Aeris mengerjabkan kedua mata perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah cantiknya. Entah kenapa dia merasa tidurnya sangat nyenyak semalam. Apa mungkin karena lelaki yang sekarang tidur di sampingnya?Wajah Aeris sontak memanas karena teringat kejadian yang dialaminya semalam. Saat Leon menggendongnya dari restoran sampai ke apartemen mereka. Perhatian yang Leon berikan telah berhasil mengetuk pintu hatinya. Aeris sekarang benar-benar jatuh hati pada Leon. Namun, bagaimana dengan Leon? Apa lelaki itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya?Wajah Aeris seketika berubah sendu. Gadis itu tidak tahu apakah Leon memiliki perasaan yang sama pada dirinya. Inilah yang Aeris takutkan. Lagi pula pernikahan mereka terjadi karena paksaan. Bagaimana jika Leon menemukan gadis yang dia cintai? Apa lelaki itu akan pergi meninggalkannya?Aeris tanpa sadar menghela napas panjang. Padaha dia hanya membayangkan tapi entah kenapa oksigen di
'Leon, aku takut ....''Tenanglah, semua akan baik-baik saja.''Bagaimana jika aku hamil?''Aku akan bertanggung jawab.''Sungguh?''Iya.''Aku mencintaimu, Leon.''Aku lebih mencintaimu, Alea ....'Leon terkesiap, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Wajahnya pun seketika berubah pucat karena kenangan yang pernah dia lalui bersama Alea tiba-tiba melintas di ingatannya saat menatap Aeris. Entah kenapa wajah gadis itu terlihat mirip sekali dengan mantan kekasihnya. Aeris membuka kedua matanya perlahan karena Leon tidak lagi menyentuhnya. Gadis itu mengerutkan dahi heran karena wajah Leon terlihat sedikit pucat."Kamu kena—" Aeris tidak melanjutkan pertanyaanya karena Leon meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. "Maafkan aku." Leon mengecup kening Aeris sekilas lalu pergi begitu saja, meninggalkan sebuah tanda tanya besar di kepala gadis itu.***Leon menyalakan shower. Dia membiarkan air dingin itu jatuh begitu saja membasahi tubuhnya. Leon butuh ketenangan k
Brian kembali melirik benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ternyata sekarang sudah hampir jam sembilan malam, tapi Leon tidak juga berhenti bekerja. Selama satu minggu ini Leon memang sengaja pulang ketika Aeris sudah tidur. Dia bahkan melarang gadis itu membawa bekal makan siang ke kantor. "Kamu nggak pulang, Le?" tanya Brian sambil mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Leon. Lelaki berwajah tampan itu merasa jika Leon sedang ada masalah.Leon hanya melirik Brian sekilas lalu kembali memperhatikan laptopnya."Aku sedang bicara denganmu. Jangan mengabaikanku." Brian berdecak kesal lantas menutup laptop Leon dengan paksa."Brian, apa yang—""Apa, hah?" sengit Brian menatap Leon tanpa takut.Leon mengembuskan napas panjang. Ternyata mempunyai sahabat yang sangat peka seperti Brian cukup merepotkan. Lelaki itu pasti tahu kalau dia sedang mempunyai masalah."Apa kau sedang ada masalah?""Tidak."Brian menyeringai. "Bohong. Tidak mungkin CEO kit
Brian benar-benar tidak habis pikir dengan Leon. Bagaimana mungkin sahabatnya itu masih memikirkan Alea padahal sudah menikah dengan Aeris? Apa Leon tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Aeris?"Dasar bodoh!" Brian tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak pernah menyangka pemimpin perusahaan hebat seperti Leon ternyata sangat payah saat berhadapan dengan cinta. Leon tidak bisa tegas dengan perasaannya sendiri. Sahabatnya itu masih saja memikirkan Alea padahal hatinya sudah berpaling ke Aeris.Brian menghentikan mobilnya tepat di depan minimarket yang berada tidak jauh dari rumahnya. Dia ingin membeli mie instan karena perutnya mendadak lapar."Total semuanya sepuluh ribu lima ratus. Apa Anda tidak ingin membeli barang yang lain?"Brian menggeleng sambil memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan pada kasir."Ada promo minyak goreng beli dua dapat satu?" "Rugi dong, Mbak kalau saya beli dua cuma dapat satu."Kasir tersebut tersenyum malu. "Apa Anda ingin membeli pulsa sek
