Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.
“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!”“Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya.“Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara. <Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Malam ini adalah malam pernikahanku. Rasa penat, lelah, nyeri menghunjam di sekujur pergelangan kaki. Ya, berdiri berjam-jam memakai hak tinggi rupanya cukup menyiksa. Meski aku sudah biasa memakainya untuk bekerja, tetap saja rasanya sangat sakit.“Sini, Mas pijetin,” ucap Mas Ricky menarik kakiku ke atas pangkuannya.Suami yang lebih tua delapan tahun daripada usiaku. Wajahnya sangat tampan dengan kulit putih bersih. Ia bekerja sebagai manajer area di sebuah bank swasta terkenal, tempat kami bertemu hingga akhirnya menikah.“Nggak nyangka, kita akhirnya nikah juga, ya, Mas,” celotehku asal berbunyi. Memang aku tipe orang yang ceplas-ceplos.“Yah, namanya jodoh, Cha,” sahutnya santai masih terus memijat kakiku.Kutatap perbuatannya menyentuh tubuh ini. Ia tersenyum begitu tulus. Bahkan, rona bahagia terpancar jelas di wajahnya. Tidak kupungkiri, aura khas para raja memang memancar di sana. Mas Ricky berasa
Mataku terbelalak. Tidak hanya berkunang-kunang tapi juga berkaca-kaca. Apa-apaan ini? Aku menjerit sekencang mungkin di dalam hati. Tanganku sampai bergetar hebat dan hampir saja ponsel Mas Ricky terjatuh. Gambar seronok dan juga … vulgar, bahkan porno! Ada foto Tanti sedang … telanjang. Bahkan dalam bentuk close up! Aku tak mampu bernapas lagi. Sesak! Semua terlalu menyesakkan! Dadaku berat, seperti ada batu karang yang menahan untuk bernapas. Ya, Tuhan! Tolong aku! Inikah yang dinamakan kondisi shock? Rasa mual perlahan merayap di dalam perut. Mengacak-acak dan mengaduk-aduk seisi lambung, membuatku ingin muntah! Aku ingin menangis, tetapi air mata tidak mau keluar sama sekali! Mataku tetap saja kering tanpa setetes air mata pun. Kenapa aku tidak bisa menangis? Tangan masih saja bergetar, dengan telapak tangan yang makin dingin. Mata mendelik, tak berkedip, menatap layar. Menatap wanita seksi dengan buah dada besar dan montok, sedang berpose menant
“Jangan becanda, Mbak! Aku lagi bad mood, loh!” tukasku cemberut.“Siapa juga yang becanda? Serius ini! Kamu udah dua bulan nggak haid, 'kan? Nggak KB juga, 'kan?” Mbak Lelly malah semakin tersenyum dengan mata berbinar.Aku terdiam. Jantungku seperti dipompa. Berdegup kencang sekali. Apa iya aku hamil secepat ini?“Tapi, aku masih nggak mau hamil dulu, Mbak,” jujurku menundukkan kepala.“Hah? Kenapa?” Mbak Lelly terkejut sampai tidak jadi menyesap white coffee kesukaannya.Aku diam sejenak. Masih ragu untuk mengatakannya. Apakah aku akan jadi orang yang bejat kalau kukatakan aku masih belum mau punya anak?“Kenapa, Cha? Ayo, cerita!” desak Mbak Lelly mencolek lenganku.Kuhela napas panjang. Sebenarnya masih enggak untuk bercerita. Akan tetapi, ah, sudahlah!“Aku … sempat punya pikiran mau cerai dari Mas Ricky. Kalau punya anak, nanti semakin susah cerainy
Mati aku! Benar kata Mbak Lelly! Aku hamil! Dua garis biru terlihat nyata di alat test pack. Pantas saja aku mual terus menerus. Lemas sudah tubuh ini. Kepala tertunduk lesu. Meratapi kenyataan.Hamil? Punya anak? Dengan kondisi Mas Ricky masih menebar pesona ke segala penjuru mata angin? Mampukah aku melewatinya?“Cha? Lama amat di kamar mandi? Ngapain?” Suara Mas Ricky berteriak dari luar. Ia menggedor-gedor kanar mandi.“Sakit perut! Sabar dikit, lah!” omelku masih mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan.“Iya, aku sabar! Masalahnya aku juga kebelet pipis!” protesnya kembali.“Huuuh! Ngeganggu aja!”Kutekan tombol siram di kloset. Selesai membersihkan diri, kupakai kembali daster seksi berwarna merah muda pemberian Mas Ricky. Oleh-oleh dari Bali tiga minggu lalu saat ia rekreasi dengan teman kantornya.“Cha! Buruan!” teriak suamiku lagi.“Masih cuci mu
Mama Enik dan Dessy terlihat sangat sumringah mendapat paket tersebut. Aku cuma bisa melirik pada Mas Ricky. Protes dengan sikap ibu dan adiknya yang sangat tidak menghargai keberadaanku.Okelah mereka tidak suka padaku, tetapi apa iya harus seperti ini juga? Apa mereka tidak sadar aku tersinggung? Harusnya mereka lebih pro denganku, keluarga baru mereka. Bukan dengan Tanti, yang hanya sekedar mantan.Aku tidak tahan, aku harus bersuara meski sedikit. Kalau diam saja, nanti aku semakin dianggap tidak ada.“Oh, jadi Tanti masih suka kirim barang buat Mas Ricky ke alamat sini, ya, Ma?” tanyaku datar. Kupandang mereka dengan mata memicing. Kupastikan mereka tahu aku tersinggung.“Nggak, kok, Sayang. Tanti nggak pernah kirim apa-apa. Baru kali ini aja. Iya, kan, Ma?” jawab Mas Ricky mengamit tanganku. Ia tahu aku cemburu.“Buka dulu aja paketnya, Des!” perintah Mama Enik tidak menghiraukan pertanyaan maupun perasaank