(Note : bab tertentu mengandung 21+) “Buatlah Dylan bertekuk lutut padamu, Calla. Goda dia.” Calla mengerjap. “Ibu bercanda? Dylan itu kakak tiriku!” “Dia adalah pewaris tunggal. Kamu mau kita diusir dari rumah ini begitu saja setelah ayah tirimu meninggal?” tandas tegas Marissa, sang ibu. *** Setelah bertahun-tahun pergi, kali ini Calla pulang ke rumahnya hanya untuk menghadiri pemakaman ayah tirinya. Tapi ibunya, Marissa, ternyata telah memiliki rencana yang lebih gila. Yaitu menjadikan Calla sebagai alat untuk merebut warisan dari Dylan Asher, sang pewaris dingin yang kini memegang semua kendali. Masalahnya, Calla telah memiliki kekasih... dan Dylan juga bukan tipe pria yang mudah disentuh. Tapi siapa yang akan mengira jika satu sentuhan saja dari Calla... ternyata bisa membakar segalanya? "Kamu yang memulai permainan ini, Calla. Tapi akulah yang akan menyelesaikannya." ---Dylan Asher ***
View MoreHujan turun dengan pelan, mengguyur seluruh kompleks pemakaman yang luas dan mewah milik keluarga Asher.
Suara payung yang beradu dengan angin seperti ikut meratapi kepergian seorang pria yang dulunya menjadi kepala keluarga. “Akhirnya kamu datang juga,” bisik suara yang sangat dikenalnya. Calla pun serta-merta menoleh. Ia melihat Marissa, ibunya, berdiri di sampingnya dengan payung warna merah menyala. Seketika Calla mengernyit melihat warna yang terlalu mencolok untuk suasana berkabung. Lima tahun tak bertemu dengan Marissa, namun Calla sama sekali tidak ingin memeluknya seperti seorang putri yang merindukan ibunya. Tidak, karena hubungan mereka tidak seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya. Tidak ada kasih sayang, rindu, apalagi cinta. “Bagaimanapun dia adalah ayah tiriku,” jawab Calla pelan, seraya menatap nisan yang belum tertancap. Pria yang dimakamkan hari ini adalah ayah tiri Calla, atau suami kedua dari ibunya. Calla berdiri tegak di balik payung hitamnya, mengenakan dress hitam sederhana namun membuat warna kulitnya yang pucat semakin tampak mempesona. Rambut panjangnya yang merah ikal dibiarkan terurai di punggung. Wajahnya dingin tak menampakkan duka, hanya sedikit kerutan di keningnya setiap kali melihat orang-orang datang dan meliriknya seolah ia adalah tamu asing. Sudah lima tahun sejak ia pergi dari keluarga ini untuk hidup mandiri di kota lain. Lima tahun sejak ia memutuskan menjauh dari keluarga yang terasa terlalu "rumit". Namun hari ini dia kembali, meskipun alasannya hanya untuk menghadiri pemakaman ayah tirinya. Marissa tertawa sinis, lalu tiba-tiba saja menggamit lengan putrinya dan menariknya menjauh dari kerumunan pelayat. Mereka lalu berhenti di bawah pohon besar yang rimbun, tempat suara hujan sedikit mereda. “Calla, Sayangku,” ucap Marissa dengan suara rendah namun tajam. “Dengarkan ibumu baik-baik. Sudahi semua 'petualanganmu' itu, Sayang. Ayah tirimu sudah tiada, jadi sepertinya kamu harus mulai lebih peduli dengan keluarga ini, Calla." "Untuk apa?" desis Calla pelan dan muram. "Bukankah keluarga ini juga tak pernah peduli padaku?" 