Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?
Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.
Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.
Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pakaian dan memasang senyum termanis. Ketia ia mulai memasuki showroom, aku langsung menyapa.
“Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya ba—”
“Andre. Di mana dia?” potong wanita itu melihatku acuh. Tidak ada senyum sama sekali.
“Ha?” Aku bingung.
“Andre! Pemilik showroom ini! Di mana dia? Bosmu itu, kan?” ulangnya sedikit meninggikan suara padaku.
“Di atas,” jawabku lunglai. Ternyata wanita ini mencari Pak Andre. Kukira dia akan beli mobil.
Tanpa mengucap apa-apa lagi, dia pergi dan aku kembali sendiri di showroom ini. Dalam batin aku bertanya-tanya. Siapa wanita itu? Apakah pacarnya Pak Andre? Atau adiknya?
Sepuluh menit berlalu, terdengar langkah kaki dari atas tangga. Ada lebih dari satu orang yang berjalan turun. Pak Andre terlihat menunduk, dengan wanita tadi di sebelahnya.
Aku hanya terdiam, tidak berani menyapa. Wajah bosku terlihat muram, tidak seperti saat ia mengajakku sarapan. Mungkin ada suatu kejadian, suatu masalah yang membuatnya murung. Tak berani bertanya dan tak ingin tahu juga apa masalahnya, aku tetap diam.
Pak Andre sama sekali tidak menoleh padaku. Dia terus berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya selalu tegap dan terlihat gagah.
“Sayang, aku ke kamar mandi dulu!” seru wanita itu menghentikan langkah Pak Andre.
Keduanya bertatapan. Pak Andre hanya diam dan mengangguk. Ketika wanita itu memasuki kamar mandi, Pak Andre berjalan mendekatiku.
“Maaf, tidak jadi sarapan. Beverly memintaku ikut dengannya ke sebuah acara penting,” ucapnya menyesal.
“Beverly?” aku tidak mengerti.
“Dia … tunanganku,” jelas Pak Andre menunjuk kamar mandi.
“Ooo, Bapak sudah bertunangan? Cantik banget, Pak, tunangannya!” sahutku memuji.
“Hmm, biasa saja. Kamu sendiri? Sudah punya pacar?”
“Saya sudah menikah, Pak,” jawabku tersenyum dan memperlihatkan cincin pernikahanku.
Pak Andre terlihat sedikit terkejut mendengar jawabanku. “Ooo, sudah menikah?” katanya bergumam sendiri.
"Suami kerja di mana?"
"Bank Dana, Pak."
Beverly telah keluar dari kamar mandi. Ia melihatku sinis karena sedang berbincang dengan Pak Andre. “Ayo, Sayang,” ajaknya menggandeng tangan Pak Andre.
Aku berdiri dan menundukkan kepala. Menghormati bos yang hendak pergi meninggalkan showroom. Beverly sesekali menoleh ke belakang dan memandangku tajam. Ada apa dengannya? Apa aku ada salah? Ah, sudahlah! Mungkin dia sedang sakit mata saja. Aku malas berpikir lebih lanjut.
***
Aku kembali menatap ponsel. Mas Ricky sudah tidak online lagi. Aku mengirim chat. Mengatakan aku rindu dan minta dia segera menghubungiku saat sudah sampai ke Malang.
Hari berlalu dengan cepat karena hari ini banyak tamu di showroom. Aku sedikit kewalahan karena hanya sendirian tanpa Mbak Lelly. Ketika waktu pulang telah tiba, badanku rasanya nyeri semua. Kenapa kehamilan ini begitu menyiksa? Batinku bergelut dengan protes.
Aku memesan Grab mobil seperti yang diminta Mas Ricky. Jam pulang kantor membuat traffic ramai hingga aku berkali-kali gagal memesan. Hari sampai sudah berganti menjelang malam.
