~Jonah~
Menyusun rencana, memeriksa lokasi, mengajukan proposal, mengadakan event, mengawasi pelaksanaannya, mengevaluasi pelaksanaan setiap harinya, menulis laporan, menerima masukan, kemudian menyusun rencana baru lagi, begitu terus berputar-putar yang harus aku lakukan sebagai manajer pemasaran.
Tidak ada hari untukku duduk diam di ruanganku selama sebulan terakhir ini karena peluncuran apartemen baru yang dibangun oleh perusahaan Ayah mendapat sambutan baik, tetapi belum semua unit terjual. Jika kami tidak bergerak cepat, kami akan segera disibukkan lagi dengan program baru untuk memasarkan unit pada mal yang sebentar lagi akan selesai dibangun.
Fabian sedang menunjukkan laporan terbaru promosi yang kami lakukan di sebuah mal ketika seseorang menabrak tubuhku sehingga cup kopi yang aku pegang mengenai pakaianku dan tumpah. Kopi itu sudah tidak panas lagi tetapi isinya masih penuh. Aku tidak sempat meminumnya karena tidak berhenti bicara dengan asistenku.
“Aku mohon, maafkan aku,” katanya dengan nada panik.
Sebenarnya wanita itu tidak perlu meminta maaf. Kecelakaan kecil seperti ini adalah hal yang biasa. Aku tidak memperhatikan keadaan di depanku, dia juga mungkin begitu. Tetapi melihat wajahnya, aku segera mengingat hal penting yang Ayah katakan pagi tadi.
Celeste Renjana akan memberikan jawabannya mengenai tawaran yang Ayah janjikan kepada papanya. Jason selalu saja lebih beruntung. Wanita muda itu tidak berasal dari keluarga kaya raya yang bisa disandingkan dengan keluarga kami, tetapi kecantikannya tidak kalah dengan mereka.
“Semoga saja pertemuan pagi ini lancar dan Celeste memberi jawaban iya,” kata Bunda dengan nada bahagia. Aku tidak tahu apa yang begitu istimewa pada gadis itu.
“Tenang saja, sayang. Aku akan membawa pulang kabar bahagia,” ucap Ayah begitu percaya diri.
Menjadi anak pertama dan ahli waris utama memang mempunyai keunggulannya tersendiri, sebanding dengan tanggung jawab yang dipikulnya. Jason tidak terlihat berat mengerjakan semua hal yang sudah dibebankan kepadanya sejak masih kecil.
Kekurangannya hanya satu, dia suka perempuan. Aku tidak peduli sudah berapa perempuan yang tidur dengannya, tetapi dia selalu menceritakan dengan bangga bahwa dia tidak pernah menemukan kesulitan membawa mereka ke tempat tidur. Bahkan mereka dengan sukarela memberikan dirinya. Apa yang begitu membanggakan dari meniduri banyak perempuan? Apakah dia mendapat medali dan pengakuan dari seluruh dunia bahwa dia laki-laki idaman banyak wanita?
Ayah tidak mengetahui kebiasaan buruknya tersebut. Atau Ayah hanya berpura-pura tidak tahu, entahlah. Kadang-kadang aku tidak mengerti apa yang ada di dalam kepala pria tua itu. Apalagi sekarang dengan perjanjian aneh yang dibuatnya.
“Ingat, kamu harus bersikap baik jika bertemu dengan Celeste. Bundamu bisa kecewa kalau rencana ini sampai batal,” kata Ayah, setengah mengancam. Aku hanya diam dan berjalan menuju mobilku.
Dari begitu banyak kenalannya, mengapa dia tidak menikahkan Jason dengan salah satu putri dari para konglomerat? Mengapa harus memilih putri seorang pemilik restoran biasa? Restoran milik keluarga mereka memang tidak bisa dikatakan kecil, tetapi juga tidak seistimewa restoran yang ada di hotel bintang lima.
Merasakan getaran pada kantong sebelah kiri kemeja, aku mengeluarkan ponselku. Direktur bagian pemasaran dan penjualan, atasanku, meminta aku untuk segera mendiskusikan hal yang dikirimnya ke surelku. Aku mendesah pelan. Ayah akan bertemu dengan wanita itu pagi ini, aku tidak ingin berada di ruangan yang sama.
Namun mengingat bahwa aku akan membutuhkan keputusan dari Ayah untuk bisa aku diskusikan dalam rapat siang ini, aku menuruti perintah atasanku. Aku berganti pakaian di ruang kerjaku, lalu membawa tablet dan menuju ruang kerja Ayah.
“Duduk,” ucap Ayah singkat ketika aku memasuki ruangannya seolah-olah tahu bahwa aku akan datang. Pengacara Ayah, juga berada di ruangan tersebut. Aku memilih untuk duduk di sebelahnya dan membuka surel yang dimaksud oleh atasanku dan mempelajarinya.
Wanita muda itu masuk, dan mereka berbicara penuh basa-basi sampai akhirnya ruangan kembali tenang. Gadis itu menggunakan waktu dengan baik saat membaca kata demi kata yang ada di dalam surat perjanjian tersebut. Perempuan yang cerdas.