'Tak ada yang peduli padaku bahkan jika aku mati, termasuk ibu', imbuh Calla dalam hati dengan nada getir. "Jangan berkata omong-kosong. Kamu tahu jika ibu sangat peduli." Marissa berdecak pelan, lalu melanjutkan kembali perkataannya seolah tak sabar. "Kamu harus tahu jika Dylan berniat menguasai seluruh warisan, Calla. Kita harus bersatu untuk mencegahnya." Calla menghela napas pelan seraya menatap wanita yang masih tampak cantik dan elegan meski telah berusia 50 tahun. Ibunya memiliki rambut pirang lembut dan bola mata hijau yang cantik, sangat berbeda dengannya yang berambut merah dan warna mata biru. Calla memang lebih mirip dengan almarhum ayah kandungnya. "Dylan memang berhak atas warisan itu, ibu. Dia adalah satu-satunya anak kandung Tuan Steven Asher," sahut Calla seraya mengedikkan bahu tak peduli. Ibunya selalu saja ribut masalah harta, ia bosan sekali membahasnya. "'Ayah', Calla. Bukan 'Tuan Asher!'" hardik Marissa kesal, karena sejak dulu Calla memang enggan mengakui suami keduanya itu sebagai ayah sambungnya. "Baiklah, ibu akan langsung to the point denganmu! Calla, kamu harus mulai mendekati Dylan. Goda dia. Buat dia bertekuk lutut atau bahkan tergila-gila padamu, kalau perlu.” Untuk beberapa saat, Calla terdiam mematung. Ia mengira salah dengar, hingga akhirnya memalingkan wajah dan menatap ibunya dengan kening berkerut. "Apa ini? Ibu bercanda, kan?" Marissa menggeleng tegas. "Seperti katamu tadi, Dylan adalah pewaris tunggal. Tapi ibu juga berhak, sama denganmu juga! Kamu mau kita diusir dari Mansion Keluarga Asher begitu saja setelah ayah tirimu meninggal?" tandas tegas Marissa. Calla tak bereaksi, ia masih menunjukkan wajah yang datar. Toh selama ini ia hanya hidup dengan bermodalkan kekuatannya sendiri, tanpa menggunakan nama Asher sama sekali. Bahkan Calla melamar pekerjaan menggunakan nama keluarga ayah kandungnya, yaitu Rivera. “Dylan itu kakak tiriku, bu." Calla menghela napas pelan, menyadari posisinya yang tidak mudah karena ibunya adalah sosok yang gigih dan pantang menyerah jika sudah memiliki keinginan. "Lagipula aku tidak akan pernah bisa melakukannya," imbuh Calla lagi. Ia hendak melangkah pergi, namun Marissa mencengkram lengannya dengan kuat dan membuat Calla mengernyit sakit. "Kenapa? Karena kamu sudah memiliki kekasih? Kamu kira Knox Bennet itu bisa menghidupi kita dengan karir modelling-nya yang hanya segelintir, dibandingkan seluruh kekayaan keluarga Asher?!" sambar Marissa dengan sorot berapi-api. Calla tak suka mendengar ibunya yang seolah meremehkan Knox, padahal justru karir pria itu sedang melambung di dunia runway. Lagipula, Calla lebih merasa terhormat menjadi kekasih dari seorang pekerja keras seperti Knox, dibandingkan harus menggoda pria lain yang juga kakak tirinya! Dylan. Bahkan baru menyebut namanya dalam hati saja sudah membuat Calla merinding. Dylan tak pernah menyukainya sejak dulu. Pria itu selalu bersikap dingin, mengintimidasi, dan sinis padanya. Calla bahkan enggan untuk berada di jarak dekat dengannya, dan kini tiba-tiba saja ibunya melontarkan ide gila itu? Perlahan Calla melepaskan cengkeraman kuku tajam berkuteks merah menyala Marissa, yang juga telah menggores kulitnya hingga berdarah. "Maaf, ibu. Aku hanya mampir sebentar ke Southampton untuk menghadiri pemakaman. Jika acaranya sudah selesai, aku akan segera kembali." "Kamu tidak akan kemana-mana!" Marissa menghardik dan mencekal kembali tangan putrinya, tepat dimana luka goresan kukunya berada. Calla menatap ibunya dalam-dalam. “Sudah cukup, ibu. Selama ini aku tidak pernah mengeluh karena ibu mengabaikanku, kan? Lalu kenapa sekarang malah menjual anakmu sendiri?” “Bukan menjual, Calla. Aku hanya menyuruhmu mengambil hakmu. Sekali saja, gunakan pesonamu itu untuk membantu ibumu.” Calla membuang pandangannya ke arah lain. Meskipun ia tak ingin, tapi wajah ibu yang memohon dengan mata berkaca-kaca sedikit membuatnya tak tega. Jiwanya kering kasih sayang, namun sesungguhnya lembut dan mudah iba. "Sayang," Marissa mendekat, membelai