Ting! Akhirnya aku mendapatkan taksi online! Hanya saja, jaraknya masih sekitar dua puluh menit lagi. Ya, sudah, aku sabar menunggu. Sambil menanti, aku terus mengirim pesan dan menelepon Mas Ricky. Masak sejak pagi tadi dia hanya sekali membalas chatku dengan kalimat singkat yaitu, “Aku juga kangen kamu.”
“Belum pulang, Anissa?” suara Pak Andre kembali mengagetkan diriku.
“I-iya, Pak. Grab-nya belum datang,” jawabku berusaha terlihat biasa. Padahal, aku agak deg deg serrr didatangi Pak Andre. Dia itu bos, kaya raya, dan … tampan. Aku masih normal dan menganggapnya menarik.
“Suamimu ke mana?” tanya Pak Andre lagi.
“Keluar kota, Pak.”
“Oh, begitu. Rumahmu di mana?”
“Sidoarjo, Pak.”
“Mau saya antar?” tawarnya membuatku mendelik.
“Ng-nggak, Pak. Saya naik Grab aja. Nanti ngerepotin Bapak,” tolakku halus.
“Nggak ngerepotin, kok. No problem. Gimana? Saya antar, ya?”
Aku menggelengkan kepala. Bukannya apa, takut saja aku jadi GR dan memiliki rasa yang salah. Apa lagi, tunangan Pak Andre sangat menakutkan dengan pandangan matanya yang tajam itu.
Melihatku menolak terus menerus akhirnya ia menyerah. Setelah berpamitan padaku, ia beranjak pulang. Langkah kakinya menuju parkiran dan membawa Mercy S Class-nya pergi dari kantor.
Saat sampai rumah, aku video call Mas Ricky. Masih saja tidak ia angkat. Aku semakin gelisah. Kenapa tidak bisa menjawab sama sekali? Bahkan kini, chat nya hanya centang satu. Aku hubungi nomor GSM-nya juga dijawab oleh Mail Box. Bagaimana ini?
Tulisan last seen terlihat pukul 17.30. Kalau bisa online pada waktu itu, kenapa ia tidak menjawab puluhan chat dariku? Kenapa tidak menelepon balik dan menjelaskan ia ke mana saja sampai tidak bisa menghubungiku.
Aku berusaha berpikir keras dengan segala nyeri yang menjalar di seluruh tubuh. Pinggul ini rasanya seperti habis dipukuli orang sekampung. Nyeri sekali.
Dilema mulai merayap masuk pikiran. Antara berpikir Mas Ricky sedang bersama wanita lain, tetapi juga takut ada apa-apa dengannya. Apakah dia baik-baik saja?
Bagaimana pun juga aku harus berhasil menghubunginya malam ini supaya bisa tidur dengan tenang. Ah, aku ada ide! Aku melihat media sosial Mas Ricky dan mencari teman kantornya.
Nah, ini ada foto saat suamiku sedang di kantor bersama teman-temannya. Aku lihat siapa saja yang di-tag. Ada seorang lelaki bernama Yoyok. Nama ini sering disebut oleh Mas Ricky ketika ia bercerita tentang situasi kantor.
Kukirm DM kepada Pak Yoyok itu. Aku menanyakan apakah ada nomor orang kantor yang bisa kuhubungi untuk mencari kabar tentang Mas Ricky. Untung saja saat itu Pak Yoyok sedang online. Ia kemudian memberikan nomor seorang lelaki lain bernama Ari. Dengan segera aku telepon nomor tersebut.
“Ya, halo? Cari siapa?” jawab Ari menerima panggilan dariku.
“Maaf mengganggu, saya istrinya Ricky. Sejak siang suami saya belum mengabari kondisinya di Malang. Sekarang malah ponselnya mati, tidak bisa saya hubungi. Apakah Ricky ada di situ?” tanyaku menjelaskan panjang lebar.
