Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa.
Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah.
Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat.
Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan
Wajah Mas Ricky langsung kaget ketika aku menanyakan asal usul ucapan nakalnya itu. Jelas saja dia kaget karena aku pun kaget. Kita sama-sama kaget! Gila benar, dari mana dia tahu adegan minta ampun seperti itu? Aku butuh jawaban! Dan aku butuh sekarang!“Jawab, Mas!” teriakku parau.“Apaan, sih? Pertanyaanmu selalu menuduh aku berselingkuh!” jawabnya ketus.“Tinggal jawab kenapa repot amat? Tinggal bilang kamu tahu dari mana segala enak sampai minta ampun?” desakku terus.“Iya … dari … ehm … aku kadang nonton film … itulah! Tau kan? Film dewasa!” jelas Mas Ricky malah menyeringai mesum.Keningku mengernyit. Iya, aku sendiri juga pernah melihat film dewasa, tetapi hanya sedikit-sedikit. Apa iya sampai minta ampun? Perasaan cuma mendesah teriak-teriak saja? Ih, yang bener seperti apa? Aku semakin bingung.Mas Ricky menggeser duduknya, semakin mendekatiku. “Udah
“Kamu ada tabungan bonus, Mas?” tanyaku setengah tidak percaya. “Sejak kapan?”“Udah lama, kenapa?” jawab Mas Ricky balik bertanya.“Kok aku nggak pernah tau? Di rekening apa?” desakku makin panik. Kenapa dia memiliki rekening bank yang sama sekali tidak kuketahui? “Berapa jumlah saldonya?”“Lumayan, rasanya cukup untuk nutupi kekurangan opname Papa.”“Lumayan berapa? Puluhan? Ratusan? Berapa, Mas?”“Kamu kenapa, sih? Kok malah marah dengar aku punya tabungan?”“Karena aku sama sekali tidak tau! Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?” rintihku menangis.“Icha, kamu kenapa? Aku heran, ya, sama kamu! Tabungan itu buat kita. Masa depan kita. Kamu, aku, dan anak-anak! Kenapa jadi masalah?” Mas Ricky mulai kesal, membuatku terhenyak mendengar ucapannya. Masa depan kami?Mama mendekat. Sepertinya dari kejauhan ia
Diskusi siang ini dengan Mbak Lelly tergolong keras dan membuat patah hatiku. Jujur, aku berharap sahabatku itu mendukung keputusan untuk mengkonfrontasi semua temuanku tadi malam di ponsel Mas Ricky. Aku kira dia akan menyarankan supaya aku cepat pergi meninggalkan suamiku.Ternyata tidak, justru sahabatku ini mengajak agar aku menggunakan logika ketimbang perasaan. Berkali-kali dia mengatakan ini bukan sinteron. Ini kenyataan dan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.“A-aku ng-nggak siap, Mbak,” jawabku lirih, menyerah.“Kamu hamil, papamu sakit. Satu-satunya yang bisa membiayai papamu Cuma Ricky. Masak iya kamu mau ribut sama dia sekarang? Kalau dia terus pergi dari kamu dan lari ke Iin gimana? Siap jadi wanita hamil tanpa suami? Kemana-mana sendiri?”“Mbak! Udah, stop! Aku nggak kuat!” protesku semakin miris mendengar andai-andai dari Mbak Lelly.“Orang sabar bukan berarti kalah, loh, Cha