rambut Calla dengan gerakan lembut yang terasa menyesakkan. "Kamu memiliki wajah yang sangat cantik dan fitur tubuh yang menawan. Tenang saja, aku akan mengajarkanmu semua cara untuk membuat pria dingin seperti Dylan takluk. Percayalah, semua lelaki akan tersiksa jika menginginkan sesuatu yang tak bisa ia miliki." Calla tak menyahut. Untuk saat ini ia tidak akan memberikan jawaban apa pun, tapi yang pasti ia akan mencari celah untuk melarikan diri. Tiba-tiba saja Marissa mengedipkan sebelah mata, seolah memberi isyarat agar Calla menegakkan bahu dan bersikap awas. Saat itulah dia melihatnya. Dylan Asher. Pria itu berjalan dengan langkah tegas ke arah mereka. Setelah lima tahun, Calla merasa tubuh Dylan semakin kokoh dan tinggi, namun auranya tetap saja dingin dan mematikan. Dan ketika manik kelabu tajam pria itu beradu dengannya, napas Calla pun seketika tercekat. Sial. Lima tahun telah berlalu, tapi ternyata Calla masih saja belum bisa melupakan rasa berdebar melihat cinta pertamanya. ***Udara di kamar terasa lembap dan hangat, masih menyisakan aroma sabun dan wangi lavender dari handuk yang tergantung di kursi. Saat ini Dylan sedang duduk di tepi tempat tidur, dengan satu tangan memegang hair dryer yang baru saja ia matikan. Suara lembut mesin itu berhenti, digantikan oleh desiran halus rambut Calla yang kini kering dan berkilau kemerahan di bawah lampu kamar. Pria itu menatap rambut itu seolah-olah benda paling berharga di dunia. Jemarinya menyelusup pelan, membenahi helai-helai yang masih sedikit acak. Kemudian ia menunduk untuk mengecup ujung rambut itu dengan lembut sebanyak dua kali, seperti ritual kecil yang selalu ia lakukan setiap kali selesai memandikan Calla dan mengeringkan rambut gadisnya. Seperti sebuah ucapan terima kasih yang penuh damba, karena Calla telah sangat membuatnya puas setelah sesi bercinta mereka yang sangat panas beberapa saat yang lalu. “Sudah kering,” gumannya pelan dengan suara serak tapi lembut. Calla hanya mendengus pelan. Ia
Suara mesin mobil mewah itu menderu stabil, melaju di jalanan kota yang padat. Sejak insiden ban mereka ditembak beberapa waktu lalu, sistem pengawalan semakin diperketat. Satu mobil hitam melaju di depan, satu lagi membuntuti dari belakang. Kendaraan Dylan dan Calla menjadi pusat dari formasi itu, seperti sebuah benda berharga yang harus dijaga dengan segala cara. Di kursi belakang, Calla duduk diam. Kepalanya menyandar di kaca jendela, tatapan birunya kosong menatap lalu-lalang kota. Rambut merahnya tergerai, sesekali bergetar lembut karena hembusan pendingin udara. Dari luar wajahnya tampak tenang, namun pikiran gadis itu terus bergulat. Tentang ibunya. Tentang jawaban samar yang diberikan Dylan. Tentang rasa tidak berdaya yang kian menyesakkan. Dylan melirik ke arahny. Ia lalu perlahan mendekat, tubuh tegapnya menggeser posisi hingga kini ia bisa meraih Calla. “Calla.” Suaranya rendah dan seketika memecah keheningan. Gadis itu menoleh dengan setengah hati. “Hm
Pintu kayu besar dengan ukiran klasik itu terbuka perlahan setelah beberapa kali terdengar suara ketukan sebelumnya. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara langkah ringan yang masuk, seiring dengan aroma lembut parfum bunga musim semi yang feminin yang mulai memenuhi ruangan. Dylan seketika menoleh. Tatapan kelabu dingin yang semula penuh intimidasi itu pun kini berubah total menjadi hangat, bersemangat, bahkan lembut. “Calla.” Suara pria itu terdengar lebih rendah, tapi juga lebih hidup. Calla berdiri diam di ambang pintu dengan rambut merahnya yang jatuh menutupi sebagian pipi, serta senyum terlukis di bibirnya. Ia tampak agak malu-malu, tapi juga penuh rasa ingin tahu. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu?” Dylan meletakkan gelas whiskey-nya, lalu berdiri perlahan dan berjalan dengan langkah tenang mendekati Calla. “Kamu tidak perlu mengetuk terlebih dahulu, Calla. Kapan pun kamu mau masuk, pintu ini akan selalu terbuka untukmu.” Rona merah muda mulai menghias