Ari kemudian mengatakan bahwa ia tidak sekamar dengan Mas Ricky. Adalah Pak Ando yang harus kuhubungi. Ia memberikan nomor Pak Ando, dan aku segera menelepon.
“Ricky tadi pergi ke luar dari jam enam sore. Katanya ada janji dengan saudaranya? Coba telepon ke saudaranya saja,” ucap Pak Ando menceritakan perihal suamiku.
Kuucap salam terima kasih kemudian kututup telepon. Badan langsung kurebahkan ke atas ranjang. Mata memejam. Tubuhku terasa ringan sekali. Pusing kian melanda, dan aku merasa mual. Tanganku kembali menjadi dingin.
Pergi dengan saudara? Siapa? Mas Ricky tidak ada saudara di Malang. Semua saudaranya ada di Surabaya. Apakah firasat kekhawatiranku benar, bahwa ia sedang bersama wanita lain di sana?
BERSAMBUNG
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan
Wajah Mas Ricky langsung kaget ketika aku menanyakan asal usul ucapan nakalnya itu. Jelas saja dia kaget karena aku pun kaget. Kita sama-sama kaget! Gila benar, dari mana dia tahu adegan minta ampun seperti itu? Aku butuh jawaban! Dan aku butuh sekarang!“Jawab, Mas!” teriakku parau.“Apaan, sih? Pertanyaanmu selalu menuduh aku berselingkuh!” jawabnya ketus.“Tinggal jawab kenapa repot amat? Tinggal bilang kamu tahu dari mana segala enak sampai minta ampun?” desakku terus.“Iya … dari … ehm … aku kadang nonton film … itulah! Tau kan? Film dewasa!” jelas Mas Ricky malah menyeringai mesum.Keningku mengernyit. Iya, aku sendiri juga pernah melihat film dewasa, tetapi hanya sedikit-sedikit. Apa iya sampai minta ampun? Perasaan cuma mendesah teriak-teriak saja? Ih, yang bener seperti apa? Aku semakin bingung.Mas Ricky menggeser duduknya, semakin mendekatiku. “Udah
“Kamu ada tabungan bonus, Mas?” tanyaku setengah tidak percaya. “Sejak kapan?”“Udah lama, kenapa?” jawab Mas Ricky balik bertanya.“Kok aku nggak pernah tau? Di rekening apa?” desakku makin panik. Kenapa dia memiliki rekening bank yang sama sekali tidak kuketahui? “Berapa jumlah saldonya?”“Lumayan, rasanya cukup untuk nutupi kekurangan opname Papa.”“Lumayan berapa? Puluhan? Ratusan? Berapa, Mas?”“Kamu kenapa, sih? Kok malah marah dengar aku punya tabungan?”“Karena aku sama sekali tidak tau! Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?” rintihku menangis.“Icha, kamu kenapa? Aku heran, ya, sama kamu! Tabungan itu buat kita. Masa depan kita. Kamu, aku, dan anak-anak! Kenapa jadi masalah?” Mas Ricky mulai kesal, membuatku terhenyak mendengar ucapannya. Masa depan kami?Mama mendekat. Sepertinya dari kejauhan ia
Diskusi siang ini dengan Mbak Lelly tergolong keras dan membuat patah hatiku. Jujur, aku berharap sahabatku itu mendukung keputusan untuk mengkonfrontasi semua temuanku tadi malam di ponsel Mas Ricky. Aku kira dia akan menyarankan supaya aku cepat pergi meninggalkan suamiku.Ternyata tidak, justru sahabatku ini mengajak agar aku menggunakan logika ketimbang perasaan. Berkali-kali dia mengatakan ini bukan sinteron. Ini kenyataan dan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.“A-aku ng-nggak siap, Mbak,” jawabku lirih, menyerah.“Kamu hamil, papamu sakit. Satu-satunya yang bisa membiayai papamu Cuma Ricky. Masak iya kamu mau ribut sama dia sekarang? Kalau dia terus pergi dari kamu dan lari ke Iin gimana? Siap jadi wanita hamil tanpa suami? Kemana-mana sendiri?”“Mbak! Udah, stop! Aku nggak kuat!” protesku semakin miris mendengar andai-andai dari Mbak Lelly.“Orang sabar bukan berarti kalah, loh, Cha
