"Tapi .... " Harusnya kalimat itu belum usai, tapi karena lawan bicara telah menghilang, Zahira hanya bisa menghela nafas pasrah.
"Tapi, kenapa?" Dan ia bergumam seorang diri, tertegun hingga beberapa saat. Hingga tersadar bahwa dirinya masih berada di tempat ini, sementara di kelas sana, perkuliahan pasti sudah berlangsung.
Maka dengan tergesa-gesa, Zahira menyambar lembaran uang tebal dari Pak Gema tadi, dan membawanya berlari menuju kelas. Di sana, bahkan sepanjang materi kuliah ia tak bisa berkonsentrasi.
Pikirannya masih dipusingkan dengan ucapan Pak Gema tadi, yang katanya dua hari lagi akan mereka akan segera menikah. Hah, menikah? Yang benar saja.
Bahkan dalam mimpi pun ia belum pernah terpikirkan akan hal ini. Apalagi menikah dengan pria secuek itu. Apa ia bisa.
Apalagi, sejak dulu ia tak memiliki teman satupun yang bisa diajak bercurah hati. Hanya sang Ayah, yang tiga tahun lalu pun pergi meninggalkanya.
Kuliah di jam pertama berakhir dengan tanpa bekas apapun yang tertinggal dalam benak Zahira. Bahkan saat semua teman sekelas bingung membahas referensi tentang tugas yang akan dipresentasikan minggu depan.
Siang hari ia telah berada di rumah. Menjajar lembaran uang merah yang ternyata cukup banyak. Bukankah itu keberuntungan, Zahira memang memiliki tabungan meski tak seberapa. Dan harapannya juga untuk membuka toko pakaian kecil-kecilan di pinggir jalan raya sana.
"Aku ada ide!" Ia berseru, dan berbicara seorang diri seperti ini, telah menjadi hal biasa bagi seorang Zahira. "Uang sebanyak ini, sayang kalo nggak dimanfaatkan."
Terlihat ada seseorang datang, ia menyimpan uang dan bergegas. Biasanya, tak ada siapapun yang datang kecuali pembeli. Itupun jarang yang mau masuk rumah jeleknya. Maka, ia cepat membuka pintu, sebab baginya, pembeli adalah Raja. Tamu adalah Raja.
"Silahkan," Ucapnya seceria mungkin, juga membuat senyum lebar yang dipaksakan. Namun, seketika ia kaget. Ternyata yang datang bukan pembeli, melainkan Pak Gema.
"Pak Gema?" Gumamnya dengan reaksi kaget yang berlebihan. Ia melongo karena tamu agung itu mendadak melewatinya, masuk begitu saja tanpa peduli telah disilahkan atau belum. Zahira bingung sendiri, melihat dosen itu tiba-tiba datang dan mengamati sekeliling rumahnya.
"Pak. Eh, Pak .... " Zahira berlari mendekat, dan pria itu tetap pada sikap angkuhnya.
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ke rumah saya?" Tanya Zahira tergesa-gesa.
"Saya datang ke rumah calon istri saya. Apa tidak boleh?"
"Oh, siapa yang ngelarang? Eh .... " Mulutnya itu memang kadang tidak bisa dikendalikan, ia memukul bibir setelahnya. Menyusul Pak Gema yang sudah duduk di kursi plastik tanpa diminta.
"Pak .... "
"Saya bertamu ke rumahmu. Apa kamu tidak ingin membuatkan minuman?"
"Eh. Iya, deh .... " Zahira tersenyum nyengir, kemudian berlalu menuju dapur. Sambil memikirkan apa yang sebenarnya diinginkan pria itu. Pernikahan sandiwara katanya, lalu kenapa, dan untuk apa.
"Teh?" Suara Pak Gema, terdengar menyindir saat Zahira datang dan menyodorkan gelas batik berisi cairan pekat.
"Maaf, di sini cuma ada teh. Nggak ada minuman mewah kayak di restoran," Tukanya cepat. Sebenarnya Zahira ingin membalas sindiran Dosen itu, tapi entah bisa merasakan atau tidak.
Ia kesal dengan pria yang terkesan seenaknya itu. Hanya diam membiarkan Gema menyesap air teh dari gelas, dan menatap ke arahnya sekilas. Mungkin akan bicara.
"Satu hari lagi, kita akan menikah. Kamu hanya perlu datang dan menyiapkan mental." Suara Gema, benar-benar tak bisa menghargai orang lain.
