Anatasya dan Adithya tertegun cukup lama.Bagaimana tidak? Pemandangan Tuan Ketiga Jiangcheng yang selama ini dikenal keras kepala dan berkuasa, kini justru berlutut, benar-benar mencengangkan!Identitas dan reputasi Ainsley selama ini begitu mengintimidasi. Kini, ia berlutut di depan istrinya sendiri—pemandangan ini sungguh tak bisa dicerna!Bahkan Ainsley sendiri terkejut.Ini benar-benar kecelakaan—murni karena refleks! Ia terlalu lama duduk di kursi roda dan tubuhnya belum sepenuhnya terbiasa berdiri, jadi keseimbangannya belum stabil.Ketiganya pun terdiam di tempat. Sampai akhirnya, Anatasya menarik tangan Ainsley dan membisikkan dengan suara pelan."Bangun.""Tidak." Ainsley memalingkan wajah, tetap diam, seperti sedang mogok.Bagaimanapun... dia sudah berlutut.Tidak bisa sia-sia begitu saja!Anatasya membelalakkan mata karena syok. Apa dia sengaja?!Berlutut... minta maaf?!Detik berikutnya, Ainsley berkata dengan nada serius, "Aku tidak akan berdiri sampai kamu memaafkanku.
Begitu melihat Ainsley, Shopie langsung tertegun. Jantungnya berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena terpikat.Ainsley terlalu menawan.Terlebih lagi, pria itu berdiri.Tubuhnya tinggi dan tegap, memancarkan aura dominan. Ia mengenakan setelan jas biru tua dengan motif halus, tersetrika rapi. Satu tangan santai dimasukkan ke saku celananya, tubuhnya bersandar ringan di ambang pintu.Di bawah cahaya temaram, wajahnya terlihat makin memesona—matang, dingin, dan penuh sikap. Sepasang mata tajam di balik kaca mata memancarkan penghinaan, tetapi ekspresi itu justru membuat Shopie semakin ingin menaklukkannya.Semakin dia meremehkan, semakin besar dorongan untuk memiliki.“Ainsley, kamu datang.” Shopie memainkan rambut panjangnya dengan genit, senyumnya manja.Ia memutar tubuh, memperlihatkan pakaian pelayan tipis yang melekat sempurna di tubuhnya. “Ini... pakaian favoritmu. Kali ini, aku tidak akan menahan diri lagi.”Dengan percaya diri, ia melangkah menghampiri Ainsley.Namun, bel
"Tidak—Luke, kau tidak akan sekejam itu padaku!" Delcy berusaha berdiri, namun segera ditahan oleh sipir penjara."Luke, percayalah... kali ini sungguh bukan salahku!" Suaranya gemetar penuh kepanikan. Ia merasa benar-benar terpojok. Keluarganya sudah menolaknya. Jika suaminya menceraikannya juga, maka ia benar-benar tak punya siapa-siapa.Luke duduk tenang, lalu meletakkan setumpuk dokumen di atas meja."Kepala sekolah mengakui bahwa kaulah yang menyuruhnya dan mengatur agar Anna pergi ke Gangcheng dengan dalih program pertukaran pelajar. Supir palsu yang menyamar sebagai penyambut tamu juga mengaku bahwa kaulah yang menugaskannya. Dan ponsel yang ditinggalkan oleh sopir yang kabur itu... berisi rekaman panggilan darimu. Masih mau menyangkal semuanya?"Wajah Delcy pucat. Ia membanting tangannya ke meja, berteriak:"Itu tidak mungkin! Aku bahkan tidak kenal siapa sopir itu! Mana mungkin aku meneleponnya!"Tiba-tiba, ia seperti tersadar. Tatapannya kosong beberapa detik, lalu tubuhnya
Sebelum Amber sempat menyelesaikan kalimatnya, suara dingin sang kakak memotong:"Pak tua itu sudah ditangkap polisi. Dia mengaku semuanya."Amber semakin lemas. Bibirnya memucat saat bertanya dengan suara bergetar: "Mengaku apa? Jangan bilang... tabung reaksi milik Brylee jatuh dan dia pakai milik orang lain?""Bukan itu," jawab kakaknya datar."Pak tua itu bahkan tidak punya alat untuk melakukan inseminasi buatan.""Lalu—lalu bagaimana aku bisa hamil?!" seru Amber, hampir berteriak.Segera setelah suaranya melengking, ia buru-buru menoleh ke sekeliling. Untung saja lorong itu sepi.Namun semakin ia mengingat, semakin jelas firasat buruk dalam pikirannya.Saat itu, ia memang merasa tempat itu seperti klinik sembarangan—kecil, suram, dan tidak terdaftar resmi.Kakaknya terdiam sejenak, lalu berkata dengan pelan namun menusuk: "Pak tua itu mengaku... dia memanfaatkanmu saat kau dibius dan tak sadarkan diri. Dia... tidur denganmu. Anak yang kau kandung sekarang adalah anaknya.""Apa?!"
"Brylee, kalau kamu sampai nggak bisa berdiri... bagaimana dengan aku dan bayi kita?" Amber tak mampu menahan tangis, membayangkan kemungkinan Brylee akan lumpuh—seperti Tuan ketuga.“Wu... wu... wu...”Dengan mata sembab, ia meraih tangan Brylee dan menaruhnya di perutnya yang mulai membesar.“Brylee, bisa kau rasakan? Mereka baik-baik saja... Bayi kita kuat, mereka tetap bertahan.”"Iya..." Brylee menjawab pelan. Wajahnya datar, suaranya muram—hampir tanpa emosi.Baru saja sadar dari pingsannya, Brylee mendengar laporan dari pengawal bahwa mobilnya berhenti hanya karena kehabisan bensin, dan Amber ternyata tidak mengalami luka serius.Ia pun berpikir: Kalau jatuh begitu saja mereka masih baik-baik saja, berarti mereka memang kuat.Tapi justru karena itu, hatinya semakin dingin.Ia sadar: ia tidak mencintai Amber.Dan karena tak mencintainya, ia juga tak bisa memaksakan diri untuk mencintai kedua anak yang dikandungnya.Ia menepis tangan Amber perlahan dan mengalihkan pandangan pada
Menuruni bukit tanpa rem adalah hal paling berbahaya yang bisa terjadi saat mengemudi.Amber ketakutan bukan main. Tubuhnya gemetar, dan air mata mulai membasahi pipinya."A... aku nggak mau mati... Aku masih muda... Aku baru saja mulai menikmati hidupku... Tuhan, tolong...""Diam!" bentak Anatasya, matanya fokus ke jalan, kedua tangannya menggenggam kemudi erat-erat.Panik? Tentu saja. Tapi ia tak punya pilihan selain tetap tenang.Tiba-tiba, suara klakson membelah udara dari arah belakang.Wiw—wiw—wiwBeberapa mobil polisi dengan lampu darurat menyala melaju kencang, menyalip dari sisi kiri dan kanan. Dari pengeras suara di atap mereka, terdengar pengumuman berulang:"Perhatian kepada semua pengendara! Sebuah mobil putih dengan plat nomor JA7568 mengalami rem blong. Mohon kendaraan di jalur dua segera memberi jalan demi keselamatan bersama!""Ulangi, kepada semua pengendara di jalur dua..."Anatasya dan Amber menghela napas panjang.Mereka sedang membuka jalan untuk kami.Lalu, suar