Pertanyaan Mama Enik seperti suata guntur di siang bolong. Kenapa sih aku harus punya mertua seperti ini? Sesalku membatin. Papaku belum sadar, sudah meributkan urusan kamar VIP ini.“Ehm, duit aku dan Anissa, Ma,” jawab Mas Ricky ragu-ragu. Dia sendiri sungkan dengan gaya ceplas-ceplos ibunya.“Emangnya Anissa ada duit? Gaji sales mobil besar, ya?” Mama Enik jelas sedang bersarkasme ria.Kupandang wajah ibuku yang makin menunduk lesu. Sifatnya yang pendiam dan mengalah membuat dirinya sering memendam kesedihan.“Semua dibayar sama Mas Ricky, Ma. Nanti kalau aku ada rejeki, akan aku ganti semua biaya pengobatan Papa,” tukasku menghentikan semua omongan pedas mertua.Aku berjalan menuju mamaku dan memberi isyarat agar mengikutiku keluar ruangan. Suasana sudah terlalu pengap akibat kedatangan mertua dan adik ipar yang tidak bisa bicara baik-baik.“Sabar, Anissa. Mertuamu mungkin hanya takut uang Ricky
Tanganku masih terus bergetar. Aku semakin panik! Ponsel terkutuk! Dia hang! Mati aku! Harus apa?“Mas! Tolong ambilkan air minum, ya!” teriakku dari dalam kamar, agar Mas Ricky kembali ke dapur yang terletak di depan kamar mandi. Supaya aku ada waktu untuk me-restart ponselnya.“Dingin apa biasa?” sahut Mas Ricky berbalik arah. Tidak jadi ke kamar.“Buatin teh mau, nggak? Yang panas. Aku agak masuk angin, nih!” seruku sambil memencet tombol power. Kalau teh panas, dia harus memasak air dulu karena kami tidak punya water dispenser. Boros listrik!“Buat kamu, apa yang enggak, Beb?” gombalnya dari dapur.Halah! Gayamu, Mas! Makiku dalam hati. Apa yang enggak? Banyak! Salah satunya setia!Ponsel sudah kembali menyala dengan normal setelah aku restart. Semua aplikasi yang tadi kubuka tertutup secara otomatis. Syukurlah! Sekarang, tinggal kutaruh lagi di atas meja rias dalam posisi layar terkunci.
“Mama Enik, maaf, ya, Ma! Mas Ricky sejak awal bilang kalau semua dia yang bayar. Ikhlas! Nggak ada utang piutang! Ini yang sakit bapakku, Ma! Besannya Mama!” sergahku sudah tidak tahan lagi.“Heh! Ini urusan orang tua! Kamu nggak usah ikut-ikut!” bentak Mama Enik kepadaku.“Nggak bisa, Ma. Karena ini menyangkut orang tuaku! Jadi, aku harus ikut ngomong!”“Disuruh diam nggak mau? Nggak nurut! Mbak Yuni, anaknya dikasih tau, dong! Sama mertua yang sopan!” cibir Mama Enik memonyongkan bibir sampai sekian sentimeter ke depan.“Cha, sabar!” Mamaku mulai tidak kuat dan kalah hawa oleh besannya.“Icha sabar, kok, Ma! Cuman Icha nggak mau kalau ada hutang piutang yang nggak jelas gitu. Icha panggil Mas Ricky aja!” Kubalikkan badan, bersiap memanggil suami ter— …. Aku tak tahu ter apa? Tercinta? Bah! Mana bisa aku cinta dia!Mama Enik tiba-tiba menarik tanganku lalu