Acara wisuda kampus Columbia University itu berjalan dengan khidmat. Seperti biasa, wisuda diadakan di ruangan terbuka yang sudah terisi dengan ribuan wisudawan di sana. Setelah acara pembukaan yang diisi sambutan dari rektor, penampilan – penampilan menarik, kini pengumuman wisudawan berprestasi akan diumumkan.Dalam ingatannya, Leyna termasuk ke dalam kategori itu. Ia dipanggil sebagai tiga besar wisudawan berprestasi berdasarkan banyaknya penghargaan yang ia dapat dulu. Di posisi sepuluh besar, Olivia menyusul. Adik tirinya itu juga cukup berprestasi. Sayang, sifatnya tak mencerminkan itu semua.“Wisudawan berprestasi kesepuluh, Olivia Ailee Manston.” Nama itu diucapkan dengan lantangnya. Suara tepukan tangan juga ikut meramaikan. Kamera menyorot Olivia yang dengan bangganya menampilkan senyuman terbaiknya. Olivia berjalan dengan penuh percaya diri. Percayalah, jika kau tak mengetahui sikap busuk Olivia, pasti akan mengakui kesempurnaan yang dimiliki perempuan itu.Leyna hanya du
“Wisudawan terbaik ketiga, Leyna Reese Manston.” Akhirnya, nama itu terucapkan juga. Leyna berdiri dengan senyum anggunnya. Berjalan dengan penuh keeleganan dengan sorakan yang sangat meriah. Entah bagaimana juga tangkai bunga mawar saling berterbangan menghujani Leyna seiring langkahnya menuju ke panggung. Leyna tersenyum lebar, terkesima dengan hujan bunga yang ia dapat. Padahal, tadi tak ada sambutan seperti itu untuk wisudawan berprestasi lainnya. Semua berjalan lancar hingga ia menerima penghargaan di atas panggung. Tak seperti Olivia yang sangat setia dengan wajah kusutnya.***“Leyna!” panggil Reynand seraya melambaikan tangannya saat melihat keponakannya dari jauh.Leyna yang mengetahui keberadaan pamannya itu kemudian berlalri kecil untuk menghampirinya. “Paman!” pekiknya seraya menghamburkan pelukan kepada Reynand.“Oh, dear. Kau memang luar biasa. Lihatlah apa yang kau bawa ini?!” Reynand tersenyum bangga pada pencapaian Leyna. Bahkan, ia sudah seperti orang tua Leyna saja.
Olivia masih kesal dengan apa yang dialaminya saat wisuda kemarin. Edric tiba – tiba saja bersikap seperti orang asing dengannya dan kejadian memalukannya itu. Bagaimana bisa seorang Olivia terjatuh dua kali di depan banyak orang dan dilempari dua butir telur saat acara wisudanya? Ia sangat ingin menemukan pelakunya. Jangan lupakan tentang sepatu yang ia beli. Ia sudah datang ke sana dengan semua letupan emosinya. Menanyakan tentang kelayakan dan kualitas sepatu yang dijual merk itu. Tetapi, jawabannya malah membuat ia semakin kesal.“Lihatlah! Aku menghabiskan uangku tidak sedikit untuk barang rusak ini! Merk kalian terkenal, tapi kenapa bisa rusak seperti ini, huh?!”“Tenanglah, Nona. Kami bisa menyakinkan anda jika produk kami memiliki kualitas yang baik. Untuk kerusakan yang anda alami berada diluar kehendak kmai. Sebelum paket diantarkan, produk sudah kami cek kembali. Anda bisa lihat video yang kami ambil sebagai bukti,” Manager toko itu mencoba untuk menjelaskannya dengan seten
Leyna saat ini dilanda kebingungan. Lexi dan Chloe baru saja mengundangnya untuk bergabung di club nanti malam sebagai perayaan kelulusan mereka juga untuk salam perpisahan karena Chloe akan segera melanjutkan hidupnya di luar negeri. Ia bimbang, mereka baru saja dekat kemarin. Ia juga belum mempercayai mereka sepenuh hati. Tetapi, akalnya menginginkan untuk pergi ke sana. Bersenang – senang melepas pikiran dan menikmati suasana club yang belum pernah ia rasa.“Oke, aku akan pergi.” Balasnya kepada mereka lewat pesan teks.Leyna kemudian menyiapkan segala yang ia butuhkan. Meskipun masih kurang empat jam lamanya, tak masalah, bukan?Heaven Club, 23:00 PMLeyna sudah sampai di club bersama Chloe dan Lexi. Meskipun ini pertama kalinya bagi Leyna, ia dapat menyesuaikan diri. Ia memakai riasan sedikit bold yang sebenarnya ia lakukan agar tidak ada orang yang mengenalinya. Pakaian yang ia kenakan tak terlalu terbuka. Ia hanya memakai mini dress hitam di atas lutut yang menampilkan bahu mul