"Kalau pernikahan ini cuma sandiwara, kenapa Bapak memilih saya?" Tanya Zahira.
"Saya akan membawa siapapun dalam sandiwara ini. Dan kebetulan, kamu yang mencari gara-gara di kelas."
"Jadi, karena itu?"
"Apalagi?" Zahira tertegun. Awalnya ia pikir, dosen itu menjatuhkan pilihan padanya adalah sebuah keberuntungan. Namun, ternyata ia salah. Jawaban Gema itulah buktinya.
"Setelah pernikahan nanti, jangan pernah berfikir saya akan benar-benar menganggapmu sebagai istri. Ini cuma sandiwara."
"Sekarang, ikut saya."
"Kemana?" Tanya Zahira, sebab si tamu agung itu telah berdiri menghadap pintu keluar.
"Membuat usaha apapun." Jawaban Gema sambil berlalu, dan Zahira tergopoh mengejarnya.
"Tunggu dulu, Pak Gema. Tapi saya sudah punya usaha sendiri!" Teriak Zahira. Gema terhenti dari langkah panjangnya, dan berbalik menatap sang gadis. Tersenyum miring menyeringai.
"Baguslah."
"Eh, tunggu, Pak."
"Pulang! Saya akan urus semuanya."
"Loh, katanya saya diajak. Nggak jadi, nih?" Teriakan Zahira hanya sia-sia saja, sebab Gema telah tiba di dekat mobil. Bersiap masuk dalam kendaraan yang terparkir beberapa meter dari depan rumah sang gadis.
"Pak Gema, bisnis saya ini cuma bisnis online. Jadi, nggak ada stok sendiri di rumah." Zahira kembali berteriak, entah dengan maksud apa. Setidaknya, jika Dosen itu membantu dirinya membukakan toko baju. Kan lumayan.
Meskipun dosen itu menanggapinya secara acuh, bahkan terkesan seperti mengabaikan. Namun Zahira tak peduli.
"Bisnis saya, pakaian wanita dan anak, Pak." Teriaknya lagi, saat Gema telah membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Dan tanpa sepatah katapun, pria itu melaju dengan kendaraannya.
"Hm! Enak aja. Emang situ doang yang bisa memanfaatkan orang lain?" Gumam Zahira menahan kesal. "Awas aja, dosen galak!"
Hari yang telah disepakati tiba. Di kediaman orang tua Gema, yang Zahira bahkan belum tau siapa nama mereka, ia telah siap layaknya calon mempelai perempuan.
Tak banyak yang hadir dalam acara ini, hanya kerabat dekat saja. Dua orang mempelai telah siap. Seharusnya mereka adalah pasangan yang serasi, dengan penampilan yang cantik dan tampan. Namun, siapa sangka pernikahan itu hanya permainan belaka.
Saat suara sah membahana di ruangan ini, saat itulah Zahira resmi melepas status gadis. Ia kini telah menjadi istri orang. Dan harusnya, ini adalah hari bahagia yang dilalui dengan senyuman bahagia.
Namun, sepanjang acara, bahkan saat foto bersama, ia harus memamerkan senyum palsu. Apalagi saat keduanya harus berakting, layaknya pasangan yang benar-benar saling mencintai. Adegan foto mesra ini, benar-benar membuat Zahira lelah.
Bahkan saat acara telah usai, dan mereka harus berada di kamar yang sama. Zahira mati gaya, benar-benar bosan sebab sejak tadi, Gema hanya sibuk dengan laptopnya saja.
Di kamar ini, ia bingung harus melakukan apa. Apalagi badannya masih berbalut kebaya putih, dan tak ada satupun pakaian yang ia bawa dari rumah. Ah, bodoh amat, sih! Rutuknya dalam hati.
"Pak, saya ngantuk," Lirihnya, berharap pria itu mau sedikit perhatian. "Pak," Panggilnya lagi, sebab tak ada jawaban dari sang suami.
"Tidur saja," Suara Gema terdengar sangat kaku. Zahira mendesah lirih.
"Tapi, saya nggak bawa baju ganti, Pak."
"Itu resiko kamu."
Dan percakapan malam ini berakhir begitu saja, sebab Zahira tak ingin menambah kesal dengan terus menjawab setiap kata dingin dari Gema. Ia memilih segera tidur meski masih lengkap dengan kebaya dan bawahan jarik, yang membuatnya tak nyaman.
