Share

Bertemu Keluarga Gema

"Maaf, Papa. Tapi saya tidak mencintai Aurel. Saya akan menikahi dia dalam waktu dekat, bukan begitu, Zahira?" Suara Gema dan wajah itu, mengarah ke Zahira. Ia mendelik kaget.

Ia semakin kaget karena merasakan kaki Gema menginjaknya dengan sengaja. Pria itu pasti sedang menunggu suara darinya, seperti yang telah diperintahkan sebelum masuk kemari tadi.

"Jadi benar, kamu pacarnya Gema?" Pria paruh baya tadi kembali bertanya, dan sekali lagi Zahira merasakan kakinya diinjak.

"Eh, itu, anu .... "  Ia berucap bingung, tanganpun menggaruk kepala yang tak gatal. Mengundang pandangan aneh dari semua yang ada di sini. Apalagi saat melirik Gema, yang ia Terima adalah tatapan tajam. Zahira menunduk cepat.

"Kenapa situasinya aneh? Gema, kamu tidak sedang bercanda, kan?" Tanya pria tadi, mendekati sang anak dengan mata menyipit. Nampaknya mereka mulai curiga dengan sandiwara yang sedang dimainkan dosen muda itu.

Melihat wajah Gema berubah sedikit panik, Zahira mengerti apa yang harus dilakukan.

"Bener kok, Om. Dia bener," Ucapnya entah darimana datangnya keputusan mendadak itu. Dan suaranya barusan, membuat dua pria beda usia itu saling menatapnya.

"Dia siapa?" Pria yang lebih tua kembali berkata.

"Dia, Pak Gema. Eh .... " Zahira memang ceroboh, ia memukul bibir dengan telapak tangannya. "Mas Gema, maksud saya. Hehe." Ia tersenyum nyengir.

"Siapa perempuan ini, Gema?" Bukannya merespon ucapan Zahira yang terkesan dipaksa, pria tadi malah bertanya pada Gema. Pria yang lebih muda, menghela nafas sebelum memberikan jawaban.

Saat ini, Zahira baru menyadari, dosen galak itu ternyata memiliki paras rupawan. Setiap apapun yang dilakukan, selalu menonjolkan sisi maskulin, dan membuatnya semakin, tampan.

Ia mengerjap, menggeleng samar. Mengetahui dirinya sedang dirasuki pikiran buruk, yang langsung disusul dengan merutuk dalam hati.

"Dia mahasiswaku, Pa. Dia sudah memiliki usaha sendiri. Jadi, tidak ada alasan bagi keluarga ini untuk menolaknya. Aku akan menikahinya segera."

"Apa? Mahasiswa?"

"Apa-apaan ini?" Suara pria lain terdengar lantang, sosoknya berjalan mendekati Ayah dan anak tadi.

"Saya benar-benar kecewa dengan kalian semua. Mulai saat ini, batalkan saja proses lamaran ini. Aurel, ayo pulang!" Pria itu menyeret gadis cantik, membawanya keluar dari rumah ini, dan tak ada siapapun yang peduli dengan raungannya.

"Papa kecewa sama kamu!" Belum usai Zahira tertegun dengan kejadian tadi, kini kembali dikagetkan dengan suara kesal yang lain. Ayah Gema mendengus kasar, lalu mengajak istrinya pergi dari ruangan indah.

Di sini, tinggalah Zahira dan Gema. Berdiri mematung, tanpa ada siapapun yang bisa memulai percakapan. Bahkan sebagai tamu, ia belum sempat diminta duduk. Kejadian ini terlalu cepat, dan ia belum berhasil menyimpulkan.

Dengan hatinya yang belum menentu, Zahira melangkahkan kaki menuju pintu keluar.

"Berhenti!" Suara Gema menghentikan langkahnya, Zahira berbalik kesal. "Saya mau pulang!" Pekiknya lirih.

Namun, belum sempat ia kembali melangkah, Gema telah lebih dulu melewatinya dan keluar menuju mobil. Zahira menurut saja saat Dosen tadi memintanya masuk mobil, hanya dengan isyarat tangan.

Selama perjalanan pun, tak ada percakapan. Mungkin keduanya sibuk dengan pergolakan hati dan pikiran masing-masing. Keduanya tiba di depan restoran, yang di sana, motor Zahira masih terparkir tenang.

"Turun, dan pulang." Suara pria itu menggema, memenuhi seluruh ruangan dalam mobil.

"Hah, Pak. Tapi bapak belum ngasih kejelasan sama saya, tentang kejadian tadi, Pak." Zahira membantah, sesuai dari hatinya, ia memang masih penasaran. Benarkah Dosen itu akan menikahinya.

"Semuanya sudah jelas."

Zahira nyengir, mau tak mau, ia bergerak turun dari mobil dingin. Sedingin pemiliknya itu. Bahkan baru beberapa langkah, Gema dan mobilnya telah menghilang dari pandangan.