"Kamu sudah makan belum? Kalau belum aku akan menyiapkan makan malam untukmu." Aeris ingin ke dapur, tapi Leon malah menahan pergelangan tangannya."Kenapa?" tanyanya tidak mengerti."Aku tidak lapar.""Kamu ingin mandi? Aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng, kedua matanya menatap Aeris dengan lekat. Tatapan matanya terasa begitu dingin dan menusuk. Seolah-olah mampu membekukan dan membunuh Aeris kapan saja."Kenapa kamu berubah dingin lagi sama aku, Leon? Apa aku punya salah sama kamu?" Aeris memberanikan diri untuk menatap Leon. Tatapan gadis itu terlihat begitu sendu, ada ngilu yang menjalari hatinya.Leon tersentak melihat butiran bening yang menghiasi kedua sudut mata Aeris. "Aku minta maaf kalau punya salah."Leon bergeming karena Aeris tidak bersalah. Semua ini terjadi karena dia belum berani mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya bersama Alea. Dia memang pengecut.Leon ingin masuk ke kamar karena tidak tahan melihat Aeris menangis, tapi gadis itu malah menahanny
Aeris memijit keningnya yang terasa penat. Inilah alasan yang membuat Aeris takut menikah. Dia takut pernikahannya berakhir dengan perceraian seperti yang terjadi pada pernikahan kedua orang tuanya. Namun, dia akan berusaha keras mempertahankan rumah tangganya dengan Leon karena bagi Aeris pernikahan itu sangat sakral dan hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup.Aeris memoles make up tipis untuk menutupi wajahnya yang sedikit pucat. Aeris sebenarnya merasa kurang enak badan, tapi dia sudah ada janji bertemu dengan klien penting siang ini. Lagi pula dia ingin mengalihkan sedikit pikirannya dari Leon."Kamu mau pergi ke mana, Aeris?" tanya Sean saat berpapasan dengan gadis itu di lorong apartemen."Aku ada kerjaan."Sean memerhatikan Aeris dengan lekat. Wajah gadis itu masih terlihat pucat meskipun sudah ditutupi make up."Kamu sakit?"Aeris menggeleng, tapi Sean tidak percaya begitu saja."Kamu mau pergi ke mana? Aku antar, ya?" Aeris kembali menggeleng. Kali ini dia tidak ingin mer
"Apa tempatnya masih jauh?"Kai tersenyum mendengar pertanyaan yang keluar dari gadis cantik yang duduk di sebelahnya."Sebentar lagi kita sampai," jawabnya sambil memperhatikan jalanan yang ada di hadapan."Ternyata banyak yang berubah dari kota ini, ya?"Kai kembali tersenyum. "Makanya sering-seringlah pulang supaya kamu tahu kalau ada banyak hal yang berubah dari kota kelahiranmu ini, Alea."Alea meringis mendengar ucapan Kai barusan. Memang banyak hal yang berubah dari kota yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ada satu hal yang tidak berubah. Perasaannya. Alea masih menyimpan rasa pada Leon. Perasaan itu tersimpan begitu rapi hingga tidak ada satu pun lelaki yang mampu menggeser nama Leon dari dalam hatinya.Lima tahun bukan waktu yang singkat. Dia dan Leon bahkan pernah tidur di bawah selimut yang sama. Dia merasa sangat bahagia dan beruntung dicintai oleh lelaki tampan dan baik hati seperti Leon hingga rela menyerahkan harta paling berharga yang dimilikinya. Alea tidak merasa m
Leon sedang memeriksa beberapa berkas dibantu oleh Brian. Suami Aeris itu terlihat sibuk karena sebentar lagi akan menghadiri rapat bersama klien penting."Sebenarnya kamu tidak perlu ikut rapat kali ini karena aku sanggup meng-handle pekerjaan ini sendiri, Leon."Leon hanya melirik Brian sekilas lalu kembali memeriksa berkas yang ada di tangan.Brian memutar bola mata malas karena Leon selalu saja mengabaikan ucapannya. "Aku tahu kamu mendengar ucapanku. Kenapa kamu ikut ke sini, Leon?""Aku ingin proyek ini berjalan lancar."Brian tersenyum miring mendengar ucapan Leon barusan. "Kamu meragukan kemampuanku?" Leon hanya diam. Sebenarnya dia tidak perlu ikut ke luar kota karena Brian pasti bisa menangani proyek mereka sendiri."Kamu tidak menghindari Aeris, kan?"Tubuh Leon menegang. Dia memang sengaja pergi ke luar kota karena ingin menghindari Aeris. Bagaimana pun juga dia belum siap menceritakan masa lalunya pada gadis itu. Menghindar mungkin cara yang tepat, pikirnya.Brian kembali