Maura dan Dave sama-sama membisu selama perjalanan pulang. Sesekali Maura melihat ke luar jendela mobil. Sementara Dave melajukan mobil dengan kencang. Jalanan yang cukup lengang membuat Dave tidak akan dihujani suara klakson oleh pengendara lain.
“Maura….”
“Hmm….” Maura menoleh ke arah Dave.
“Ada apa?” lanjutnya.
“Lapar?” Dave mengatakan apa pun yang terlintas dalam pikirannya.
“Tidak.” Jawab Maura singkat.
“Mungkin segelas jus di café?”
“Tidak, Dave. Aku hanya ingin segera istirahat.” Maura menyandarkan kepalanya ke sandaran
Maura merasa telah mengambil keputusan tepat, yaitu dengan meninggalkan Dave tanpa menjawab pertanyaannya. Masih jelas diingatnya pertanyaan yang dilontarkan Dave padanya. Terdengar seperti Dave sedang mengemis cinta pada Maura. Untuk sesaat Maura merasa melambung karena dugaannya. Namun, akhirnya ia kembali tersadar. Kecurigaan mulai menghampirinya lagi. Sungguh itu bertolak belakang dengan sikap dingin dan arogan yang sering Dave tunjukkan.Jangan-jangan itu hanya gurauan Dave. Maura menerbitkan keraguan dalam hatinya.Bisa juga Dave ingin mengetesku. Imbuh Maura lagi. Maura berusaha untuk tidak spekulatif tentang perasaannya pada Dave, maupun perasaan Dave padanya. Dave adalah sosok yang tidak bisa ditebak. Dav
Dave memenuhi janjinya menjemput Maura pulang. Langit sudah gelap ketika Dave menghentikan mobilnya di depan lobi kampus. Diliriknya jam di pergelangan kirinya. Jarum panjang berada di antara angka sebelas dan dua belas. Sementara jarum pendek hampir bergeser ke angka delapan. Dave tidak perlu menunggu lama karena Maura sudah menunggunya.Senyum Maura terkembang begitu dilihatnya mobil Dave berhenti. Maura bergegas naik ke mobil. Dave menunggu sampai Maura memasang seat belt-nya.“Katamu perpustakaan tutup pukul delapan. Ini masih ada beberapa menit.” Dave bersiap menekan pedal gas.“Aku tidak ingin membuatmu menunggu.”“Benarkah?” Goda Dave. M
Maura mengendap-endap menuju sofa di depan televisi setelah memastikan Dave tidak melihatnya dari lantai dua. Diletakkannya bantal dan selimut ke atas sofa penuh kehati-hatian seolah takut kedua benda itu akan menghasilkan suara seperti dentuman keras ketika menyentuh permukaan sofa. Maura kemudian ke kamar mandi di dekat dapur untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur dan menggosok gigi. Setelah menyelesaikan seluruh kegiatan di kamar mandi, Maura bergegas membenamkan tubuhnya ke dalam selimut tebal yang dibawanya.Entah sudah berapa lama Maura berusaha memejamkan mata, namun belum berhasil. Ia merasa sangat mengantuk dan lelah, tapi kedua matanya sulit terpejam. Maura menyibak selimutnya kemudian mencoba untuk duduk dengan menekuk lutut. Disandarakannya kedua lengan pada lutut. Sekejap kemudian ia mengubah posisinya dengan menegakkan satu tangan ke arah dagu. Telapak tangannya tampak rapuh me
Suara dari arah dapur membangunkan Dave. Pasti Bibi Tilda, duga Dave. Dilihatnya Maura masih terlelap di sampingnya dengan tangan kanan menempel pada dada. Rasa hangat menjalari tubuh Dave karena merasa nyaman dan bahagia secara bersamaan. Diciumnya perlahan kening Maura. Ingin rasanya Dave membelai pipi Maura dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir gadis itu. Namun Dave segera tersadar, akan sangat berbahaya jika Maura sampai tahu ia telah menyelinap dan tidur bersamanya. Dave pun urung melakukan apa yang hatinya inginkan. Dengan sangat perlahan, dipindahkannya tangan Maura yang menempel di dadanya. Tak lupa dikecupnya punggung tangan itu sebelum meletakkannya pada posisi yang nyaman.“Selamat pagi.” Bisik Dave setelah membetulkan letak selimut yang menutup