Pertanyaan Mama Enik seperti suata guntur di siang bolong. Kenapa sih aku harus punya mertua seperti ini? Sesalku membatin. Papaku belum sadar, sudah meributkan urusan kamar VIP ini.“Ehm, duit aku dan Anissa, Ma,” jawab Mas Ricky ragu-ragu. Dia sendiri sungkan dengan gaya ceplas-ceplos ibunya.“Emangnya Anissa ada duit? Gaji sales mobil besar, ya?” Mama Enik jelas sedang bersarkasme ria.Kupandang wajah ibuku yang makin menunduk lesu. Sifatnya yang pendiam dan mengalah membuat dirinya sering memendam kesedihan.“Semua dibayar sama Mas Ricky, Ma. Nanti kalau aku ada rejeki, akan aku ganti semua biaya pengobatan Papa,” tukasku menghentikan semua omongan pedas mertua.Aku berjalan menuju mamaku dan memberi isyarat agar mengikutiku keluar ruangan. Suasana sudah terlalu pengap akibat kedatangan mertua dan adik ipar yang tidak bisa bicara baik-baik.“Sabar, Anissa. Mertuamu mungkin hanya takut uang Ricky
Tanganku masih terus bergetar. Aku semakin panik! Ponsel terkutuk! Dia hang! Mati aku! Harus apa?“Mas! Tolong ambilkan air minum, ya!” teriakku dari dalam kamar, agar Mas Ricky kembali ke dapur yang terletak di depan kamar mandi. Supaya aku ada waktu untuk me-restart ponselnya.“Dingin apa biasa?” sahut Mas Ricky berbalik arah. Tidak jadi ke kamar.“Buatin teh mau, nggak? Yang panas. Aku agak masuk angin, nih!” seruku sambil memencet tombol power. Kalau teh panas, dia harus memasak air dulu karena kami tidak punya water dispenser. Boros listrik!“Buat kamu, apa yang enggak, Beb?” gombalnya dari dapur.Halah! Gayamu, Mas! Makiku dalam hati. Apa yang enggak? Banyak! Salah satunya setia!Ponsel sudah kembali menyala dengan normal setelah aku restart. Semua aplikasi yang tadi kubuka tertutup secara otomatis. Syukurlah! Sekarang, tinggal kutaruh lagi di atas meja rias dalam posisi layar terkunci.
“Mama Enik, maaf, ya, Ma! Mas Ricky sejak awal bilang kalau semua dia yang bayar. Ikhlas! Nggak ada utang piutang! Ini yang sakit bapakku, Ma! Besannya Mama!” sergahku sudah tidak tahan lagi.“Heh! Ini urusan orang tua! Kamu nggak usah ikut-ikut!” bentak Mama Enik kepadaku.“Nggak bisa, Ma. Karena ini menyangkut orang tuaku! Jadi, aku harus ikut ngomong!”“Disuruh diam nggak mau? Nggak nurut! Mbak Yuni, anaknya dikasih tau, dong! Sama mertua yang sopan!” cibir Mama Enik memonyongkan bibir sampai sekian sentimeter ke depan.“Cha, sabar!” Mamaku mulai tidak kuat dan kalah hawa oleh besannya.“Icha sabar, kok, Ma! Cuman Icha nggak mau kalau ada hutang piutang yang nggak jelas gitu. Icha panggil Mas Ricky aja!” Kubalikkan badan, bersiap memanggil suami ter— …. Aku tak tahu ter apa? Tercinta? Bah! Mana bisa aku cinta dia!Mama Enik tiba-tiba menarik tanganku lalu
Permintaan Mama Enik agar Mas Ricky menceraikan aku membuat napas jadi berjeda. Sedemikian bencinya mertuaku satu ini kepadaku. Padahal, sedang ada cucunya di dalam perutku. Semakin membuatku bertanya, apakah dia manusia atau bukan?“Mama! Apa-apaan? Jangan begitu, Ma! Kami baru menikah kok sudah disuruh cerai?” Mas Ricky sangat emosi.Aku diam saja. Meladeni lidah mertua yang tajam hanya akan semakin menyakitkan hati. Kalau memang cerai, paling tidak bukan aku yang meminta.Sebenarnya, sudah gatal sekali mulut ini untuk mengiyakan permintaan Mama Enik. Bahagia sekali aku kalau bisa berpisah dari suamiku yang tukang selingkuh ini!“Yah, Mas Ricky sih salah pilih istri. Dapatnya yang nggak sopan sama Mama,” celetuk Dessy sambil bermain dengan ponsel. Senyumnya culas melirikku.“Betul, itu, Rick! Dessy itu benar! Kamu sudah salah pilih!” timpal Mama Enik.Aku menatap Mama Enik dan Dessy dengan pandangan pali