Maura kini berada di perusahaan yang diurus sang suami, dengan langkah anggun melewati beberapa karyawan menyapa. Mendaratkan bokong di kursi kebesaran, mulai mempelajari berkas-berkas. Sebenarnya ia juga ingin mulai mengurus kantor, mengambil hak miliknya.
"Sayang ...," panggil Hamdan saat melihat sang istri ternyata datang ke perusahaan.
"Hm ...," sahut Maura tak peduli, ia memilih fokus membaca berkas-berkas.
"Kenapa kamu ke sini, mendingan kamu rawat Delia saja," ujar Hamdan mendekati sang istri dan memegang bahu Maura.
"Lepas Mas, kamu diam saja. Delia sudah dapetin pengasuh jadi mendingan aku mulai handle kantor 'kan," ujar Maura tersenyum sinis sedangkan Hamdan wajahnya memucat.
"Apa! Kamu pekerjakan pengasuh? ngapain sih, aku pengennya kamu yang asuh Delia," seru Hamdan meninggikan suara.
"Biar Delia deket sama kamu," lanjut Hamdan sekali lagi, Maura menatap suaminya sekilas.
"Terserah aku dong Mas, aku gak bakal kaya ka
"Pokoknya Mas harus rebut perusahaan itu," ucap Hamdan hanya dibalas anggukan pelan Mawar."Masa seorang suami jadi bawahan istri," gerutu Hamdan menyandarkan punggung di kursi."Nanti kita buat rencana, ya Mas! Sekarang kita makan aja dulu," seru Mawar menenangkan lalu mereka mulai melahap makanan."Tapi harga diri Mas, seperti diinjak-injak War kalau begini," tutur Hamdan mengeluarkan keresahannya."Kita makan saja dulu, Mas! Tapi jadinya, Mas gak perlu capek-capek kerja. Duit ngalir terus dari Mbak Maura, coba pikirkan! Kita bisa bersenang-senang tanpa harus susah-susah bekerja," jelas Mawar mengeluarkan pendapatnya."Kamu jangan plin-plan War, tadi dukung aku buat rebut perusahaan, sekarang malah milih nikmati duitnya aja," gerutu Hamdan."Hehe ... coba aja Mas pikirin, pas Mas jadi bos di sini susah banget ngeluangin waktu sama aku. Ada sih yang bisa, tapi besoknya kamu pasti lembur aku gak tega Mas. Sekarangkan ada Mbak Maura, nanti ju
Hamdan langsung masuk ke ruangannya lagi setelah berbincang dengan istrinya. Sungguh ia tak percaya bahwa Maura bisa setega itu. Dengan kasar ia menghempas bokong ke kursi. Jadwal pulang tiba, dia lekas bergegas keluar dan tersenyum melihat Maura masih disibukkan dengan berkas, langkah angkuh ia mendekat membuat Maura mendongak sebentar lalu fokus ke beberapa berkas lagi."Sudahlah, mendingan kamu di rumah saja, biar Mas yang menghandle kantor," seru Hamdan menghempaskan bokong ke sofa."Mas sudah waktunya pulang 'kan, mendingan Mas pulang saja, atau jemput istri kedua Mas itu," seloroh Maura tak menghiraukan keberadaan Hamdan."Kamu ini keras kepala banget, Ra! Ya sudah, Mas pulang dulu," ujar Hamdan melangkah pergi.Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju kampus. Melihat semua tengah berhamburan keluar. Mendekati teman sekelas Mawar ia bertanya."Mawar sudah pulang belum?" tanya Hamdan pada lelaki yang baru saja hendak melajukan mo
Mawar sangat frustasi, ia benar-benar tidak ingin membeli benda itu. Karena dia tak tau kaya gimana bentuk tespack tersebut, dengan cepat mencari tahu di google. Hamdan yang pamit membeli rujak masuk ke mobil, memberikan pada sang istri."Ah ... ternyata ini bentuknya, ya sudah aku mau beli saja," ujar Mawar membuat Hamdan menoleh tak paham."Kamu mau beli apa, War?" tanya Hamdan menaikan satu alisnya."Itu, tespack. Biar aku aja yang beli," ujar Mawar menyodorkan tangan pada Hamdan."Mau ngapain nyodorin tangan?" tanya Hamdan."Minta uanglah, kan, disuruh beli tespack," seru Mawar dibalas anggukan Hamdan."Berapa?" tanya Hamdan mengeluarkan dompetnya."Dua ratus ribu," pinta Mawar membuat Hamdan menoleh."Serius, semahal itu? Duh rasanya bersalah saat inget Maura dulu beli tespack hasil uang sendiri," keluh Hamdan lalu menyodorkan tiga lembar berwarna merah."Aku, kan, cuma minta dua ratus, Mas," ujar Mawar pura-p
