Share

Pindah Rumah

"Papa, Mama. Pagi ini juga, kami akan pindah ke rumahku," Ucap Gema membuat semua orang menatap heran. 

"Buru-buru amat?" Tanya Mama, tetapi Zahira yakin, itu hanya pemanis bibir saja. Mereka semua pasti akan lebih senang jika dirinya segera enyah dari tempat ini. 

"Iya, Ma. Biar kami lebih dekat kalau mau berangkat ke kampus," Jawabnya. 

"Oh, kalau memang itu sudah jadi keputusan kamu, ya, kami bisa apa. Iya kan, Pa?" Mama bertanya pada suaminya, dan yang ditanya hanya mengangguk tanpa kata. Pria muda saudara kandung Gema pun, sejak tadi hanya fokus dengan makanannya saja. 

"Makasih, Ma, Pa. Kami akan berangkat sekarang." Gema beranjak, mengabaikan piring yang masih tersisa setengah. Zahira yang baru menyuap beberapa sendok pun kaget dan ikut berdiri. 

"Hati-hati."

Hanya itu saja ucapan mama, tanpa ada pamitan menyentuh. Zahira tak heran, mungkin memang seperti itu kebiasaan keluarga mereka. Ditambah lagi, kehadirannya di sini, pasti membuat mereka semakin dingin. 

Setengah jam berikutnya, mereka tiba di depan rumah minimalis berlantai dua. Gadis itu baru paham, bahwa ternyata Dosen itu telah memiliki rumah sendiri. Rumah yang ia lewati setiap hari ketika berangkat ke kampus. Sebab dari sini ke kampus, hanya berjarak sekitar dua ratusan meter saja. 

Kini, seperti orang bodoh, ia mengekor langkah Gema. Masuk rumah dan mengamati sekeliling ruangan, tempat yang menurut Zahira sangat mewah. 

"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Ruangan kita berbeda, kamu di sini, dan saya di atas. Kamu, jangan pernah sekali-sekali menginjak lantai atas." Gema berpesan sambil berlalu menaiki tangga. Langkah cepatnya, membuat Zahira hanya memberikan respon helaan nafas kesal. 

Di rumah sebagus ini, ia harusnya bahagia bukan. Tapi lihat, alasan apa yang membuatnya bisa bahagia. Baru saja ia melihat-lihat sekeliling, pria tadi kembali turun dengan membawa tas kerja. 

"Eh, Pak. Tunggu dulu," Ucap Zahira meski ragu, Gema berhenti tanpa menatap lawan bicara. "Saya harus ke kampus, sekarang." Lagi-lagi, Gema bicara sambil berlalu, bahkan tak menunggu jawaban istrinya. 

"Pak, tapi saya gimana? Saya kan ada jadwal kuliah," Teriaknya menyusul ke ambang pintu. Gema tak menggubris dan telah berada di dekat kendaraannya. 

"Itu urusanmu," Seru Gema, membuka pintu mobil dan membawanya pergi. Meninggalkan Zahira tertegun tak percaya. 

"Hah, yang bener aja. Gimana coba caranya ke kampus? Perlengkapan semua ada di rumah, motor juga ada di sana. Dan .... " Ia berbicara sendiri, sambil mengingat-ingat sesuatu. 

"Hah, jadwal pertama kan, Pak Gema?" Buru-buru ia menutup pintu dan berlari keluar, menyetop taksi mana saja yang bisa membawanya pulang ke rumah untuk mengambil pakaian dan motor. 

Sejauh lima ratus meter di gang sempit menuju rumah, ia harus berjalan kaki setengah berlari. Bahkan prosesnya menata semua pakaian perlengkapan pribadi, tak membutuhkan waktu lama. Zahira keluar dengan dua tas ransel besar dan membawanya dengan motor. 

Ia kembali ke rumah Gema, untuk selanjutnya bersiap ke kampus. Tiba di depan kelas, pintu telah tertutup rapat. Menandakan Pak Gema telah ada di dalam, dan keterlambatannya kali ini pasti akan kembali menimbulkan masalah. 

Namun, jika ia tidak masuk, masalah akan lebih besar. Akhirnya ia memberanikan diri, mengetuk pintu, dan membukanya perlahan. Zahira maju selangkah demi selangkah, membiarkan dirinya menjadi pusat perhatian seluruh penghuni kelas. 

"Maaf, Pak. Saya terlambat lagi," Lirihnya, mendapatkan tatapan sinis dari semua teman di kelas. 

Dosen yang duduk di singgasananya itu, berdiri dan melipat tangan angkuh. Sama sekali tak melihat mahasiswanya yang baru datang dan meminta maaf dengan wajah tertunduk. 

"Kalian semua lihat, apa dia ini benar-benar ingin menuntut ilmu?" Suara Pak Gema, menggema di seluruh ruang kelas. 

"Pasti cuma mau main-main tuh, Pak." Salah satu menjawab. 

"Iya, tuh."

"Dihukum lagi aja, Pak."

"Untuk hukumannya, saya serahkan sama kalian semua," Ucap Gema. Melirik sekilas Zahira, kemudian mengambil buku dan keluar kelas. 