Namun tidak cukup cerdas ketika dia menerima begitu saja untuk dinikahkan dengan kakakku. Setidaknya, aku berharap dia akan mempertanyakan pilihan Ayah itu, tidak harus berdebat. Walau aku sangat berharap dia akan mendebatnya dengan keras. Sayangnya, tidak satu pun dari hal yang aku harapkan tersebut yang terjadi.
“Kalau kamu terus berbicara seperti itu dengan semua perempuan di luar sana, kamu tidak akan pernah menikah, Jonah,” kata Ayah setelah kami selesai berdiskusi.
“Ayah, aku masih dua puluh lima tahun. Untuk apa aku memikirkan menikah pada usia ini?” tanyaku tidak tertarik. Aku meminum kopi yang ada di dalam cangkir.
Bila menikah hanya untuk sekadar menemukan pendamping yang akan menemani ke mana pun aku pergi, maka aku tidak membutuhkannya. Aku lebih suka pergi sendirian dan aku lebih menikmati waktuku tanpa ada orang yang rewel di sampingku. Kalau menikah hanya untuk menemukan wanita yang bisa mengurus aku, aku punya pelayan di rumah yang sudah mengurus segala keperluanku.
Hal yang paling aku sukai dari menjadi anak kedua adalah aku tidak mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan garis keturunan keluarga. Jason akan segera menikah dan sebentar lagi juga dia akan memberikan Ayah dan Bunda seorang cucu. Aku bisa fokus melakukan apa yang aku inginkan dalam hidupku dan menjauh dari perempuan.
“Aku sudah menikah dengan ibumu saat aku seusiamu,” ucap Ayah dengan nada bangga.
“Zaman Ayah muda dan zamanku jelas sudah jauh berbeda, Yah. Jonas yang sudah berusia tiga puluh tahun saja belum menikah juga.” Aku membela diri. Kemudian aku menatapnya dengan serius. “Aku heran. Bagaimana Ayah bisa membujuknya untuk menikah dengan gadis itu?”
“Aku tidak perlu membujuknya. Aku hanya menunjukkan foto gadis itu dan dia segera setuju.” Ayah mengangkat kedua bahunya. Aku setengah tersenyum.
“Berarti dia masih waras. Gadis itu cantik dan kelihatannya dia cukup cerdas,” kataku sambil lalu. Ayah menatap aku dengan saksama.
“Aku tidak pernah mendengar kamu memuji seorang gadis sebelumnya.” Ayah memicingkan kedua matanya. “Dia akan menjadi kakak iparmu, jadi sebaiknya kamu jangan macam-macam.”
Gadis itu memang cantik, tetapi dia bukanlah tipeku. Untuk apa hanya puas dengan kecantikan saja bila aku bisa mendapatkan paket lengkap? Gadis yang hanya diam saja, pasrah dengan keadaan, bukanlah tipe yang aku inginkan menjadi istriku.
Jika aku akhirnya ingin menikah suatu hari nanti, aku tidak yakin aku akan berubah pikiran, tetapi jika itu terjadi, maka dia haruslah seorang wanita yang kuat, tegar, cerdas, dan tahan dengan omongan orang yang akan terus mengejek aku sebagai orang nomor dua.
Iya, aku sudah sering mendengarkan itu dari orang-orang di sekitarku. Bahkan ditertawakan tidak akan pernah berhasil seperti kakakku juga sudah sering aku dengar. Hanya karena tubuhku tidak tinggi besar seperti Jason dan wajahku tidak maskulin sepertinya, mereka berpikir aku hanya anak mama yang tidak bisa apa-apa.
“Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak akan pernah mengambil apa pun yang bukan hakku.” Ayah tahu bahwa aku mengatakan yang sebenarnya.
Sifat kami yang berbeda juga sering dibanding-bandingkan dan menurut mereka, Jason lebih memiliki karisma sebagai seorang pemimpin dibandingkan aku yang menjaga mulut saja tidak bisa. Apa salahnya berkata jujur? Dalam dunia bisnis, menjilat atau bersikap sok ramah tidak akan ada gunanya. Seorang pengusaha harus bisa berkata jujur apa adanya agar dia bisa dipercaya.
Aku tidak keberatan bila orang-orang memuji kemampuan Jason setinggi langit, tetapi mereka tidak harus merendahkan aku untuk menunjukkan bahwa dia lebih baik, ‘kan? Padahal aku sering sekali menunjukkan bahwa aku bisa lebih baik darinya. Aku tidak heran mereka berpura-pura tidak melihat prestasiku itu. Mereka pasti tidak siap menerima kenyataan bahwa aku lebih baik dari kakakku.
Kekhawatiran Ayah tidak akan pernah terjadi. Aku akan memilih wanita yang lebih baik dari gadis itu untuk menjadi istriku. Lagi pula, aku tidak pernah mau mengambil apa pun yang pernah menjadi bekas Jason. Tidak dengan pakaiannya, mainannya, bukunya, pacarnya, apalagi istrinya.
Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka
Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.
Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi
“Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men
“Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me
Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh