"Brylee, kalau kamu sampai nggak bisa berdiri... bagaimana dengan aku dan bayi kita?" Amber tak mampu menahan tangis, membayangkan kemungkinan Brylee akan lumpuh—seperti Tuan ketuga.“Wu... wu... wu...”Dengan mata sembab, ia meraih tangan Brylee dan menaruhnya di perutnya yang mulai membesar.“Brylee, bisa kau rasakan? Mereka baik-baik saja... Bayi kita kuat, mereka tetap bertahan.”"Iya..." Brylee menjawab pelan. Wajahnya datar, suaranya muram—hampir tanpa emosi.Baru saja sadar dari pingsannya, Brylee mendengar laporan dari pengawal bahwa mobilnya berhenti hanya karena kehabisan bensin, dan Amber ternyata tidak mengalami luka serius.Ia pun berpikir: Kalau jatuh begitu saja mereka masih baik-baik saja, berarti mereka memang kuat.Tapi justru karena itu, hatinya semakin dingin.Ia sadar: ia tidak mencintai Amber.Dan karena tak mencintainya, ia juga tak bisa memaksakan diri untuk mencintai kedua anak yang dikandungnya.Ia menepis tangan Amber perlahan dan mengalihkan pandangan pada
Menuruni bukit tanpa rem adalah hal paling berbahaya yang bisa terjadi saat mengemudi.Amber ketakutan bukan main. Tubuhnya gemetar, dan air mata mulai membasahi pipinya."A... aku nggak mau mati... Aku masih muda... Aku baru saja mulai menikmati hidupku... Tuhan, tolong...""Diam!" bentak Anatasya, matanya fokus ke jalan, kedua tangannya menggenggam kemudi erat-erat.Panik? Tentu saja. Tapi ia tak punya pilihan selain tetap tenang.Tiba-tiba, suara klakson membelah udara dari arah belakang.Wiw—wiw—wiwBeberapa mobil polisi dengan lampu darurat menyala melaju kencang, menyalip dari sisi kiri dan kanan. Dari pengeras suara di atap mereka, terdengar pengumuman berulang:"Perhatian kepada semua pengendara! Sebuah mobil putih dengan plat nomor JA7568 mengalami rem blong. Mohon kendaraan di jalur dua segera memberi jalan demi keselamatan bersama!""Ulangi, kepada semua pengendara di jalur dua..."Anatasya dan Amber menghela napas panjang.Mereka sedang membuka jalan untuk kami.Lalu, suar
"Amber, aku ke sini untuk urusan kerja, bukan liburan!" Anatasya membuka pintu penumpang dan memberi isyarat agar wanita itu keluar dari mobil.Namun sebelum Amber sempat bergerak, Brylee sudah berlari menghampiri mereka, terengah-engah, dan menyandarkan tubuhnya di jendela mobil."Anna, kutitipkan Amber padamu, ya? Seorang profesor arkeologi langka dari Hongcheng mengajakku bertemu. Aku harus pergi sekarang!"Tanpa menunggu persetujuan dari Anatasya, Brylee segera berbalik dan menghilang di tengah kerumunan."Anna, tolonglah..." Amber merapatkan kedua telapak tangannya, menatap Anatasya dengan ekspresi memelas."Rumah sakit tempat kita bertemu dekat sekali dengan sekolahmu, tinggal sedikit lagi. Kau bisa sekalian mengantarku..."Anatasya tetap diam dan tampak enggan, Amber menaikkan level dramanya. "Kau tega meninggalkan wanita hamil dengan anak kembar di pinggir jalan seperti ini? Aku tidak kenal siapa pun di kota ini. Brylee sudah pergi, dan... aku takut.""Diam." Anatasya mendesah
"Kalau kamu yang bilang, aku akan menurutinya," kata Anatasya sambil mengoleskan toner ke wajahnya."Kenapa?" tanya Ainsley, matanya tampak tertarik.Anatasya menghentikan gerakannya dan menoleh. "Aku sudah berusaha keras untuk sampai ke posisi ini. Aku ingin tahu sejauh mana hasil dari usahaku sendiri."Terus terang, ia memang ingin mendapatkan posisi wakil ketua, tapi ia tidak terobsesi akan hal itu.Tidak seperti Shopie, ia tidak akan runtuh jika gagal.Ainsley mengangguk, tampak memahami.Tiba-tiba, Anatasya menatapnya tajam, dengan tatapan yang memancarkan kelicikan manis dan sedikit godaan. "Lupakan soal itu sebentar. Bagaimana dengan pernikahan kita? Sudah kau pikirkan kapan akan dilaksanakan? Kamu lebih suka gaya Tiongkok atau Barat?"Mata Ainsley berkilat sesaat, lalu kembali tenang. Ia meraih tangan Anatasya dengan lembut. "Saat waktunya tepat, kita akan menikah."Anatasya menangkap sekilas keraguan dalam sorot matanya. Senyumnya tetap terukir, tapi sudut bibirnya menegang.
“Pikirkan cara untuk memancing mereka keluar dari Jiangcheng. Bertindak di wilayah ini terlalu berisiko. Sekali kita bergerak, jejaknya akan mudah tertinggal.”Delcy mengangguk. Ia menyadari ucapan itu masuk akal.Jiangcheng adalah wilayah kekuasaan Ainsley. Sebesar apa pun usaha mereka, Ainsley pada akhirnya akan tahu. Jika bisa memancing target keluar kota, segalanya akan lebih mudah dikendalikan.Tanpa membuang waktu, Delcy dan Shopie segera menyusun rencana.Di tempat acara, tamu-tamu mulai mengerubungi Anatasya, memberi ucapan selamat.Para sosialita yang sebelumnya bersikap dingin bahkan meminta maaf.Beberapa tanpa malu-malu membuka WeChat mereka.“Bagaimana kalau kita berteman? Biar lebih mudah dihubungi nanti.”Anatasya tersenyum sopan, namun tegas. “Maaf, saya jarang bersosialisasi. Saya hanya menyimpan beberapa teman dekat.”Elanour yang berada di sisinya tersenyum bangga, menggenggam tangan Anatasya dan membawanya menuju lorong rahasia.“Anna, aku sangat setuju dengan sika
Gaun Anatasya tetap utuh. Ia berdiri di atas panggung dengan anggun, senyum cerah tak pernah pudar dari wajahnya.Di sudut ruangan, Miles menoleh pada Shopie dan memberi isyarat halus.Shopie mengangguk pelan, lalu mengeluarkan remote control dari tasnya. Ia mengarahkannya ke Anatasya di atas panggung dan menekannya dengan penuh rasa puas.Namun, tidak ada yang terjadi.Shopie terkejut. Miles langsung mengerutkan kening."Tidak mungkin..." gumam Shopie bingung. Ia menekan tombol lagi—berulang kali. Tapi gaun Anatasya tetap kokoh. Tak ada sedikit pun kerusakan.Wajahnya mulai pucat.Dengan panik, ia membuka casing remote, memeriksa baterai, memasangnya kembali, lalu menekannya sekali lagi ke arah panggung.Lampu indikator menyala—tapi gaun Anatasya tidak bergeming.Ia mencobanya lagi, kali ini dengan tekanan lebih kuat, hampir seperti sedang menyalurkan kekesalannya ke dalam tombol itu.Anatasya melihat ke arahnya. Ia tersenyum, kali ini dengan tatapan yang jelas menyiratkan provokasi.