Pagi-pagi sekali, ia sudah harus bangun, sebab Gema pun telah siap dengan pakaian mengajar seperti biasanya.
"Cepat mandi dan ganti pakaian." Belum sempurna Zahira membuka mata, badannya telah dilempari sepasang pakaian olahraga yang mungkin milik Gema. Ia terperangah, dan mau tak mau menurut. Sebab pria tadi telah beranjak keluar kamar.
Kini, Zahira menyusul mereka semua yang telah berkumpul di meja makan. Berjalan tertatih dengan pakaian kebesaran yang membuatnya bingung. Apalagi, semua orang menatap aneh padanya, saat ia tiba di meja makan.
Mungkin, mereka semua memang tak menghendaki dirinya ada di sini. Terlihat jelas, bagaimana wajah mereka yang terkesan cuek. Tak mengapa sama sekali. Bahkan sepanjang proses makan, tak ada percakapan sama sekali. Zahira yang bingung, jadi kehilangan selera makan.
"Papa, mama. Pagi ini juga, kami akan pindah ke rumahku," Ucap Gema membuat semua orang menatap heran.
***
Zahira menahan kesal. Ia memilih pergi, menerobos hujan.Sedangkan Gema sebenarnya termangu di tempat. Namun, pria itu cepat berdecih tak suka. "Dasar, gadis bodoh!" Rutuknya membuka pintu mobil.Gema pun menerobos hujan bercampur petir, menggunakan mobilnya. Kendaraan roda empat itu melaju kencang. Bahkan telah beberapa kali mendapatkan peringatan dari kendaraan yang lain, berupa klakson keras-keras. Sebab ia menyalip tanpa aturan.Ia tak peduli lagi pada sosok tercengang di dekat pintu sebelah. "Kenapa buru-buru sekali, sih?" Gumam Yasmin tampak tak nyaman. Wanita itu sesekali berjingkit, bahkan menutup mata ketika mobil melaju dengan kecepatan maksimal."Gema, kamu kenapa, sih?" Tak lantas mendapatkan jawaban, Yasmin menyentak. Gema yang dari tadi fokus ke depan itu hanya menatap sekilas. Lalu kembali pada posisi semula."Ini hujan deras. Aku harus cepat nganterin kamu pulang," Jawab Gema tanpa menatap lawan bicara."Tapi, katanya kita mau makan siang dulu?""Sedang hujan. Lain kal
Zahira beberapa kali menyalakan mesin motor yang entah kenapa tak juga menyala. Lalu dengan sengaja, Gema melajukan Mobil, seperti tak melihat kesulitan yang Zahira alami.Pria itu hanya sekilas saja melirik ke arah Zahira, lalu bukannya membantu atau mengajak berangkat bersama. Gema bahkan tetap acuh, dan melintas di depan sang gadis dengan cepat.Membiarkan Zahira berdecih tak habis pikir, "jangan kamu pikir aku bakal ngemis, mau ikut mobil kamu ya, pak!" Ia mendengus. Melirik jam tangan, yang tak lama lagi mata kuliah akan dimulai.Mata kuliah Gema, ia harus segera berangkat, meksipun harus berjalan kaki. Beberapa ratus meter perjalanan, ketika ia melangkah cepat, dengan sesekali menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba ada motor sport berhenti di samping."Kok jalan kaki?" Tanya pemilik motor gede itu."Eh, motorku mogok tadi, dan nggak mungkin mampir ke bengkel. Bisa telat," Jawabnya tersipu."Ya udah. Ayo, naik." Pria yang selalu baik padanya itu menawarkan bantuan. Kemudian, mana mu
"Kamu mau halangi saya lagi?" Yasmin yang telah tiba di depan pintu kamar Gema itu menyentak. Zahira awalnya berwajah tegang, tapi hanya sesaat saja. Setelahnya, gadis itu tersenyum ceria.Bahkan malah membukakan pintu kamar Gema. Ia masuk terlebih dahulu, dan Yasmin mengekor di belakang, mengamati sang gadis yang meletakkan nampan ke atas meja di depan ranjang Gema."Yasmin, kamu datang lagi?" Tanya Gema, pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. Yang ditanya segera mendekat."Iya, Gema. Gimana keadaan kamu? Udah lebih baik?" Wanita itu memperlihatkan wajah penuh kekhawatiran."Sudah. Kamu harus berterimakasih dengan Zahira." Gema menunjuk pada gadis yang dimaksud, membuat Yasmin mengikuti arah wajah pria itu. Yasmin mendengus dalam hatinya. "Kenapa?" Ia bertanya. Tatapannya masih terarah pada sosok Zahira yang senyam-senyum, seperti tanpa dosa."Karena dia, aku bisa sembuh tanpa harus pergi ke dokter.""Ck! Maksudnya apa, ini? Kamu mau menghina aku?""Kenapa kami jadi sewot begitu