Dalam kesadarannya yang sudah mulai kembali, Leyna dapat mendengar samar – samar percakapan dua orang pria tak jauh dari tempatnya berbaring. Namun, tentu saja Leyna masih menutup matanya, berpura – pura tak sadarkan diri guna melihat situasi. Ia juga menyempatkan untuk meraba tubuhnya pelan dan merasakan pakaiannya masih lengkap. Ia benar – benar lega akan itu.Secara perlahan, tangan Leyna bergerak mengambil botol kecil di dalam sakunya. Ia lantas membuka sedikit pandangannya dan melihat kedua pria itu duduk di sofa seberang. Penampilan pria itu tak seperti yang Leyna bayangkan. Pria berbadan kekar mengerikan dengan tato di seluruh tubuhnya atau tindik di beberapa bagian tubuh. Yang berada di dalam ruangannya ini berbeda. Kedua pria itu tampak seperti pria normal dengan setelan kemeja formal.“Sebenarnya, apa yang direncanakan Olivia?” pikir Leyna tak mengerti skenario Olivia.“Apa ia ingin merekamku yang melakukan hubungan tak pantas dengan kedua pria itu? Yang nantinya akan ia seb
“Pakailah ini dan rapikan rambutmu,” ujar Liam. Saat ini, ia tengah berada di dalam lift bersama Leyna, kekasih bos sekaligus sahabatnya.Leyna mengerutkan alisnya melihat kacamata hitam yang disodorkan Liam. Seakan mengerti kebingungan perempuan di sampingnya itu, Liam menjelaskan. “Di depan, ada beberapa awak media yang aku rasa suruhan adikmu. Jadi, rapikan dirimu dan tolong bersikaplah seperti biasa. Apa kau bisa?” tanya Liam hati hati. Sebenarnya, ia tahu. Tak etis jika meminta seseorang menyembunyikan rasa takut akibat trauma yang dialam seperti kasusi Leyna. Tetapi bagaimana lagi? Setidaknya dengan bersikap biasa selama beberapa menit akan menggagalkan rencana busuk yang akan menghancurkan Leyna selamanya.Leyna mengangguk. Ia lantas mengambil kacamata hitam itu dan merapikan penampiannya. Cukup bermodalkan jari dan kaca lift, ia dapat memperbaiki penampilannya yang berantakan. Ia juga membersihkan lipstik yang tak karuan di pinggir bibirnya, dengan sapu tangan yang diberikan
Saat ini Xavier sudah sampai di basement, ia tak menghiraukan awak media itu dan berlari kecil menghampiri mobil pribadinya. Xavier kemudian mengecek jendela mobil. Setelah ia tahu Leyna ada di bangku belakang, ia segera masuk dan memerintahkan Liam untuk melajukan mobilnya.“Kau tak apa?” tanya Leyna seraya menelisik tubuh Xavier yang baru saja datang itu. Pria itu tampak baik – baik saja. Hanya berantakan sedikit pada pakaiannya akibat perkelahian tadi.“I’m Okay. Kau? Apa ada yang terluka?” Xavier bertanya sambil memegang pundak Leyna. Ingin menelisik wajah perempuan itu dan bagian lainnya. Ia juga tak mengerti. Seharusnya yang pertama kali bertanya tentang keadaan itu adalah dirinya. Bukan Leyna.Leyna menggeleng kecil seraya tersenyum dengan sangat tipis. “Tak apa. Terima kasih atas bantuanmu, Xavier.” ucapnya tulus. Ia benar – benar seperti memiliki lusinan nyawa karena pria di hadapannya itu.“No probem. Sekarang, buat dirimu senyaman mungkin di sini. Dan apa kau akan pulang ke
"Periksa jadwal Olivia dan segera beritahu aku besok. Aku akan menelponmu dengan ponsel yang berbeda, mengerti?” perintah Leyna pada orang di seberang telepon."Ah, tolong cari tahu juga apa yang dilakukan Lexi dan Chloe, teman baruku saat wisuda kemarin."Setelah sambungan telepon itu terputus, Leyna membuka pintu kembali berniat mengembalikan ponsel milik Xavier. Namun, pemilik ponsel itu menghilang. Leyna menekuk alisnya seraya menolehkan kepalanya ke samping guna mencari jejak Xavier. Dalam hitungan detik, pasti pria itu tak jauh dari sana, pikirnya.Netra Leyna tertuju pada pintu kamar di sebelahnya yang sedikit terbuka. Ia yakin Xavier berada di sana karena mungkin mengira ponselnya akan lama ia pinjam.Leyna mengetuk pintu itu, “Tuan Xavier! Ini ponselmu,” Meskipun melihat pintu itu sedikit terbuka, Leyna tak mau lancang masuk ke dalamnya. Ia juga agak tak nyaman bila berada di dalam satu ruangan apalagi seperti kamar tidur dengan pria asing. Efek traumanya.“Masuklah, Ley! Maaf