendela. Ternyata Matt yang datang. Namun Matt hanya seorang diri.“Kau tidak mendampingi Tuan, Matt?” tanya Bibi Tilda. Matt menggeleng. Wajahnya sedikit ditekuk. Entah siapa yang menyebabkannya demikian.Matt mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin dari dispenser. Maura menghentikan kegiatannya demi mengamati gerak-gerik Matt. Matt meneguk air dalam gelas dengan terburu-buru seolah sudah berhari-hari ia tidak minum.“Haus?” Maura menatap Matt heran. Matt hanya mengangguk. Ditekannya lagi tuas air dingin pada dispenser.“Ada apa, Matt?” Maura masih penasaran. Matt masih bungkam. Ia terlalu asyik dengan
Deru mobil terdengar memasuki halaman. Maura dan Bibi Tilda yang berada di dapur mencoba mencari tahu dengan melongok lewat jendela. Ternyata Matt yang datang. Namun Matt hanya seorang diri.“Kau tidak mendampingi Tuan, Matt?” tanya Bibi Tilda. Matt menggeleng. Wajahnya sedikit ditekuk. Entah siapa yang menyebabkannya demikian.Matt mengambil gelas lalu mengisinya dengan air dingin dari dispenser. Maura menghentikan kegiatannya demi mengamati gerak-gerik Matt. Matt meneguk air dalam gelas dengan terburu-buru seolah sudah berhari-hari ia tidak minum.“Haus?” Maura menatap Matt heran. Matt hanya mengangguk. Ditekannya lagi tuas air dingin pada dispenser.“Ada apa, Matt?” Maura masih penasaran. Matt masih bungkam. Ia terlalu asyik dengan
"Kamu...!" Maura mendelik marah. Dave hanya tersenyum menanggapinya. Maura bergegas keluar dari ruangan Dave.Bisa-bisa aku jadi gila bila terlalu lama bersama Dave. Batin Maura.Sementara Dave tampak enggan mengalihkan pandangannya dari sosok Maura. Sampai akhirnya bayangan Maura hilang di balik pintu yang tertutup. Diraihnya ponsel yang berada di sisi kirinya. Telunjuk kanannya dengan lincah bergerak di atas layar. Dave lalu menempelkan ponsel ke telinga kiri. Tidak perlu menunggu lama, terdengar suara menjawab panggilan Dave."Matt, aku ingin ke universitas." Dave memberi tahu Matt."Aku akan pergi sendiri." Sambungnya. Matt hanya menjawab dengan "siap" beberap
Maura tahu jika Tim dan Kim muncul, artinya Dave menginginkan penampilan sempurna untuknya. Namun, Maura juga takut jika ternyata ia harus membayar semuanya sendiri, seperti kala itu.“Tim, tidak bisakah aku memakai gaunku yang dulu saja?”Tim tidak menjawab. Ia tetap sibuk menjelajahi deretan gaun yang tergantung pada hanger. Kim yang mendengar perkataan Maura, tersenyum.“Tenanglah…. Yuk, kita make up dulu.”Kim mendudukkan Maura di kursi yang menghadap cermin besar dibingkai lampu yang berbaris rapi di sekelilingnya.&ldq
Maura dan Dave sama-sama membisu selama perjalanan pulang. Sesekali Maura melihat ke luar jendela mobil. Sementara Dave melajukan mobil dengan kencang. Jalanan yang cukup lengang membuat Dave tidak akan dihujani suara klakson oleh pengendara lain.“Maura….”“Hmm….” Maura menoleh ke arah Dave.“Ada apa?” lanjutnya.“Lapar?” Dave mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikirannya.“Tidak.” Jawab Maura singkat.“Mungkin segelas jus di café?”“Tidak, Dave. Aku hanya ingin segera istirahat.” Maura menyandarkan kepalanya ke sandaran
Maura merasa telah mengambil keputusan tepat, yaitu dengan meninggalkan Dave tanpa menjawab pertanyaannya. Masih jelas diingatnya pertanyaan yang dilontarkan Dave padanya. Terdengar seperti Dave sedang mengemis cinta pada Maura. Untuk sesaat Maura merasa melambung karena dugaannya. Namun, akhirnya ia kembali tersadar. Kecurigaan mulai menghampirinya lagi. Sungguh itu bertolak belakang dengan sikap dingin dan arogan yang sering Dave tunjukkan.Jangan-jangan itu hanya gurauan Dave. Maura menerbitkan keraguan dalam hatinya.Bisa juga Dave ingin mengetesku. Imbuh Maura lagi. Maura berusaha untuk tidak spekulatif tentang perasaannya pada Dave, maupun perasaan Dave padanya. Dave adalah sosok yang tidak bisa ditebak. Dav
Dave memenuhi janjinya menjemput Maura pulang. Langit sudah gelap ketika Dave menghentikan mobilnya di depan lobi kampus. Diliriknya jam di pergelangan kirinya. Jarum panjang berada di antara angka sebelas dan dua belas. Sementara jarum pendek hampir bergeser ke angka delapan. Dave tidak perlu menunggu lama karena Maura sudah menunggunya.Senyum Maura terkembang begitu dilihatnya mobil Dave berhenti. Maura bergegas naik ke mobil. Dave menunggu sampai Maura memasang seat belt-nya.“Katamu perpustakaan tutup pukul delapan. Ini masih ada beberapa menit.” Dave bersiap menekan pedal gas.“Aku tidak ingin membuatmu menunggu.”“Benarkah?” Goda Dave. M
Maura mengendap-endap menuju sofa di depan televisi setelah memastikan Dave tidak melihatnya dari lantai dua. Diletakkannya bantal dan selimut ke atas sofa penuh kehati-hatian seolah takut kedua benda itu akan menghasilkan suara seperti dentuman keras ketika menyentuh permukaan sofa. Maura kemudian ke kamar mandi di dekat dapur untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur dan menggosok gigi. Setelah menyelesaikan seluruh kegiatan di kamar mandi, Maura bergegas membenamkan tubuhnya ke dalam selimut tebal yang dibawanya.Entah sudah berapa lama Maura berusaha memejamkan mata, namun belum berhasil. Ia merasa sangat mengantuk dan lelah, tapi kedua matanya sulit terpejam. Maura menyibak selimutnya kemudian mencoba untuk duduk dengan menekuk lutut. Disandarakannya kedua lengan pada lutut. Sekejap kemudian ia mengubah posisinya dengan menegakkan satu tangan ke arah dagu. Telapak tangannya tampak rapuh me