Zahira mengejar, hingga terjadi kegaduhan sejenak di depan pintu kamar Gema. Bahkan hingga Yasmin membuka kasar pintu itu, dan melihat si pemilik kamar duduk. Menatap tajam mereka berdua."Apa maksud kalian?" Tanya pria yang terlihat masih belum ada perubahan dari Sebelumnya. Zahira ingin mendekat, tetapi dicegah oleh Yasmin. Dan wanita cantik itu yang berhasil mendekati tempat tidur Gema."Gema, kamu kenapa? Kok nggak masuk? Aku tadi mau kesini, tapi dilarang sama dia. Makanya sempat ribut," Ungkap wanita dewasa yang cantik itu. Gema mengikuti arah telunjuk pada gadis yang dimaksud, ia melihat Zahira melepas nafas lirih sambil menunduk."Keluar!" Gema memerintah ke arah Zahira, gadis itu mendongak kaget. "Tapi, Pak. Gimana kalau Pak Gema .... ""Kamu pikir saya orang jahat?" Sentak Yasmin, Zahira kembali tertunduk. Entah mengapa ada perasaan khawatir dengan suaminya itu, padahal sudah jelas, kedua dosen itu saling mencintai dan menginginkan."Cepat, keluar. Jangan ikut campur dengan
"Pak," Panggil Zahira yang langsung membuat pria di atas sana hanya menoleh sekilas."Gimana kalau saya nggak mau?" Pertanyaan gadis itu, sontak membuat Gema menghentikan langkah. Tatapannya menyipit ke arah yang bertanya.Sementara Zahira, gadis itu mulai tersenyum menang. Ia yakin, pria di atas sana pasti bingung hendak menjawabnya."Bukan urusan saya!" Jawaban yang keluar dari bibir Gema, diluar perkiraan. Zahira tercengang melihat sosok tadi melanjutkan langkah dan menghilang di sana.Wajah yang tadi membentuk senyuman, kini ditariknya lagi. Zahira mendengus kecil sambil menghentakkan kaki. Selanjutnya, daripada pusing memikirkan yang tidak jelas, ia memilih untuk segera masuk kamar. Beristirahat sejenak, sebab sebentar lagi ia harus bekerja di dapur. Membuat makan malam untuk dirinya dan sang suami, jika Gema bersedia.Hari-hari kembali berlalu seperti biasa. Tak ada lagi komunikasi yang baik antara Gema dan Zahira. Nampaknya pria itu benar-benar tak ingin merubah prinsip sedikit
Zahira mendekati meja makan, ia dan Yasmin menatap heran pria yang berlari, sambil membekap mulut itu. "Gema kenapa?" Tanya Yasmin pada Zahira di sebelahnya."Jadi, saya atau anda yang paham dengan kondisi Pak Gema?" Zahira menggumam jengah.Wanita tadi mungkin sadar bahwa dirinya memang salah. Namun, karena enggan mengakui, Yasmin hanya mendengus dan berlari menyusul Gema yang sudah berada di dalam kamar. Zahira juga tak mau kalah.Kini, kedua perempuan itu telah berada di depan pintu kamar Gema. Mereka saling menatap, ragu untuk segera mengetuk pintu.Cukup lama mereka di sana, dan pada saat Yasmin akan mengetuk pintu, Gema telah muncul dari sana. Membuat dua orang perempuan tadi mendongak penasaran."Ngapain kalian di sini?" Tanya Gema."Gema, kamu tadi kenapa? Kamu, nggak apa-apa, kan? Boleh aku masuk?" Pertanyaan beruntun dari Yasmin, dan entah kenapa, Gema mengangguk tanpa bertanya.Namun, pada saat Zahira akan mengikuti langkah Yasmin, Gema menghadangnya. "Kamu mau kemana?" Tan