Eaaa... siapa yg bacanya sambil senyum-senyum? (≧▽≦) satu bab lagi otewe, mudah-mudahan bisa up malam ini 🩷
Udara di kamar terasa lembap dan hangat, masih menyisakan aroma sabun dan wangi lavender dari handuk yang tergantung di kursi. Saat ini Dylan sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan satu tangan memegang hair dryer yang baru saja ia matikan. Suara lembut mesin itu berhenti, digantikan oleh desiran halus rambut Calla yang kini kering dan berkilau kemerahan di bawah lampu kamar. Pria itu menatap rambut itu seolah-olah benda paling berharga di dunia. Jemarinya menyelusup pelan, membenahi helai-helai yang masih sedikit acak. Kemudian ia menunduk untuk mengecup ujung rambut itu dengan lembut sebanyak dua kali, seperti ritual kecil yang selalu ia lakukan setiap kali selesai memandikan Calla dan mengeringkan rambut gadisnya. Seperti sebuah ucapan terima kasih yang penuh damba, karena Calla telah sangat membuatnya puas setelah sesi bercinta mereka yang sangat panas beberapa saat yang lalu. “Sudah kering,” gumannya pelan dengan suara serak tapi lembut. Calla hanya mendengus pelan. Ia
Suara mesin mobil mewah itu menderu stabil, melaju di jalanan kota yang padat. Sejak insiden ban mereka ditembak beberapa waktu lalu, sistem pengawalan semakin diperketat. Satu mobil hitam melaju di depan, satu lagi membuntuti dari belakang. Kendaraan Dylan dan Calla menjadi pusat dari formasi itu, seperti sebuah benda berharga yang harus dijaga dengan segala cara. Di kursi belakang, Calla duduk diam. Kepalanya menyandar di kaca jendela, tatapan birunya kosong menatap lalu-lalang kota. Rambut merahnya tergerai, sesekali bergetar lembut karena hembusan pendingin udara. Dari luar wajahnya tampak tenang, namun pikiran gadis itu terus bergulat. Tentang ibunya. Tentang jawaban samar yang diberikan Dylan. Tentang rasa tidak berdaya yang kian menyesakkan. Dylan melirik ke arahny. Ia lalu perlahan mendekat, tubuh tegapnya menggeser posisi hingga kini ia bisa meraih Calla. “Calla.” Suaranya rendah dan seketika memecah keheningan. Gadis itu menoleh dengan setengah hati. “Hm
Pintu kayu besar dengan ukiran klasik itu terbuka perlahan setelah beberapa kali terdengar suara ketukan sebelumnya. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara langkah ringan yang masuk, seiring dengan aroma lembut parfum bunga musim semi yang feminin yang mulai memenuhi ruangan. Dylan seketika menoleh. Tatapan kelabu dingin yang semula penuh intimidasi itu pun kini berubah total menjadi hangat, bersemangat, bahkan lembut. “Calla.” Suara pria itu terdengar lebih rendah, tapi juga lebih hidup. Calla berdiri diam di ambang pintu dengan rambut merahnya yang jatuh menutupi sebagian pipi, serta senyum terlukis di bibirnya. Ia tampak agak malu-malu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu?” Dylan meletakkan gelas whiskey-nya, lalu berdiri perlahan dan berjalan dengan langkah tenang mendekati Calla. “Kamu tidak perlu mengetuk terlebih dahulu, Calla. Kapan pun kamu mau masuk, pintu ini akan selalu terbuka untukmu.” Rona merah muda mulai menghias
Lokasi : Kamar Marissa di Mansion Asher Marissa duduk di pinggir ranjang mewah dengan tatapan gelisah. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi kasur, pikirannya dipenuhi satu hal, yaitu Calla. Putrinya itu harus tahu bagaimana sikap Dylan yang telah menyita ponsel dan mengurungnya di dalam kamar seperti tahanan. “Tidak mungkin aku hanya diam di sini saja,” gumannya lirih. Setiap kali pelayan datang membawakan makanan, Marissa selalu mencoba berbagai cara. Pernah ia pura-pura jatuh pingsan, berharap pintu kamar terbuka lebar sehingga ia bisa kabur. Pernah pula ia mencoba menahan pelayan untuk tetap di kamar dengan alasan ingin ditemani, namun semua berakhir dengan kegagalan. Penjaga yang ditempatkan tepat di depan pintu kamar selalu siaga, seolah tidak pernah berkedip sedetik saja. Hari itu ada sebuah ide nekat lagi yang muncul di dalam kepalanya. Begitu seorang pelayan muda berwajah polos masuk sambil membawa nampan berisi sup hangat, Marissa langsung bergerak mendekat. “K
Lokasi : Mansion Keluarga Bianco Supir melajukan mobil mewah itu melewati gerbang besi tinggi yang dijaga ketat satpam berseragam hitam. Stella bersandar santai di kursi belakang, jari-jarinya yang ramping memainkan gagang kacamata hitamnya. Gaun elegan berwarna merah anggur menempel pas di tubuh semampainya, menegaskan keanggunan sekaligus aura seksi. Mobil berhenti perlahan di depan main entrance mansion megah yang menjulang dengan arsitektur klasik ala Eropa. Begitu supir turun dan membukakan pintu, Stella pun melangkah turun dengan penuh percaya diri. Heels-nya berderap ringan di lantai marmer, sementara kepala para pelayan menunduk memberi hormat. “Tuan Giuseppe telah menunggu di ruang tamu, Nona Stella,” ucap seorang pelayan wanita. Stella hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk. Aroma mahal dari wewangian ruangan bercampur dengan cahaya lembut lampu gantung kristal, membuat suasana semakin berkelas. Di sofa utama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi d
Kamar Dylan malam itu terasa hangat. Lampu gantung berwarna kuning redup menyinari ruangan luas dengan dinding marmer gelap yang kontras dengan sofa beludru tempat Calla bersandar. Gadis itu mengenakan piyama favoritnya bermotif tengkorak dan pisau, membuatnya merasa nyaman. Rambut merahnya digerai, sebagian jatuh menutupi bahu. Ia menatap layar televisi dengan serius, larut dalam adegan film drama yang tengah ia putar. Namun konsentrasinya pecah ketika suara getaran terdengar dari meja samping. Bzzz… Bzzz… Calla menoleh, melihat layar ponselnya yang menyala, serta sederet nomor asing yang kemudian muncul. Alisnya berkerut. Dengan ragu ia meraihnya, lalu membaca pesan itu. ~Bukan aku yang melakukannya, Cal. Percayalah. —KB Seketika Calla membeku. "KB…" bibirnya berbisik pelan dan jantungnya berdegup tak karuan. Knox Bennet? Hanya Knox yang selalu memanggilnya "Cal". Tidak ada orang lain. Tangan Calla sedikit bergetar. Tapi... Knox melakukan apa? Apakah ini soal