"Itu orang, apa hantu, sih?" Gumamnya menekan perut menangis. Iya, Zahira memang belum makan sejak tadi siang.

Ia mengira, acara sore ini adalah makan di tempat yang dituju saat ini. Nyatanya, ia hanya bisa menelan saliva. Tak mungkin makan di tempat semewah itu, untuk standarnya saat ini.

Lelah hati dan pikiran, ia memakai helm dan menyalakan mesin motor. Memandang ramainya keadaan restoran, ditepis keinginan sejauh mungkin.

Prioritasnya saat ini adalah, mengumpulkan uang demi bisa terus membayar biaya kuliah. Sudah dari tiga tahun lalu, tak ada lagi orang yang bisa diandalkan. Ia harus berdiri sendiri, mengandalkan diri sendiri.

Mentari sore semakin condong ke langit barat, Zahira memacu kuda besinya sekencang mungkin. Telah terlintas dalam pikiran, ia akan berhenti di warung untuk membeli sayur jadi.

Telah beberapa mobil ia salib, dan Zahira pasti tak menyadari. Ada Gema di belakang, memicingkan mata. Melihat siapa yang telah melaju dengan motor di depannya.

Mungkin penasaran, pria itu mengikuti kemanapun arah Zahira. Ia juga berhenti dengan jarak aman, saat motor sang gadis menepi di depan warung makan kecil.

Ia mengamati, apa yang dilakukan Zahira. Mungkin Gema berfikir, gadis itu akan makan di sana. Dan telah memaklumi standar makan mahasiswa yang dari kalangan bawah. Namun, ia kembali memicingkan mata, saat yang dilihat ternyata keluar warung hanya membawa sebungkus plastik kecil.

Zahira kembali melaju dengan motor, Gema mengikuti. Bahkan saat gadis itu berbelok di gang sempit, hingga melewati pemukiman sepi di pinggir sawah.

Gema mengheningkan mobil, ia yakin tak bisa melewati jalan itu jika terus maju. Maka memutuskan turun dan melangkah mengikuti Zahira, melewati jalan rabat rusak.

Ia berhenti, saat melihat si gadis berhenti di sebuah rumah kecil. Dengan tembok setengah badan, dan dinding kayu diatasnya.

**

Pagi kembali tiba, Zahira bangun tergesa-gesa. Setelah kejadian kemarin, ia tak ingin hari ini mengalami hal yang sama.

Usai makan pagi seadanya, sambil berangkat ke kampus ia harus bertemu dengan pembeli. Pagi ini, Zahira tiba di kampus lebih awal dari yang lain. Bahkan baru ada dua mobil milik dosen.

Setelah mengamati dengan seksama, ia yakin, mobil itu milik Gema, dan ia harus bertemu sebelum jadwal perkuliahan dimulai.

Tok tok tok!

"Masuk." Tidak keras, tapi Zahira bisa mendengar suara dari dalam dengan jelas. Maka ia segera masuk, sambil berharap dalam hati. Pagi ini ia tak lagi mendapatkan, sikap dingin dan angkuh dari Pak Gema.

Namun, nampaknya harapan itu salah. Saat ia masuk, jelas-jelas melihat sang Dosen menatap arah pintu. Dan memasang wajah dingin, saat melihat siapa yang datang. Bahkan terkesan tak peduli sama sekali, meskipun Zahira duduk di depannya.

Telah jam tujuh lebih, jadwal kuliah sebentar lagi dimulai. Sementara Zahira masih membeku di ruang Dosen ini.

"Pak," Ia berucap, dan lagi-lagi tak mendapatkan respon seperti yang diharapkan.

"Pak, saya ingin kejelasan," Ia menambahkan, dan mendesah lirih. Dosen itu menyimpan ponsel dan mengambil buku, pasti akan segera masuk.

"Semua sudah jelas. Dua hari lagi, kita akan menikah."

"Hah?"

"Ini. Gunakan untuk persiapan dan membuka usaha apapun." Zahira tertegun, apalagi maksud pria cuek itu.

"Pak, pak, tunggu pak." Ia terpaksa mengejar Gema, dan tanpa sadar memegangi lengan terbalut kemeja panjang itu.

"Apa lagi?"

"Maksudnya apa ini? Kenapa bapak tiba-tiba ngajak saya nikah, dan kenapa bapak ngasih uang ini?" Bukan jawaban yang ia dapat, melainkan hempasan tangan yang membuat genggamannya terlepas.

"Saya akan menikahimu, dan ini hanya pura-pura. Uang itu, gunakan untuk membuka usaha apapun, seperti yang telah saya katakan pada orang tua saya. Mengerti, kamu?" Selain di depan kelas, kalimat panjang itu baru terdengar saat ini. Zahira benar-benar heran dibuatnya.

"Tapi .... " Harusnya kalimat itu belum usai, tapi karena lawan bicara telah menghilang, Zahira hanya bisa menghela nafas pasrah.

"Tapi, kenapa?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status