Dave mendadak gelisah tatkala menyadari tabletnya tertinggal di rumah. Ia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Sebal dengan kecerobohannya. Karena kecerobohannya, ia tidak bisa mengamati aktivitas Maura di kamarnya. Beberapa menit yang lalu Dave menelepon Bibi Tilda, menanyakan apakah Maura pergi ke perpustakaan hari ini. Jawaban Bibi Tilda membuat Dave kecewa. Menurut Bibi Tilda, Maura memutuskan untuk mengerjakan tesis di rumah. Maura juga berencana untuk melanjutkan tugas membaca surel dari Dave.Entah sudah berapa kali Dave meninju tepian meja kerjanya. Rasa sakit menjalari buku-buku jarinya. Dave meraih ponselnya, melihat agenda apa saja yang harus dijalaninya hari ini. Dave memang terbiasa untuk mencatat sendiri agenda penting yang tidak bisa ia wakilkan. Meskipun Matt juga tidak pernah alpa untuk mengingatkannya, namun Dave lebih suka untuk mengurus sendiri hal penting seperti ini.
Kau memang berengsek, Dave. Maki Maura sambil terus berjalan melintasi halaman. Langit yang telah gelap pekat serta cahaya temaram membuat Maura dengan mudah tidak diketahui pergerakannya. Begitu sampai di luar pagar rumah aDave, Maura segera menuju halte. Ia berharap masih ada bus ke arah kampus.Dirogohnya saku celana sebelah kanan untuk mencari ponsel. Ternyata end aitu tidak ada di dalam saku celana Maura. Maura pun segera membuka ranselnya dan lagi-lagi ponselnya tidak ia temukan. Maura kemudian mencoba mengingat-ingat di mana ia terakhir kali meletakkan ponsel.Ahh… pasti tertinggal di atas tempat tidur. Maura benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Tepat pada saat Maura menutup ranselnya, bus yang ditunggunya datang.
Dave sedang menikmati sarapan ketika ponselnya berdering nyaring. Nama Matt muncul pada layar yang berkedap-kedip. Dave segera meraih ponselnya dan menggeser ikon telepon berwarna hijau.“Boss.” Panggil Matt dari ujung telepon. Dave berharap Matt membawa berita bagus.“Bagaimana, Matt?”“Maura tidak terlihat di perpustakaan, Boss.” Matt berkata dengan suara bergetar. Sungguh ia sangat gugup saat ini. Matt harus berbohong pada Dave dan di saat yang sama Maura tengah menatapnya dengan sorot memelas. Meminta penuh harap padanya agar berbohong.“Tetap di kampus s
Dave sangat kesal karena Maura tak kunjung kembali dari berpamitan dengan Mev Inge. Sesekali diliriknya jam di pergelangan tangan kirinya. Tengah malam sudah berlalu hampir enam puluh menit. Dari arah dapur, terdengar suara Mev Inge dan Maura saling bersahutan. Tak jarang derai tawa Mev Inge terdengar.Dave yang kesal kemudian beranjak dari duduknya dan menuju dapur. Dilongokkan kepalanya, mencari keberadaan Maura. Mev Inge yang pertama kali menyadari kehadiran Dave memberi kode Maura dengan mengangkat sepasang alis diiringi dagunya. Maura mengikuti arah yang ditunjuk Mev Inge. Dave telah berdiri dengan senyum canggung, menatap penuh tanda tanya pada dua perempuan beda usia itu.“Maura, ayo kita pulang.” Dave mengajak Maura.“Mev, saya pamit ya. Terima kasih untuk semuanya.”