"Teman-teman, hukuman apa yang pantas untuk pelajar nggak bener kayak dia?" Ketua kelas berbicara, di sambut tawa cekikikan dari yang lain. 

"Dia itu orang miskin. Kayaknya, cocok deh, kalau disuruh nyikat sepatu kita semua," Mahasiswi paling cantik mengusulkan, yang lain serentak setuju. 

Suara riuh pun memenuhi seluruh kelas, memaksa Zahira untuk membersihkan sepatu dari semua temannya. Gadis itu menurut tanpa suara, dan mereka semua tidak menyadari, dosen yang baru saja keluar tadi masih menyaksikan dari balik pintu. 

Melihat bagaimana Zahira diperlukan layaknya pelayan dari semua teman sekelas. 

"Hey, hey. Cukup, berhenti!" Gema yang masih mengintip dari balik pintu ikut tertegun, salah satu teman Zahira bersuara lantang. 

"Gimanapun juga, Zahira ini teman kita. Kita nggak boleh memperlakukan dia seperti ini!" Seorang mahasiswa berparas tampan, mencegah tindakan semua temannya. 

Saat mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing, Gema menghela nafas dan pergi dari sana. 

Hari ini, Zahira ada jadwal hingga jam dua siang. Ia pulang, membawa wajah letih, dan makin lelah saat melihat mobil Gema telah berada di depan rumah. 

Saat masuk rumah, di lantai bawah yang ada ruang tamu, dapur dan kamarnya itu terlihat sepi. Mungkin Gema sedang beristirahat di lantas atas sana, Zahira mendongak, memastikan tak ada suara apapun yang terdengar. 

Namun, saat melihat meja makan, ia menemukan beberapa lembar uang dengan secarik kertas di sana. "Saya lapar, buatkan makanan dengan uang itu." Tulisan dalam kertas yang membuat Zahira mendesah tak habis pikir. 

"Sebenarnya, ini istri apa pelayan, sih?" Gerutunya. Namun ia tetap menunaikan tugas dengan cepat. Membeli bahan dapur yang kebetulan ada di seberang jalan. Sebab di depan rumah ini memang jalur strategis. 

Beruntungnya lagi, sejak kecil ia memang terbiasa mandiri. Jadi, untuk membuat masakan ini, baginya bukan beban berat. Tak butuh waktu lama, makanan telah terhidang di atas meja. 

Bingung hendak memanggil Gema, ia naik ke atas dan berpapasan di depan kamar. Pria itu mungkin juga akan turun, melihat ada Zahira di depannya, ia menatap tajam. 

"Lupa dengan aturan di rumah ini?" Tanya Gema dengan nada paling galak. 

"Tapi, saya cuma mau ngasih tau. Makanan sudah siap, Pak."

"Saya tau!" Zahira merengut, melihat Gema melewatinya begitu saja. Dan ia pun segera menyusul, sadar kawasan ini bukan untuknya. Jika terlalu lama di sini, bisa-bisa pemiliknya kembali mengerang lantang. 

Zahira begidik sambil berlari menuruni anak tangga. Ia juga tak peduli, duduk di depan Gema. Sebab perutnya pun meraung meminta jatah. Makanan lezat tadi pagi, di rumah orang tua pria itu, nyatanya tak memberikan kenikmatan sama sekali. 

"Pergi." Suara Gema, spontan menghentikan tangan Zahira saat akan menyuapi mulutnya. "Pergi, kemana?" Gumamnya. 

"Ini bukan meja makanmu."

"Loh, terus saya di mana?" Tanya Zahira lagi, kini wajahnya makin terlihat tak Terima. Apalagi telah sebagian waktu yang seharusnya ia gunakan untuk promosi, kini malah mengurus rumah dan pemiliknya. 

"Terserah." Jawaban acuh, Zahira makin kesal. Dengan sengaja ia meletakkan sendok hingga menimbulkan suara. Gema memang melirik sekilas, tetapi kembali fokus pada piringnya. 

"Nggak adil banget sih, Pak? Saya nggak boleh ke lantai atas, tapi bapak bebas kemana aja. Ini adil nggak?" Zahira berteriak kesal. 

"Ini rumah saya sendiri," Tukas pria itu dengan santainya. 

"Tapi tetap aja nggak adil. Apalagi kita udah jadi suami istri, kan?" Zahira mengambil nada tinggi. Namun tatapan nyalangnya berubah khawatir, sebab Gema melemparkan sendok ke piring dengan kasar. 

"Hanya status!" 

"Hanya status? Bapak pikir saya ini apa? Enak aja. Lagian apa coba, tujuan pernikahan sandiwara ini. Yang ada bapak cuma membuat rugi buat saya!"

Gema tak menjawab, pria itu hanya bangkit dan membuang nasi di piringnya ke lantai. Tak hanya itu, semua yang ada di atas meja makan, ditumpahkan begitu saja tanpa keterangan apapun. 

"Apa-apaan ini?" Zahira memekik. 

"Hukuman untuk kamu. Bersihkan semuanya, dan masak untuk makan malam."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status