"Kamu bohong sama Mas, Mawar!" seru Hamdan menatap nyalang pada istri keduanya."Memang kenapa, Mas! Apa kamu merasa rugi karna memberikan semua uang cashmu," ujar Mawar padahal dalam hatinya ia bergetar ketahuan.Hamdan mengembuskan napasnya. "Bukan begitu, kenapa kamu pakai bohong cuma karna pengen uang, Mas. Kamu tinggal minta aja nanti Mas kasih," ujar Hamdan melembutkan suaranya, entahlah dia tidak kuasa memarahi istri keduanya."Dramanya dicut dulu ya, ini tinggal air pipis kamu taruh di wadah. Terus masukin smpe garis max tunggu tiga puluh detik terus angkat tinggal tunggu hasilnya keluar satu menitan," seru Maura menaruh tespack itu ke meja lalu bergegas ke kamar karena tidak mau ikut campur dulu, memilih melihat buah hati karena marah dengan sang Ayah."Siapa yang lagi ngedrama lagi, Mbak!" pekik Mawar kesal."Sudahlah, War. Mendingan kamu cobain tespack itu," ujar Hamdan disambut Mawar dengan hentakan kakinya.Di bilik lain Maura t
"Apa kamu bilang, War!" hardik Maura pura-pura terkejut."Aku mau nikah secara agama dan negara!" seru Mawar dengan berani."War! Apaan sih," bentak Hamdan menatap istri keduanya dengan tatapan murka."Apa itu benar, Mas? sudah kubilang saat kalian terpergok aku hanya mengizinkan kalian menikah secara siri," seloroh Maura beralih menatap suaminya."Eh, anu ...," ucapan Hamdan terpotong oleh tawa keras Mawar."Haha ... selamat Mbak Maura kena prank," ujar Mawar membuat Maura tersenyum sinis dan mendengkus marah."Kamu ini, ya sudah. Mbak pamit pergi dulu," ujar Maura melangkah menggenggam jemari anaknya menuju mobil.Delia duduk di kursi kemudi, cengiran manisnya tak luntur. Gadis kecil itu terus berceloteh menceritakan saat dia tak diantar Maura pertama kali. Beruntung Mirna bisa mengambil hati Delia kalau tidak ia masih harus mencari pengasuh."Bunda hanya mengantar ya, Sayang. Gak bisa nungguin kamu, nanti kalau pekerjaan Bun
"Talak satu sudah jatuh," gumam Maura saat melihat video itu."Tega banget kamu, Mas! Menalak aku demi menikahi Mawar secara sah negara dan agama," bisik Maura pelan, lalu menaruh ponselnya lagi lebih memilih melakukan pekerjaan kantor.Setelah selesai Maura mengambil berkas. Menatap sendu kertas itu, sebenarnya ia tak mau. Tapi dia hanya seorang wanita yang tak mau di duakan, lebih baik berpisah bukan. Dari pada terus merasakan sakit hati, dengan penuh keyakinan mentanda tangani surat cerai.Mereka sampai rumah bersamaan, Hamdan bergandengan mesra dengan istri kedua. Sedangkan Maura menatap sinis, lalu pergi tanpa memperdulikan suami dan madunya. Wanita itu mendapatkan sambutan dengan sang buah hati, Hamdan yang mendengar suara Delia teralihkan, menatap iri Maura nan disambut."Kok Ayah gak disambut, Sayang," rajuk Hamdan mendekati anaknya, sedangkan Mawar memilih ke kamar untuk mengistirahatkan diri."Kok kalian bisa pulang bareng, terus ya
[Nyonya, Non Delia ada di rumah Omanya,] - Marni[Ya sudah, jaga Delia ya! Nanti saya jemput setelah urusan saya selesai.] - Maura"Akhirnya sampe rumah, gue harus buru-buru ngeluarin barang-barang mereka," ujar Maura membuka pintu dan masuk ke kamarnya terlebih dahulu.Setelah selesai membereskan barang-barang suaminya, Maura semakin tersenyum sumringah saat melihat ponsel Hamdan. Dengan semangat ia mengambil benda pipih itu dan masuk ke M-banking mengirim semua uang di dalam rekening itu kepada miliknya. Sehabis melakukan hal tersebut, melangkah menuju bilik Mawar."Itu apaan," gumam Maura saat melihat sesuatu di kolong ranjang.Mengambil plastik itu lalu memotret dan mengirim ke orang kepercayaannya. Dengan cekatan menyimpan pakaian Mawar yang ternyata banyak lingerie di dalam lemari. Maura menatap mual pada bekas kondom yang berada di tempat menyimpan pakaian."Astagfirullah, mereka berhubung sudah berapa lama. Bodohnya aku tid
"Masa Ibu tega sama anak Ibu sendiri, kami tidur dijalanan gitu? Kami udah gak punya uang Bu," lirih Mawar memelas, menatap sendu pada Indah.Baru saja Indah hendak berseru, suara notifikasi pesan berbunyi. Wanita itu memilih melihat isi chat itu yang ternyata dari Maura. Indah menarik napas sedikit panjang saat membaca deretan huruf itu.[Bu, jika Mawar dan Mas Hamdan ke rumah Ibu tolong izinkan saya jika mereka ingin menginap. Aku akan ke sana, mengambil mobil yang dipakai mereka. Tolong bantuannya ya, Bu.] - Maura"Ya sudah, masuk cepat! Tapi kalian jangan berzina di rumahku," ucap Indah memberikan wejangan, dia memang menyayangi Mawar tapi ia juga perlu mendidik wanita itu jika berbuat salah."Kok gitu, Bu. Kami itu udah menikah secara sah agama dan negara, sebentar lagi juga Ibu akan mendapatkan cucu," protes Mawar lalu tersenyum saat membicarakan janin di rahim tak lupa ia mengusap sayang perutnya."Apa! Kamu hamil? Semoga dia tid