Lokasi : Kamar Marissa di Mansion Asher Marissa duduk di pinggir ranjang mewah dengan tatapan gelisah. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi kasur, pikirannya dipenuhi satu hal, yaitu Calla. Putrinya itu harus tahu bagaimana sikap Dylan yang telah menyita ponsel dan mengurungnya di dalam kamar seperti tahanan. “Tidak mungkin aku hanya diam di sini saja,” gumannya lirih. Setiap kali pelayan datang membawakan makanan, Marissa selalu mencoba berbagai cara. Pernah ia pura-pura jatuh pingsan, berharap pintu kamar terbuka lebar sehingga ia bisa kabur. Pernah pula ia mencoba menahan pelayan untuk tetap di kamar dengan alasan ingin ditemani, namun semua berakhir dengan kegagalan. Penjaga yang ditempatkan tepat di depan pintu kamar selalu siaga, seolah tidak pernah berkedip sedetik saja. Hari itu ada sebuah ide nekat lagi yang muncul di dalam kepalanya. Begitu seorang pelayan muda berwajah polos masuk sambil membawa nampan berisi sup hangat, Marissa langsung bergerak mendekat. “K
Lokasi : Mansion Keluarga Bianco Supir melajukan mobil mewah itu melewati gerbang besi tinggi yang dijaga ketat satpam berseragam hitam. Stella bersandar santai di kursi belakang, jari-jarinya yang ramping memainkan gagang kacamata hitamnya. Gaun elegan berwarna merah anggur menempel pas di tubuh semampainya, menegaskan keanggunan sekaligus aura seksi. Mobil berhenti perlahan di depan main entrance mansion megah yang menjulang dengan arsitektur klasik ala Eropa. Begitu supir turun dan membukakan pintu, Stella pun melangkah turun dengan penuh percaya diri. Heels-nya berderap ringan di lantai marmer, sementara kepala para pelayan menunduk memberi hormat. “Tuan Giuseppe telah menunggu di ruang tamu, Nona Stella,” ucap seorang pelayan wanita. Stella hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk. Aroma mahal dari wewangian ruangan bercampur dengan cahaya lembut lampu gantung kristal, membuat suasana semakin berkelas. Di sofa utama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi d
Kamar Dylan malam itu terasa hangat. Lampu gantung berwarna kuning redup menyinari ruangan luas dengan dinding marmer gelap yang kontras dengan sofa beludru tempat Calla bersandar. Gadis itu mengenakan piyama favoritnya bermotif tengkorak dan pisau, membuatnya merasa nyaman. Rambut merahnya digerai, sebagian jatuh menutupi bahu. Ia menatap layar televisi dengan serius, larut dalam adegan film drama yang tengah ia putar. Namun konsentrasinya pecah ketika suara getaran terdengar dari meja samping. Bzzz… Bzzz… Calla menoleh, melihat layar ponselnya yang menyala, serta sederet nomor asing yang kemudian muncul. Alisnya berkerut. Dengan ragu ia meraihnya, lalu membaca pesan itu. ~Bukan aku yang melakukannya, Cal. Percayalah. —KB Seketika Calla membeku. "KB…" bibirnya berbisik pelan dan jantungnya berdegup tak karuan. Knox Bennet? Hanya Knox yang selalu memanggilnya "Cal". Tidak ada orang lain. Tangan Calla sedikit bergetar. Tapi... Knox melakukan apa? Apakah ini soal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments